Saturday, August 02, 2003

Untungnya Saya Bukan Tentara

Sebagai bekal untuk memutuskan, fokus kita bukan TNI vs GAM, tapi korban, kerusakan, dkk.

Di tengah kepanikan yang tiba-tiba menyergap saya pagi itu, pesan singkat di telfon genggam saya seperti mengembalikan akal sehat saya. Pesan itu datang dari Heru Hendratmoko, Direktur Program KBR 68h yang adalah bos saya, setelah sebelumnya saya berondong dengan serangkaian telfon penuh kepanikan dari Lhokseumawe, Aceh Utara.

Pagi itu (22 Mei 2003) kami tiba-tiba dikumpulkan di Markas Komando Operasi TNI di Lhokseumawe, Aceh Utara untuk ikut bergabung bersama pasukan di garis depan. Garis depan? Kami? Ah, masa... yang benar saja.

Ternyata betul begitu. Tak ada unsur bercanda, apalagi mencoba mempermainkan kami ketika Juru Bicara Koops TNI Achmad Yani Basuki memberi penjelasan pada kami. Penjelasan yang tidak jelas, tepatnya. Ia sama sekali tidak bisa memberikan bayangan yang sedikit nyata tentang apa itu ‘operasi’ yang akan kami hadapi. Ia hanya berkata, kami akan dibagi dalam dua kelompok untuk dilekatkan bersama pasukan yang sedang menggelar operasi di medan perang. Kami segera saja bergerak merubung ke arah Pak Yani dan meminta penjelasan yang lebih detil mengenai ‘operasi’ yang digelar di sana. Apalagi saya, dengan gelayutan tanda tanya besar plus ketakutan yang tak kalah besarnya.

Pak Yani sama sekali tidak memberi penjelasan yang memuaskan. Dia hanya berkali-kali mengulangi pernyataannya, bahwa kami akan dilekatkan ke pasukan untuk ikut operasi. Titik. Dia tentu saja tidak bersedia menjelaskan operasi apa yang sedang digelar. “Ini kan operasi, kalau saya beritahu nanti bisa ketahuan musuh…” Oh ya, betul juga. Mereka tentara yang sedang berperang. Tentu saja membocorkan rencana operasi adalah sesuatu yang maha bodoh.

Fine. Mungkin bukan rencana operasi yang bisa dibocorkan di sini, tapi saya terus berharap dia akan memberitahu sesuatu. Sekedar untuk menenangkan hati, pertanyaan kemudian saya alihkan ke durasi ‘operasi’ itu. Ternyata pertanyaan ini pun tak bersambut. Lagi-lagi Pak Yani memberikan penjelasan yang tidak memadai, tapi ‘tentara’ betul penjelasannya. “Tentara itu kalau operasi kan tidak kenal waktu. Kalau tiga hari bisa dapat sasarannya, ya bagus. Kalau tidak, nanti kan bisa didatangi tim logistik untuk pasokan baru.” Ah, ya betul sekali. Siapa lah kami warga sipil ini, tentunya tidak setangguh tentara di mata Pak Yani. Lama operasi kok ditanyain, mungkin begitu yang ada di pikiran dia.

Pak Yani tampaknya tidak peduli betul dengan ketakutan, kecemasan dan pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan. Ia malah kemudian menyergah saya dengan pernyataan “Mana komitmen kamu sama Sanggabuana? Yang saya tahu, kalian sudah dilatih di Sanggabuana dan siap ikut bergerak bersama kami.” Yeah rite. Komitmen? Siapa yang membuat komitmen dengan TNI? Saya? Tidak. Sontak terlintas bayangan saya dalam seragam loreng yang sempat memegang senjata SS1 ketika dilatih di Sanggabuana.

Tak lama, Pak Yani mengangkat tangan kirinya dan melirik ke arah jam tangannya. “Kalian punya waktu 30 menit untuk berkemas. Setelah itu, segera kembali ke sini. Posisikan diri sesuai kelompok yang sudah saya bagikan.”

Berkemas? Jadi ini serius? Kami akan ditempatkan bersama pasukan di garis depan? Kami yang tak punya pengalaman sebagai tentara ini harus ikut operasi peperangan? Ah yang benar saja. Bisa-bisa kerja tentara kita malah kocar-kacir akibat kekacauan yang sudah pasti akan kami lakukan.

Bertanya ke kiri atau ke kanan hanya akan menambah kadar kecemasan itu sendiri. Lagipula, tidak ada yang lebih tahu daripada yang lain, karena toh informasi yang disampaikan Pak Yani terlampau pelit untuk dicari-cari makna tersiratnya. Apalagi, tidak semua teman punya kecemasan yang sama besarnya dengan saya. Beberapa malah kegirangan, karena akhirnya terjun juga ke ‘medan perang’. Sementara saya, merasa nelangsa karena sebagai warga sipil sejati seolah digiring untuk ikut memanggul senjata.



Pengalaman empat hari ‘dididik menjadi tentara’ di Sanggabuana nyatanya tidak membuat kecemasan saya hilang. Yang muncul lagi-lagi rasa cemas, karena bukan tidak mungkin apa yang selama empat hari saya pelajari di sana, akan menjadi nyata dalam hitungan jam saja. Pelajaran 5M (menghilang, mengguling, membidik, menembak, meliput) yang sempat kami pelajari di sana serta merta menjadi pembicaraan yang serius, minimal teman-teman terlihat saling mengingatkan soal pelajaran itu. Tapi tidak ada yang tidak cemas. Yang hanyalah ada yang berhasil menyembunyikan kecemasan itu, ada yang tidak berhasil.

