Saturday, October 02, 2004

Democracy At Work

We discovered the idea of "a handbook for every day’s life in the newsroom" after visiting Sveriges Radio or Swedish Radio (SR). This handbook is ‘the right track’ for everybody in the newsroom. This handbook might be useful for your newsroom too.

Why do we need a handbook?

You may reject this idea, having the grand thought that we journalists should be free from any rules. This is not a book telling you how to write your news. This is a guideline or code of conduct for every day’s life in the newsroom. Don’t worry; there will be no punishment or sanctions in this handbook.

But, again, why should we need a code of conduct? We don’t need a book telling us how to run things.

Let’s put it this way. Picture yourself in a newsroom, your newsroom. Have you ever been confused about what you are doing? You start to wonder, whether it is right or wrong. Or you just got your first big assignment, you are so thrilled, but you didn’t know where to start. Or when you got shocked after hearing an offensive feedback from your boss. Or, you are a frustrated young journalist, don’t know where to look for assistance. Or, have you ever fought very hard for story ideas such that in the process you accidentally hurt other people’s feelings? How do you know that what you are doing is right or wrong?

How do you handle that kind of situation? This is when you need a handbook, where you can refer many things. Anytime.

That handbook thing looks authoritarian to me. Where’s the democratic value of it?

The process of making and applying the handbook are the democratic values.

Try this. Sit with all members of the newsroom. Discuss about problems that occur in your newsroom. They can be anything: how to assist a new journalist, how to give feedbacks without hurting others’ feelings, agreement on meetings, aggreement on evaluation for your works, anything! Argue for whatever it is that you think is important to be in the handbook. Try to listen to others’ problems, whether he/she is the boss, middle manager or young journalist. This is democracy : where every voice counts. And then, find ‘the right track’ that fits with the rest of the newsroom. Make it useful for yourself.

And now, let’s say that someone has done something that is considered ‘wrong’ by the handbook. What should we do? Do coaching. Since there’s no punishment inside this book, talk about your problems. Try to find out the core of those problems through coaching. It is not necessary that the boss should always be the coach. Everybody can be the coach. You can be the coach! Refer to the handbook of the right track for problems occurred.

So, it’s a problem-solving book?

Yes. This handbook will give you suggestions and possible solutions. Well, you can’t expect instant answers to every problem that occurs in the newsroom. But it will give guidelines to keep you on the right track. This track will guide you to the real solutions, through coaching.

When should we refer to this handbook?

Anytime. Let’s say that there is a new, young, recently graduated, energetic journalist in your newsroom. He\She must be hungry for assistance, because she is not used to a real situation, environment and guidelines in your newsroom. Refer to the handbook and look for the right track to assist her/him. Surely, this new journalist will feel delighted about the assistance, because she/he knows that she/he is not being abandoned by the other members of the newsroom.

Or you are in the middle of a heavy argument about a story idea with your boss. Your boss has just rejected your idea and you thought it was the greatest idea ever to have crossed your mind. You feel very angry and you are ready to punch your boss because of that. Stay calm. Take a deep breath. Refer to this handbook, look for the chapter on ‘feedback’. Make sure that you will do the right thing : ask for professional and constructive feedback from your boss. You can do coaching as well, ask your boss to coach you.
Anytime, on everything.

This is interesting.

What’s more interesting is that you can always revise this handbook. Your handbook is too old and no longer suitable for the conditions in your newsroom? There are new prolems taking place in your newsroom? Revise it. Discuss it all over again. Try to find new solutions and suggestions for your new handbook. Change it. Make it suitable again.

It’s the process that makes this handbook alive. This is democracy at work. Thats what makes this book valuable.

[www.fo.hik.se; Journalism and Democracy Seminar, FOJO, Kalmar-Stockholm, Sweden, October 1, 2004]

Journalism and Democracy is a world-wide seminar launched by Fojo (the Institute for Further Education of Journalists) and financed by Sida since 1991. One of the outcomes of the 2004 year's course is this web-site, produced by19 journalists from 17 countries and designed by Nedjma, freelance journalist and web designer. Seminar leaders were Per Nygren, journalist at the Swedish daily, Göteborgs-Posten and Marie Kronmarker, trainer at Fojo.