Segera saja saya telfon bos saya. Bagaimana pun juga dia harus tahu kecemasan yang saya alami dan kenyataan yang ada di depan mata. Tidak ada keraguan, dia pasti menangkap betul kebingungan saya, bahkan dari jarak ribuan kilometer sekali pun. Ini pun bukan kecemasan saya yang pertama yang saya sampaikan ke dia, sejak hari pertama menjejakkan kaki di Aceh. Tapi dia menyerahkan semua keputusan pada saya. Karena saya yang ada di Lhokseumawe. Karena saya yang akan ikut operasi, jika keputusan itu yang saya ambil. Karena saya yang memilih untuk ikut ‘pelatihan kedaruratan militer’ alias latihan perang TNI di Sanggabuana. Karena saya sendiri yang minta untuk pergi ke Aceh. Semua seolah-olah berbalik ke saya sendiri.

Dan sampailah pesan singkat itu di telfon genggam saya. Saya memutuskan untuk ikut ‘berperang’ bersama TNI, ikut dalam operasi yang mereka gelar, apa pun itu bentuknya. Saya berusaha keras mengusir pikiran-pikiran buruk yang terlanjur ada. Dalam hitungan 10 menit, saya berkemas, memasukkan barang-barang yang sekiranya diperlukan selama… yah, berapa lama pun operasi itu akan digelar. Tiga kaos, lima kaset kosong, sepuluh baterai baru, dua tape recorder, topi, jaket, lotion pengusir nyamuk, rasanya cukup. Ketika masih di Markas Koops tadi, kami sudah sepakat untuk tidak ada yang membawa seragam loreng karena terlalu berbahaya. Sekedar saling mengingatkan saja, karena ada saja kawan yang jiwa ketentaraannya makin terasah setelah ikut Sanggabuana dan pergi ke Aceh.

Ritsleting ransel daypack biru saya segera saya tutup, sambil terus berdoa supaya semua akan baik-baik saja. Kamar hotel segera saja saya kunci, mudah-mudahan dalam beberapa hari ke depan saya sudah bisa bertemu kamar hotel ini lagi. Kecemasan yang sedari tadi ada, mulai saya anggap sebagai suatu kewarasan belaka. Rasa takut tentu adalah hal yang wajar. Saya pikir, saya hanya bertindak waras dengan tidak mau ikut ke garis depan. Karena yang harus melakukan itu memang tentara, bukan wartawan yang juga adalah warga sipil.

Begitu keluar hotel, seketika itu juga saya teringat dan segera berlari menuju kamar. Ternyata ada yang tertinggal. Kartu Sanggabuana. Kartu kecil berwarna hijau, bertuliskan Puspen TNI, dengan pasfoto 4x6 berlatar merah, saya dalam seragam loreng. Siapa tahu bisa jadi jimat. Baru kali ini saya menyelipkan kartu itu di kantong depan ransel saya. Biasanya, saya pendam di bagian paling bawah carrier tempat baju.

Betul saja. Begitu sampai di Markas Koops, teman-teman sudah menunggu. Tak lama, Kelompok I dipersilahkan jalan, naik ke atas reo alias truk tentara. Seorang kawan tiba-tiba menyikut saya dan berkata,”Orang-orang GAM pasti udah liat nih siapa aja yang naik reo. Kita mesti tetap hati-hati.”

Desas-desus soal tidak amannya kami sebagai wartawan melekat alias embedded journalist memang sudah lama beredar, bahkan sejak kami masih dilatih tentara di Sanggabuana. Konon, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah memegang daftar nama-nama kami yang melekat pada TNI. Tidak ada yang bisa memastikan kebenaran kabar itu, kami pun saling menenangkan diri setiap kali teringat kabar itu. Ketidaktahuan memang selalu menimbulkan kecemasan. Tapi seorang kawan yang kebetulan pernah masuk ke markas GAM menyebutkan, mereka memang betul-betul punya daftar itu.

Beberapa reo yang diperuntukkan bagi kelompok I berlalu. Mereka diarahkan menuju Peureulak, Aceh Timur. Sementara saya dan kelompok dua nanti akan ke Simpang KKA, masih masuk wilayah Aceh Utara.

Ada sekitar lima orang yang tergabung dalam kelompok dua. Semua sudah siap dengan ranselnya masing-masing. Yang paling repot bawaannya mungkin teman-teman foto karena kamera manual mereka berat-berat, belum lagi harus membawa peralatan untuk mengirim gambar. Sementara saya, lebih direpotkan dengan kecemasan saya. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya tiba juga reo yang akan membawa kami ke Simpang KKA. Kami pun diperkenalkan dengan Kolonel Panji, komandan yang bertanggung jawab di wilayah tersebut. Dia hanya mengeluarkan kalimat seperlunya, dengan kalimat yang pendek-pendek. Wajahnya agak tegang. Mungkin dia sedang membayangkan anak buahnya akan ketambahan kerjaan untuk mengurus kami-kami yang wartawan ini. Atau bisa jadi dia membayangkan kekalahan yang akan dialami karena kami ikut bersama rombongan TNI.

Terserah lah apa yang ada dalam pikirannya. Saya sudah enek berpikiran ngeri tentang operasi TNI ini. Karena toh reo sudah parkir di jalan depan Markas Koops, mau apa lagi, tinggal membesarkan hati dan naik ke atas reo. Akhirnya punya pikiran cemas jadi tidak berguna, hanya membuat perut melilit saja. Toh tidak ada yang bisa memberitahu saya apa yang akan dihadapi nanti. Jadi ya dinikmati saja.

Setibanya di atas reo, sudah ada sekitar 10 orang tentara di sana. Mereka siap dengan senjata SS1 di tangan. Tentu juga dengan atribut-atribut lain yang melekat di tubuh mereka, pisau komando, persediaan amunisi SS1 dan botol air. Di tengah-tengah reo terdapat SMB atau Senjata Mesin Berat yang amunisinya 12,7 milimeter. Besar, ya. Saya jadi teringat pada Rambo. Tidak semua prajurit diperbolehkan memegang SMB. Selain karena spesifikasinya yang berbeda dengan senjata lain, juga karena tentara yang memegang SMB tidak boleh meninggalkan reo ketika tiba-tiba kontak senjata berlangsung. Dia harus terus memuntahkan amunisinya dan mengalihkan perhatian musuh sehingga prajurit lain yang ada di reo bisa berlarian mengejar musuh. Hm, kalau begitu, jika tiba-tiba ada kontak senjata, saya sudah tahu saya akan bersembunyi di sana.

Saya duduk di sebelah seorang tentara berpangkat Sersan Kepala. Sepanjang perjalanan selama kurang lebih 2 jam, kami berbincang dengan cukup akrab. Saya memancing dia untuk bercerita tentang keluarganya. Dengan bersemangat ia berkisah tentang anaknya yang belum lagi berusia 5 tahun, juga tentang bagaimana ia bertemu perempuan yang kemudian menjadi istrinya. Tentang gajinya yang kecil, tentang makna pengabdian bagi seorang tentara seperti dirinya, tentang rasa takut, juga tentang Aceh. Sebelum ke Aceh, ia sempat ditugaskan ke Ambon. Menurut dia, konflik di Aceh berbeda jauh dengan Ambon. Kalau di Ambon, yang bertikai adalah antar masyarakat sendiri, sehingga tentara tidak terlalu banyak bekerja. Sementara di Aceh, baru di sinilah ia merasa betul-betul di medan perang. Walau tetap didera rasa takut tak bisa lagi bertemu dengan istri dan anaknya, baru kali ini ia merasa betul-betul menjadi tentara.

Luar biasa. Saya tak terbayang apa jadinya kalau kami bertukar posisi, kalau saya jadi tentara. Saya tidak tahu apakah saya sanggup punya ‘kebanggaan’ yang sebegitu besar untuk menjadi tentara. Ketika berperang adalah suatu kebanggaan. Ketika menembak musuh seperti membuktikan pengabdian pada negara. Kelihatannya saya adalah produk gagal Sanggabuana.

Tidak semua tentara bisa asik bercengkrama seperti Sersan Kepala yang saya ajak berbincang. Beberapa di antara mereka tetap berdiri sepanjang perjalanan, berjaga-jaga, siap dengan SS1 yang sudah terkokang. Kelihatannya mereka berusaha tetap trendi walau terkungkung dalam seragam loreng. Kaca mata hitam, balaklava loreng, sarung tangan. Secara fungsional itu memang ada gunanya, untuk melawan terik matahari di Aceh Utara.

Tiba di suatu belokan, tiba-tiba sang Sersan Kepala di sebelah saya bergegas berdiri. Posisinya langsung siaga, setelah mengokang senjata di tangannya. Tangannya sempat juga meraba ke kantong penyimpanan cadangan amunisi. Tidak hanya dia yang bersiaga, tapi semua tentara yang ada di dalam reo itu langsung bersiap siaga. Saya dan tiga wartawan lainnya yang ada dalam reo yang sama langsung berpandang-pandangan, karena tidak tahu mengapa tiba-tiba kesiagaan seperti itu langsung dipertunjukkan.

Saya mengintip lewat lubang yang ada di reo. Pabrik Kertas Kraft Aceh (KKA). Rupanya kita telah tiba di Simpang KKA. Pantas saja.

Tak lama kemudian perjalanan truk berhenti di suatu tempat. Mereka menyebut tempat ini sebagai Detasemen Rudal, Denrudal. Satu ruangan besar seperti hanggar terletak di sebelah kanan reo yang berhenti di tengah lapangan parkir. Kami segera turun ke sana. Saya akhirnya menemukan teman yang sama ‘waras’nya dengan saya, Ade Siboro dari The Jakarta Post, untuk tidak mau ikut operasi ke garis depan.

Kami duduk di bangku yang tersedia. Ruangan besar itu hanya bersekat tripleks saja. Saya sadar betul, kami sudah masuk ke wilayah tentara, bersama para tentara pula. Para cantoi alias mata-mata GAM pasti sudah mengabarkan kedatangan kami. Satu-satunya barang bukti bahwa kami adalah wartawan hanya ID Card yang terus menggantung di leher. Menjadi pengingat bahwa kami bukan tentara dan masih tetap warga sipil.

Tanpa basa-basi yang panjang, Kolonel Panji yang juga sudah tiba di lokasi, mempersilahkan kami untuk mengambil rompi anti peluru. Seonggokan rompi anti peluru sudah terlihat menanti kami di tengah ruangan.

Ah, sudah lah. Saya sudah terlalu capek merasa cemas dan ini adalah saatnya untuk bersenang-senang. Kalau tidak menjadi wartawan dan tidak embedded seperti ini dengan TNI, mungkin saya tidak akan punya kesempatan lagi untuk menggunakan rompi anti peluru seberat 13-an kilogram ini. Akhirnya saya dan teman saya itu mendekat dan memilih rompi anti peluru. Bermotif loreng tentunya, walaupun saya mungkin lebih ingin memilih yang bermotif zebra. Semua rompi itu kotor, seperti terkena lumpur lantas mengering sebelum sempat dibersihkan. Saya tidak sempat bertanya-tanya lagi, sebetulnya rompi ini datang dari mana, karena waktu yang sempit. Akhirnya saya pun memilih satu rompi yang paling pas. Tentu saja mengenakannya butuh bantuan. Berat 13 kilogram itu tidak bohongan, ini serius. Tak heran kalau mengangkatnya dan mengenakannya, saya butuh bantuan. Tadinya mau coba-coba sok tau dan memasangnya sendirian, tapi ternyata terbalik. Terlalu banyak tali yang harus disangkutkan. Ternyata saya masih butuh TNI juga, untuk memasang rompi itu.