Monday, August 09, 2004

Tak Ada Hakim Tubuh Perempuan

Harusnya perempuan lajang tak boleh kelimpungan waktu mengetahui tengah hamil. Mestinya ada kebebasan menentukan sikap, melanjutkan tanpa dibebani pertimbangan-pertimbang di luar tubuhnya. Faktanya, sampai kini perempuan masih dilingkupi perasaan was-was untuk mengambil sikap atas kandungannya. Apakah harus diteruskan dengan beban dilirik dengan sinis oleh masyarakat atau menggagalkan diam-diam. Yang terakhir ini, kerap dilakukan secara tidak aman. Sungguh berisiko. Dua nama, dua pengalaman berikut akan menutur pada kita. Liputan Citra Prastuti dibantu Nita Roshita tentang aborsi. Penyebutan nama dua tokoh dalam laporan ini disamarkan. Saudara, berikut Citra Prastuti dalam “Tak Ada Hakim Tubuh Perempuan”, dibawakan Alif Imam.



Namanya Nila, bertahun-tahun hidup dikawal mimpi tentang bayi.

"Gue jujur gue ngomong. Pas keluar anak gue di kamar mandi, seminggu berturut-turut gue ditangisin sama bayi dalam mimpi gue. Sampai terakhir gue mimpi bayi banyak megang kaki gue. Gimana mental gue, gue tanya elo. Gimana rasanya.. gimana gue nggak mau dendam seumur hidup kalo gitu.."

Dendam pada masa lalu yang pernah dilakoni. Persisnya dua tahun lalu.

"Gue terakhir ML paling gak dua minggu sebelumnya, atau tiga minggu sebelumnya. Pokoknya itu sebelum akhir tahun. Gue tahunya itu Januari akhir. Sedangkan, hitungannya orang hamil, misalnya gini, hari ini gue ML, trus gue gak dapet bulan depan, itu itungannya gue udah dua minggu."

Nila baru saja putus hubungan kekasih saat mengetahui ada bakal kehidupan berdiam di tubuhnya. Tanpa pengetahuan yang cukup untuk menentukan sikap. Tanpa orang kepercayaan yang membantu membangun kepercayaan diri. Dan waktu terus berhitung.

"Informasi gue nol, nol sama sekali. Gue nggak tahu apa-apaan. Gue ada temen, namanya R. Dia tahu gue pregnant, itu gue pertama kali cerita. ‘Gue hamil’. ‘Ah elo gila lo, keadaan gini elo hamil? Elo mau nuntut?’ Gue bilang, nggak, gue nggak mau nuntut. Dan dia juga nggak tahu apa-apaan, pacaran juga dia gak pernah."

"Gue minta dia beliin resep dokter untuk beliin obat itu. Gue pernah bilang sama dokter, 'dok saya sudah nikah'. Belinya kan gak boleh di apotek sembarangan, harus ada resep dokter. Gue minta ke klinik itu. Setelah itu, gue balik lagi ke dokter itu. Gue bilang ke dia, 'saya udah keluar nih'. Dia bilang, 'oh ya udah bersih kok, Bu', dia bilang gitu."

"Gue cuma minta itu resepnya. Gue minta ginecosid. Ternyata kan gue gak dapat ginecosid itu dari bidan. Padahal gue udah bilang, gue udah nikah. Gue beli di tempat cina. Ada toko obat cina, racikannya. Harganya tuh satu tablet 20 ribu, satu tablet."

Dan Nila lantas memutuskan. Menanggalkan embrio yang belum lagi bersiap menjadi janin itu. Meminum ramuan dan menyiksa tubuh.

"Iya. Setiap minum obat, gue loncat, sit up, loncat, sit up. Sampe jam 2 pagi gila lho, gue loncat-loncat. Gila gak sih. Pakai logika gak tuh."

Lalu suatu hari, kegelisahan Nila berakhir di kamar mandi. Sendirian.

"Sendiri. Nobody knows. Gue melakukan itu sendirian. Gue sendirian tidak ada siapa pun yang tahu dan tidak ada siapa pun orang untuk berbagi. Dan gue juga gak minta uang siapa pun."

"Gue make obat itu sehari dua kali, itu kan dosisnya udah tinggi. Trus gue minum obat-obat kayak pil tuntas, sama kiranti untuk perlancar haid. Gue juga sengaja loncat-loncat gitu. Gue pake itu. Trus keluar di kamar mandi. Abis itu ke klinik. Kata orang kliniknya, gue bersih. Ya itu, janin gue kan langsung mati, kayak gumpalan darah, kecil-kecil."