Setelah mengenakan rompi, saya merasa seperti orang lain. Lumayan lah, sehari membeli kepribadian tentara. Dengan rompi yang masih menempel di badan, saya justru merasa makin tidak tenang. Memang, rompi ini bisa menangkal peluru, walaupun tidak ada janji untuk peluru-peluru tertentu, apalagi kalau jarak tembaknya dekat. Tapi kalau saya jalan-jalan dengan rompi ini, yang ada malah ditembak oleh GAM, karena dari jarak jauh saya sudah terlihat seperti tentara. Tidak ada bedanya. Apalagi kalau dibandingkan dengan ID Pers saya yang teramat kecil.

Tak lama kami mematut-matut. Kami kembali dibagi dalam beberapa kelompok kecil. Wilayah Kolonel Panji disebut sebagai Sektor B. Sektor B ini dibagi lagi menjadi empat Detasemen Pemukul atau Denkul. Tiap Denkul nantinya dipecah lagi menjadi beberapa satuan. Seorang Perwira Hukum dari Yonif 403 Diponegoro yang kami sapa dengan Pak Yanu membagi kami ke Denkul-denkul yang ada.

Akhirnya saya memilih untuk berada di Denkul 3, tempat Pak Yanu bertugas. Kelihatannya dia cukup tenang dan rasional dalam memberikan penjelasan tentang operasi yang akan dihadapi. Dia pun memberikan jaminan pengamanan terhadap kami, para wartawan, kalau benar akan ikut operasi. Selain itu, dia juga menjanjikan setiap saat kami mau pulang, maka kami bisa meminta pada mereka, dan akan disediakan pengawalan. Nah, ini dia yang saya cari : kepastian pulang. Ada empat orang yang ikut di Denkul 3, selain saya, ada Ade Siboro dan Berto Wedatama dari The Jakarta Post, serta Alex Suban dari Suara Pembaruan. Kebetulan, saya, Ade dan Berto adalah teman sekamar, sementara Alex Suban lebih sering berada di kamar kami ketimbang di kamarnya sendiri.

Semua teman sudah ditempatkan di Denkul-denkul yang lain. Tempatnya sebetulnya tidak terlalu saling berjauhan, tapi berbeda arah. Setelah bersalam-salaman, seolah-olah kami akan berpisah lama, kami pergi ke reo kami masing-masing. Sempat saya bertanya pada seorang kawan, berapa lama yang dia perkirakan akan ikut ‘operasi’ itu. Dia hanya mengangkat bahu. Dia hanya berkata,”Kalau udah dapat satu cerita paling juga minta pulang. Itu pun kalau tidak merepotkan. Gue juga nggak mau lama-lama.” Alhamdulillah, ternyata kewarasan bukan milik saya seorang.

Saya dan Ade ternyata sudah disiapkan tempat duduk di depan. Tempat duduk di bagian depan reo rasanya jadi lebih sempit karena ada tiga orang yang semuanya mengenakan rompi anti peluru. Ternyata sulit juga menutup pintu reo yang sudah dilapis baja. Setelah kami bertiga duduk manis di depan, lapisan baja pun ditarik Ade, yang duduk di pinggir. Tapi setelah lapisan baja itu ditarik, ternyata pintu reo justru belum didekatkan sehingga tidak bisa ditutup. Akhirnya tentara yang duduk di sebelah kanan saya, yang mengemudikan reo, harus turun dan membantu menutup pintu untuk kami. Dasar sipil.

Sepanjang jalan, kami berdua banyak sekali bertanya pada tentara supir ini. Saya tak sempat mengintip label namanya karena sudah tertutup rompi anti peluru. Dia juga kelihatannya punya banyak cerita yang ingin dibagi dengan kami. Rute yang kami lewati termasuk cerita yang disampaikan. Ketika saya mengintip ke belakang, semua prajurit memang terlihat siaga. Tidak ada yang duduk mengobrol, seperti yang sempat saya lakukan. Dia bercerita, rute yang sedang kami lewati tidak terlalu aman. Dia menunjuk jauh ke sebelah kiri dan menyebutkan, GAM seringkali menyerang dari arah sana. Di sebelah kiri kami terdapat perbukitan yang dipenuhi pohon kelapa. Sangat sulit untuk bisa memastikan apakah pada saat reo kami berlalu ada GAM yang mengintai kami atau tidak.

Dia juga sempat bercerita tentang bom rakitan yang ditemui di jalan. Ada kalanya mereka sudah bisa mengantisipasi adanya bom, tapi tak jarang mereka menjadi korban bom itu. Dia bercerita tentang bom rakitan yang pernah dia temui, yang meledak dan membuat sebuah mobil Kijang terlempar ke udara. Dengan nada agak menenangkan, dia menambahkan, kalau bom itu meledak di bawah panser, mungkin hanya akan bergetar sedikit saja. Kalau meledak di bawah reo? “Ya bolong,” begitu ujarnya, tenang. Menjejaki adanya bom menjadi salah satu tugas dia. Sebelum reo bergerak dari Denkul tadi, sudah ada tim yang berjalan duluan untuk menyisir rute yang akan kami lalui. Siapa tahu ada seutas kawat yang dihubungkan ke bom rakitan, misalnya. Saya langsung mengelus dada, pastinya tim ini pemberani sekali. Sudah berjalan kaki, berpanas-panas, di jalan ada resiko besar untuk dihadang GAM, sementara yang diamankan adalah kami yang bergerak di atas reo.

Perjalanan berlalu begitu lama, karena reo berjalan lambat. Alex Suban dan Berto Wedatama terlihat cukup sibuk memotret. Mereka cukup awas untuk tidak memotret dengan cara berdiri. Mereka hanya mengacungkan kamera mereka ke atas dan memotret dengan insting. Sementara saya dan Ade menikmati bulir-bulir peluh yang mengalir deras dari dahi hingga paha. Ruang yang sempit untuk kami bertiga di bagian depan reo sudah cukup untuk membuat gerah. Apalagi, dengan lapisan baja di samping kiri dan kanan, hanya menyisakan satu kotak kecil sebagai tempat lalu lalangnya udara.

Reo pun memasuki sebuah kompleks. Saya luput memperhatikan plang ketika reo memasuki kompleks perumahan ini. Tapi kelihatannya ini adalah kompleks perumahan karyawan KKA. Kompleks yang cukup menyenangkan, dengan deretan rumah berukuran sedang yang asri dan tidak berpagar, beberapa orang tampak bersantai di luar rumah mereka. Mungkin mereka sudah tidak asing lagi melihat reo tentara bersliweran di depan rumah mereka. Tak asing juga dengan pos-pos tentara yang terdapat di pojok-pojok kompleks. Tentara supir ini melanjutkan ceritanya, kalau di kompleks ini terdapat keluarga GAM. Ia menunjuk satu rumah kecil yang terletak tidak terlalu jauh dari pintu gerbang utama. “Sudah tahu GAM kenapa tidak ditangkap?” begitu tanya saya. Menurut dia, tentara tidak bisa serta merta menangkap mereka karena belum terbukti melakukan apa pun. Mereka hanya bisa berjaga-jaga dengan lebih waspada untuk rumah tersebut. Akhirnya kami tiba di pos tentara. Kelihatannya ini pos utama untuk sektor ini. Betul saja. Begitu kami semua turun dengan kepenatan menggunakan rompi anti peluru, Pak Yanu kembali menyambut kami dengan senyum lebarnya. Menurut Pak Yanu, kami akan segera diperkenalkan dengan Rimbo Karyono, komandan Detasemen Pemukul 3.

Rimbo? Tiba-tiba saya terbayang seorang pria bertubuh besar, dengan perut kotak-kotak, rambut agak gondrong dan memegang senjata mesin.

Sebelum bertemu dengan Rimbo, kami menunggu dulu sambil menonton TV. Bertemu dengan TV rasanya sudah kembali bersentuhan dengan dunia nyata. Ruangan untuk menonton TV hanya mengambil lokasi di lorong penghubung antar bangunan. Kursi yang digunakan seperti kursi metromini, tiga berderet ke belakang. Kursi yang paling depan adalah sofa yang sudah terkoyak di sana-sini, busa sofa pun sudah teramat tipis. Pasti kursi sofa ini ditujukan bagi komandan mereka.

Tak lama, kami berkenalan dengan Rimbo. Posturnya tentu berbeda dengan Rambo. Sama-sama tinggi besar, badannya masih tegap, cukup ganteng, usianya sekitar 40-an tahun. Percakapan segera meluncur di antara kami berlima. Di awal-awal, seperti sudah saya duga, dia akan menyampaikan kekagumannya kepada kami. Karena kami yang wartawan ini sudah dilatih di Sanggabuana dan ‘berani’ ikut tentara. Padahal saya tak merasa ada hebat-hebatnya ikut berlatih di Sanggabuana. Tapi mereka, sebagai tentara, tentu bangga ada orang-orang sipil yang mau berlatih seperti tentara. Walaupun saya tak bangga, tapi fakta bahwa saya ikut berlatih di Sanggabuana, seringkali saya lontarkan saat saya berbincang dengan tentara. Untuk mencairkan suasana saja. Beberapa kali, saya lantas dipanggil wartawan perang. Aih, ngeri.

Ketidakjelasan jalur informasi mulai terasa ketika Rimbo bertanya pada kami berempat, berapa lama rencananya kami akan ikut bersama pasukan. Kami pun berpandang-pandangan. Sebab, berpuluh-puluh kilometer ke belakang, ketika kami masih di Lhokseumawe, Pak Yani sempat berucap, lama atau tidaknya kami di pasukan juga tergantung dari pergerakan pasukan itu sendiri. Seolah kami tak punya andil untuk menentukan waktu kepulangan. Saya sempat kesal juga. Seperti dipingpong, untuk sesuatu yang tidak menyenangkan, seperti di garis depan bersama pasukan.

Tapi untungnya kami segera ambil kata sepakat. Besok, kami akan ikut pasukan untuk mengantar logistik ke pasukan yang ada di garis depan. Setelah itu, pasukan yang sama akan mengantarkan kami kembali ke Lhokseumawe. Bagus.

Sore hari, kami berkeliling kompleks KKA. Di seputaran kompleks ini, ada begitu banyak pos tentara. Tempatnya bermacam-macam, ada yang nyaman, tapi ada juga yang tersiksa. Ada yang posnya menempati rumah warga kompleks yang sudah ditinggalkan. Kami mendapat oleh-oleh nangka dari tentara yang berjaga di sana. Tentunya, nangka itu tak dari pohon di halaman pos, tapi dari tetangga kiri dan kanan. Ada juga yang menempati pos di perbukitan, atau di pojokan jalan, atau di tengah pepohonan. Saya tak terbayang kata lain yang mampu menggambarkan pekerjaan mereka sehari-hari di pos : bosan. Mereka harus berjaga, melihat jauh ke depan, setiap detik merasa was-was khawatir diserang GAM, tak boleh memicingkan mata sekalipun sampai waktu berjaga habis. Saya tidak akan mau disuruh menggantikan tugas mereka, bahkan hanya untuk setengah hari sekalipun. Tidak bisa membunuh waktu sambil membaca atau melakukan kegiatan lain. Tidak boleh lengah. Dipenuhi rasa takut terus menerus. Apalagi sore itu, angin bertiup sepoi-sepoi, membuat mata terkantuk-kantuk. Bisa-bisa pos kebobolan kalau saya yang disuruh berjaga.