"Lebih baik gue ngorbanin diri gue sendiri. Daripada bokap gue tiba-tiba stroke, atau nyokap gue tiba-tiba sakit jantung..."

Termasuk merahasiakan kehamilan dari lelaki yang sempat dia cintai. Dia bertutur lagi dalam pertemuan kami yang kesekian.

"Bokap nyokap gue mungkin bisa lebih survive karena mereka lebih tau siapa gue. Cuma kalau bokap nyokap dia itu kan aduh gimana ya. Dia itu tahunya gue kayak porselen, gak mungkin retak. Gue pikir ini rahasia seumur hidup lah. Dia itu di depan orangtua gue dan temen-temen gue itu baik sekali. Dan karena gue cinta sama dia, gak mungkin gue coreng nama dia, gitu lho."

Nila pikir, setelah gumpalan darah kecil-kecil itu tumpah di kamar mandi, persoalan bertemu dengan akhir. Ternyata tidak.

"Elo inget gak, gue pernah sakit perut? Gue sakit perut melulu nih. Ternyata bulan Desember itu klimaks, gue drop. Keringet dingin, muntah terus, mual, asam lambung gue naik. Gue pikir itu karena maag gue. Ternyata itu dari janin gue yang udah membusuk."

"Ngerasa! Gue cuma mikir, perut gue sering sakit, kram. Gue pikir ini cuma maag gue, lambung gue kan gak beres sejak dulu. Ternyata pas udah sakit-sakit gitu, gue colaps, di bawa ke RS Islam. Perut gue di-USG, gue pingin liat apa penyakit dalam perut gue. Ternyata di atas dinding rahim gue masih ada sisa janin. Dan itu udah mati, terpecah-pecah. Di situlah gue shock dan langsung operasi. Bukan operasi, tapi dikuret."

Selanjutnya, Nila mulai berkawan dengan mimpi selama nyaris dua tahun. Hari ke hari, bahkan ketika ia mengetahui bekas pacarnya menikah.

"So far so good. Tapi sekarang ke mental. Mental gue jadi jatoh abis. Ibaratnya itu anak lo, nyawa, darah daging lo. Itu harus segera elo buang karena elo gak punya status apa-apaan sama laki-laki. Hamil di luar nikah. Sementara laki yang elo harapkan, kawin sama orang lain. Apa yang mesti gue rasain? Itu aja yang gue tanyain."

Sang embrio hidup dalam mimpi Nila, tumbuh seperti kebanyakan bayi yang sempat terlahir.

"Sampai dua bulan terakhir, dia udah bisa manggil gue ‘mama’ dan minta gendong. Terakhir, bulan Juli, dia gak ngomong apa-apa Cuma berdiri di sudut ruangan. Serba putih."

"Gue cuma minta maaf. Pokoknya, gue cuma satu aja dalam hidup gue, gue mungkin udah membuat kesalahan fatal. Dan mungkin berefek seumur hidup gue. Dan ini berefek seumur hidup sama gue. Gue gak ingin anak gue menuntut gue di akhirat. Gue pingin minta maaf, tapi gak bisa..."

Dia Nila. Teman Citra.

-----

"Klinik biasa. Kayak rumah tua gitu dijadikan klinik. Kalau aku bilang cukup bersih untuk kondisi saat itu. Tapi ya cukup inilah, karena ada ruang tunggu klien, ruangan dokternya juga gak terlalu besar sih. Tapi di ruangan dokternya agak suram, kalau kata aku."

Di klinik itu, Nadia berpisah dengan calon anak pertamanya. Sembilan tahun lalu, Nadia masih kuliah dan tak siap dengan kehadiran si kecil. Ia sempat meminum pil KB demi menggugurkan kandungan, di tengah kebingungan bersama pacarnya kala itu. Tak berani banyak tanya, karena bagi Nadia, ini sama saja dengan membuka rahasia.

Sampai akhirnya ia menemukan klinik aborsi di pinggaran kota Cimahi, Jawa Barat.

"Kalau gak salah sih waktu itu nanya umur, pekerjaan sama sudah berapa lama telatnya. Abis itu disuruh naik di atas meja operasinya. Tempat tidur, terus ada tempat buat kakinya. Dia periksa dalam dulu. Baru setelah itu aku disuntik bius. Kerasa sih ada beberapa alat yang dimasukin. Tapi aku gak tau itu dikuret atau disedot. Karena aku gak tau apa itu dikuret dan apa itu disedot."