Secara iseng, saya sempat bertanya pada Johanes, salah satu tentara yang berjaga di sana. Badannya tegap, usianya kelihatannya masih muda. Sepantaran saya, ternyata. Balok merah di lengan kirinya ada dua, pangkatnya prajurit satu. Saya tanya dia, apakah dia pernah pacaran dengan gadis-gadis yang ada di kompleks itu. Sontak, wajahnya merona merah di kulitnya yang coklat gelap. Teman-temannya langsung tertunduk malu. Saya langsung terpingkal-pingkal menghadapi mereka yang mendadak grogi. Jawaban yang akhirnya keluar pun sangat standar, tentara banget. Mendahulukan kepentingan bangsa dan negara, mempertahankan wilayah, yang penting adalah waspada, pacarannya ditunda dulu saja, bla bla bla. Kasihan. Mereka tak punya cukup waktu untuk mereguk sedapnya masa muda.

Di pos yang lain, tentara yang berjaga juga masih seusia saya. Beberapa malah tampak lebih culun. Saya suka agak jengah setiap kali menyadari tentara yang berhadapan dengan saya usianya tak terpaut jauh. Seolah-olah kami berada di dua dunia yang berbeda jauh. Salah satu pasukan yang berjaga ternyata berasal dari Kodam Jaya, Jakarta. Kami berempat seperti merasa bertemu teman sekampung di perantauan. Sore itu mereka sedang bersantai. Ada yang berjaga, tapi kata mereka, situasi di sore hari relatif aman. Kewaspadaan baru ditingkatkan menjelang Maghrib, karena pada jam-jam itu suka muncul serangan dari GAM.

Saya berbincang dengan salah satu tentara. Namanya Yudi. Waktu di Jakarta, dia lebih sering bertugas menghadapi mahasiswa ketika terjadi unjuk rasa. Ia baru dua bulan di Aceh, masih ada empat bulan yang harus dijalani. Tapi ia mengaku senang ada di Aceh. Karena di sini ia baru merasa menjadi tentara, berhadapan dengan musuh, mengeluarkan pelor demi mempertahankan bangsa. Saya tak habis-habisnya mengagumi sikapnya. Luar biasa, untuk usia yang sepantaran, saya tak pernah punya pikiran yang sama dengan mereka. Perbedaan antara kami berdua tentu sangat jauh. Saya cuma sempat mencicipi hidup ketentaraan selama empat hari, sementara Yudi, seumur hidup. Pikiran-pikiran seperti itu tentu sudah merasuk ke tulang belulang Yudi. Sementara saya, lebih memilih untuk mengartikan nasionalisme, perang, serta nusa dan bangsa dalam bentuk-bentuk lain.

Pada akhirnya semua toh tak separah yang kami bayangkan. Tadinya saya berpikir, kami harus menginap di tenda hijau bersama tentara-tentara ini. Saya sempat sibuk mengingat-ingat, apakah saya sudah membawa lotion pengusir nyamuk atau belum. Nyatanya, kami disediakan kamar tidur yang nyaman. Agak spooky saja suasananya, karena mess yang kami gunakan adalah mess karyawan PT KKA, yang sudah bertahun-tahun tidak digunakan lagi. Bau debu terasa di seluruh kamar. Taman yang ada di depan kamar kami pun sama sekali tak terurus. Kamar mandi di kanan dan kiri kamar kami tidak ada lampunya. Tapi lumayan, daripada tidur di atas velbed tentara.

Sebelum tidur, kami sempat berkeliling kompleks PT KKA. Tentunya tak sendirian, karena Pak Yanu, perwira hukum yang menghantar kami sejak awal, juga ikut menemani.

Usianya ternyata tak terpaut jauh dengan saya. Tapi balutan baju doreng-nya membuat usia Pak Yanu terasa begitu jauh dibandingkan saya. Dia berusaha mencairkan suasana dan mengecilkan jarak antara dia dengan kami semua. Mungkin yang lain merasa nyaman, tapi saya tidak. Pak Yanu sempat bercerita tentang masa lalunya. Tentang dia yang dulu ketika mahasiswa, tentang dia yang dulu sempat jadi aktivis mahasiswa. Pak Yanu bercerita, dia memutuskan masuk tentara karena merasa terpanggil untuk mengabdi pada negara. Ceritanya tentu tak sesingkat itu, masih panjang lagi ceritanya. Tapi jujur saja, saya tak terlalu banyak mendengarkan.

Saya lebih sibuk mengamati rumah-rumah yang ada di kompleks PT KKA ini. Rumah-rumah kecil, bentuknya sederhana. Halamannya juga tak terlalu luas, tak ada pagar yang membatasi antar rumah. Persis seperti rumah idaman yang ada di kepala saya. Malam itu memang cukup sejuk, banyak orang yang bermain di depan rumah. Anak-anak kecil masih terlihat berlarian di sekitar kompleks. Anak-anak muda juga ada yang duduk bercengkrama, berdua-duaan. Tak ketinggalan, gadis-gadis muda yang menggoda Teguh, ajudan Rimbo, yang juga ikut bersama kami malam itu.

Kami sempat berkunjung ke salah satu rumah. Pak Yanu terlihat berusaha akrab dan ramah dengan pemilik rumah. Tapi, rasa jengah tetap tak tersembunyikan dari raut wajah bapak itu. Istrinya tampak sedang duduk di bangku teras rumah mereka. Anak-anaknya terlihat bermain di bawah pohon, tak jauh dari tempat ayahnya berdiri.

Bapak itu layaknya warga Aceh kebanyakan. Tak mampu bersikap. Di wajahnya ada ketakutan, setiap kali harus memilih menyebut TNI atau GAM. Yang diinginkan hanya suasana yang damai dan keluarganya bisa hidup tenang. Ia tetap ingin bisa bepergian bolak balik ke Lhokseumawe, seperti yang dulu pernah dilakukannya. Begitu insiden Simpang KKA terjadi, tak ada yang berani keluar dari kompleks. Tapi karena ia tinggal di kompleks suatu perusahaan yang cukup besar, ia mungkin tak merasakan ketakutan seperti yang dirasakan mereka yang tinggal di desa-desa. Apalagi, di kompleks KKA ini ada begitu banyak tentara yang berjaga. Tentu, ini membuat warga kompleks lebih akrab dengan TNI, ketimbang berhadapan dengan GAM. Kondisi ini pula yang membuat mereka lebih bergidik menyebut GAM, dan berwajah lega ketika bertemu TNI. Sementara di wilayah lain, ada warga yang nyaris tak bisa membedakan TNI dengan GAM, karena kelakuan mereka sama saja.

Sayang, Pak Yanu berada terlampau dekat dengan kami. Saya tak bisa menggali lebih lanjut soal perlakuan tentara yang berseliweran di sekitar rumahnya.

Nyaris tengah malam, kami kembali ke mess. Agak khawatir juga tidak bisa bangun pagi. Operasi dorongan logistik rencananya akan berangkat jam 8 pagi.

Akhirnya pagi tiba. Saya makin tak sabar untuk segera ikut dalam operasi dorongan logistik ini. Semakin cepat ini selesai, semakin cepat juga saya bisa kembali ke Lhokseumawe. Setelah menunggu agak lama, akhirnya kami naik ke dalam reo juga. Saya dan Alex Suban ada dalam reo yang sama, sementara Ade Siboro dan Berto Wedatama di reo yang lain. Seperti biasa, kami memakai seragam ‘kebesaran’ kami : rompi anti peluru.

Berasa agak deg-degan juga ketika ada di dalam reo ini bersama para tentara. Ketika pertama kali, mungkin saya terlalu sibuk mengatasi rasa takut saya sendiri. Tapi tidak kali ini. Saya lebih khawatir pada lingkungan sekitar. Apalagi kali ini saya ikut di dalam reo, sekaligus ikut dalam operasi yang dilakukan TNI. Kalau sampai saya bertemu GAM di jalan, saya seperti tak punya pembelaan apa pun. Melekat sudah, betul-betul melekat dengan TNI.

Reo akhirnya keluar dari pagar kompleks perumahan karyawan PT KKA. Dari handy talky sayup-sayup terdengar bunyi : dua reo isi wartawan keluar. Agak pias juga mendengarnya. Dari siapa lagi kalau bukan dari GAM.

Perjalanan kami di pagi hari menjelang siang itu dipandu lewat sebuah peta. Kelihatannya komandan perjalanan agak tergagap-gagap juga dalam membaca peta. Mungkin ada perbedaan antara apa yang dibaca dan yang ada di hadapannya. Saya tak berani bertanya. Kelihatannya dia agak gusar.

Saya memilih untuk berbincang saja dengan tentara yang memegang SMB, Senjata Mesin Berat. Dia terlihat begitu cool dengan senjata besar. Lagi-lagi saya teringat Rambo. Walaupun wajahnya tak segahar Rambo yang betulan, karena kelihatannya dia masih muda dan berwajah cukup baik. Tapi dengan SMB di tangan, kebaikannya rasanya akan luntur ditelan butir-butir amunisi 12,7 milimeter.

Sepanjang perjalanan, saya juga berbicara dengan tentara yang berperan sebagai dokter. Dulu pernah kuliah juga, dan akhirnya memutuskan untuk jadi tentara. Lama-lama saya enek juga mendengar cerita-cerita heroik dari mulut mereka. Saya letih mendengarkan betapa pentingnya membela negara, bla bla bla. Memang, penting untuk membela negara. Sejauh ini, penting juga untuk menjaga kesatuan bangsa. Tapi letih, letih saja mendengar semua itu. Apalagi, ‘perang’ yang saya kenal ini perang melawan kawan sendiri. Yang di Ambon, yang di Aceh, juga di Timor Leste. Mereka semua kawan kita, sehingga tidak pernah bisa masuk akal saya bagaimana semua perang ini dibenarkan. Saya tak ubahnya massa yang ikut menggebuki seseorang karena ketahuan maling. Dan saya benci sekali tindakan itu.

Tiba-tiba reo berhenti. Rupanya rombongan reo ini berpapasan dengan mobil pick-up milik masyarakat. Di dalam pick-up itu terdapat tumpukan karung beras. Beberapa anak muda dan ibu-ibu tampak duduk di atas tumpukan beras itu. Mereka langsung turun begitu berpapasan dengan reo tentara. Terbiasa, tampaknya.

Saya hanya berani mengintip dari atas reo. Tak berani turun. Kecemasan sempat hinggap lagi di kepala saya. Sebab kini saya menggunakan rompi loreng anti peluru milik tentara. Kali ini saya berada di dalam reo tentara. Saya bersama mereka. Kalau saya turun, maka akan ada orng-orang non-tentara yang akan mendapati ada ‘orang asing’ di tengah rombongan tentara. Saya tak bisa memastikan bahwa mereka bukanlah warga sipil biasa. Bisa saja mereka yang saya dengar suaranya di balik handy talky ketika reo baru keluar kompleks. Karena sya tidak pasti, akhirnya saya memutuskan untuk tidak turun.

Saya melirik ke Alex. Kelihatannya dia punya pemikiran yang sama. Dia tetap memotret dari atas reo. Ia menurunkan slayer biru yang sedari tadi digunakan di atas kepala. Kini ia menggunakan slayernya di depan mulut. Menutupi sebagian besar wajahnya, sehingga yang tersisa hingga bagian dahi dan kacamata ovalnya. Ia memberi kode mata kepada saya. Tidak usah turun, terlampau beresiko.

Saya penasaran betul, apa saja yang ditanyakan atau dikatakan para tentara ini kepada mereka yang di atas pick-up. Para tentara terlihat menusuk-nusuk karung beras itu dengan ujung SS1 mereka, pongah. Sesekali bertanya, dengan gaya yang tak kalah angkuhnya. Ada beberapa yang mencoba bersikap sopan.

Mereka yang turun dari pick-up lantas mengangkat tangan mereka ke atas. Yang laki-laki, bajunya ikut diangkat ke atas. Tentara-tentara itu tentunya mencari sepotong pistol terselip di pinggang mereka. Tak ada. Beberapa lantas menuju ke pick-up, mencoba mengangkat karung. Tingkah saya yang penasaran dijawab oleh tentara yang tinggal di atas reo. “Biasanya suka ada senjata yang diselipin di bawah karung. Makanya kita periksa ke sana.” Oh.

Mereka lantas mengeluarkan KTP mereka. Saya teringat kejadian lain. Ketika ada pemeriksaan KTP di dalam bis yang melintasi Jalan Medan – Banda Aceh. Saat itu beberapa anggota Brimob yang masuk dan memeriksa keberadaan KTP dari setiap penumpang. Saat itu ia berucap, kalau tidak punya KTP maka akan dianggap separuh GAM. Saya khawatir, di antara mereka yang sedang diperiksa di dekat pick-up mereka ada yang tidak punya KTP. Tapi mestinya tak terjadi sesuatu pun pada mereka, karena ada kami, wartawan, di atas reo.

Sekitar setengah jam kami berhenti, untuk kemudian melanjutkan perjalanan lagi. Mobil pick-up sudah selesai diperiksa dan berlalu. Saya kembali mengintip dari balik lubang. Saya tetap belum berani memunculkan kepala saya keluar dari reo. Alex sudah mencopot slayer birunya. Wajahnya bersimbah peluh. Matahari sudah ada di atas kepala.

Perjalanan diteruskan. Saya sempat bertanya di mana lokasi kita berada saat ini. Tapi tak satu pun yang bersedia menjawab. Mungkin takut informasi ini saya bocorkan pada pihak lawan. Di kiri dan kanan hanya hutan. Cukup lebat, apalagi bagi mata sipil seperti saya yang tak awas dengan lingkungan. Bukan tak mungkin ada mereka yang berseragam loreng di tengah hutan, bisa TNI, bisa juga TNA. Matahari yang terik, angin tak bertiup ramah, peluh semakin membanjir. Rasanya saya ingin mencopot rompi anti peluru saya. Tapi tak mungkin, tentara di sebelah saya melarang. Akhirnya saya pasrah. Tersender di dinding reo, berharap perjalanan segera berakhir. Saya sempat terkantuk-kantuk, tapi segera dibangunkan dan diminta bergeser sedikit. Sebab leher saya tepat berada di lobang yang ada di dinding reo. Sebetulnya itu sengaja, mencari sedikit kesejukan. Tapi ternyata tidak bisa begitu. “Nanti jadi sasaran tembak,” begitu tentara di sebelah saya mengingatkan. Wah. Gagal sudah usaha saya mencari angin segar.

Perut mulai terasa keroncongan. Saya melirik jam, ternyata sudah pukul 1 siang. Pantas. Sarapan nasi dan telur dadar yang disediakan anak buah Rimbo tak sanggup bertahan sampai sesiang ini. Tapi tak sopan rasanya menuntut makan siang di tengah perjalanan ini. Mereka tentu tak menyiapkan makanan, karena kami juga bukan raja yang harus dilayani. Saya hanya bisa menutup rasa haus dengan meneguk air minum. Untung saja, dua botol besar air minum jadi saya bawa. Tadinya sempat malas. Melihat saya yang ogah-ogahan membawa air minum, Rimbo sempat berkata, “Mendingan dibawa saja. Nggak apa-apa berat sedikit, yang penting nanti nggak sengsara.” Ternyata dia betul juga. Bergantian, saya teguk air yang sudah hangat itu, berbagi dengan Alex. Sebetulnya ada persediaan coklat batangan di dalam tas, tapi hanya dua, cukup untuk saya dan Alex. Kasihan yang lain kalau tidak kebagian.
Akhirnya kita sampai juga di tujuan. Lokasinya sama seperti sepanjang perjalanan, kiri dan kanan hanya hutan. Di sini, saya baru berani turun. Alex juga turun. Begitu turun, banyak wajah-wajah penuh tanya memandang ke arah saya dan Alex. Mereka pasti bingung, ada orang ‘asing’ di tengah teman-teman mereka sesama tentara. Bisik-bisik segera terdengar, ”Wartawan. Yang dilatih perang itu lho.” Ternyata begitu identitas kami di mata mereka. Ternyata informasi ini sudah sampai ke tingkat bawah. Sambutan ramah langsung mengiringi begitu keterangan soal ‘latihan perang’ sudah dilontarkan. Mereka mungkin langsung merasa kami jadi bagian dari mereka.

Barang-barang yang ada di atas reo segera diturunkan. Berkarung-karung. Ada rokok, kopi, mi instan, lilin, korek api, makanan kaleng, juga ada barang-barang khas TNI. Saya baru tahu di sana, kalau selain amunisi, pelor, senjata dan sebangsanya, TNI ternyata juga punya merchandise lain. Di antaranya ada baterai berlambang TNI dan buah kaleng bermotif loreng. Mudah-mudahan buahnya tidak ikut-ikutan loreng.

(Agustus 2003)

dok: tribuneindia