Lima belas menit saja. Biusnya pun hanya lokal.

"Cuma kalau aku lihat alat-alatnya, kalau aku flashback waktu itu, kayaknya emang udah gak terlalu… apa ya, kayak alat yang udah lama. Soalnya udah agak kotor. Jadi soal sterilisasinya, saya gak nanya sama sekali, saya gak tau sama sekali. Dan waktu itu kan saya gak tau apa-apa, jadi saya gak tanya apakah itu bisa berakibat something di masa yang akan datang."

"Fisiknya pasti lemah sekali, kita gak bisa mikir sama sekali. Aku kan waktu itu dibonceng motor, kayaknya udah mau jatuh aja. Pikiran itu stres. Aku sempat seminggu lebih gak ke kampus. Sempet ada haid sebentar. Bukan haid sih, tapi perdarahan, 2-3 harian. Jadi karena fisiknya juga gak enak, masih kepikiran juga, sedih gimana. Kepikiran yang gak tau kenapa, perasaan kehilangan yang seharusnya gak dipikirin, tapi jadi kepikiran."

Klinik itu klinik aborsi. Ilegal, tentunya. Tak jarang, memasang plang dokter umum. Tak ada yang istimewa dari tampilan sebuah klinik aborsi. Seperti layaknya klinik yang dirujuk para calo aborsi di daerah Raden Saleh, Jakarta Pusat. Lokasi yang dipercaya sebagai pusat informasi aborsi. Tanya saja penjaga warung atau tukang parkir di sepanjang jalan itu, mereka siap mengantar perempuan-perempuan kebingungan ke klinik aborsi.

Nico, salah satu calo aborsi di sana, mengaku sudah menjalani profesi ini selama puluhan tahun. Ia kenal berbagai klinik menggugurkan kandungan. Bisa dipilih, sesuai isi kantong.

"Nanti kalau kemahalan, saya yang bantu ngomong. Gitu lho. Kalau memang bener-bener masih dua minggu, biar cepet. Nanti kalau satu setengah bulan lebih, bisa satu setengah."

Makin besar usia kandungan, biaya aborsi tentu makin mahal. Karena resiko yang ditanggung makin besar. Tapi sang calo juga menyebut, asal ada uang, semua bisa dilakukan.

"Biasanya kan kalau begini pemeriksaan sama bidan dulu. Kalau cocok, baru dokter yang kerjain. Kayak kemarin, itu kan bidan. Proses seperti biasa. Kalau kemarin belum diperiksa kan? Baru tanya-tanya. Kalau mau, bilang aja terus terang, saya mau diginiin. Nanti diperiksa, lalu ditanya biayanya. Lalu ditanya sama dia. Baru situ yang nego, situ yang ngomong."

Mengingat aborsi masih terhitung perbuatan ilegal, harusnya polisi juga ikut waspada. Polisi bukannya tak tahu. Menurut Nico, pemilik klinik biasanya sudah mengisi kantong Pak Polisi supaya tak banyak bicara. Besarnya, tergantung ramai tidaknya pasien berkunjung ke sana.

Klinik yang Citra datangi di kawasan Kramat Sentiong, Jakarta Pusat, juga melakukan hal yang sama. Membayar, supaya tak digerebek. Kalaupun digerebek, beberapa hari kemudian klinik itu sudah dibuka kembali.

Di tempat itu, nyawa sang ibu diregang, nyawa si janin dilepas. Tersembunyi. Tertutup rapat. Tak ada yang tahu.

-----

Setiap satu jam, dua perempuan meninggal akibat aborsi serampangan. Peralatan tak steril, tanpa pengetahuan teknik yang tepat, juga sembarangan menenggak obat, merupakan sedikit daftar dari praktik-praktik aborsi yang tak aman. Janin atau bahkan baru embrio di perut ibu, mungkin memang mati-ti. Tapi jiwa perempuan yang mengandungnya, bisa turut serta.

Ninuk Widyantoro dari Yayasan Kesehatan Perempuan.

"Kenapa sih kita itu? Saya malah pingin balik tanya ke kamu. Jadi kamu gak apa-apa buat kamu dua perempuan mati setiap jam? Kamu gak pingin nolong dan berdosa? Tenang aja gitu? Bukan gara-gara tua. Tapi gara-gara kehamilan, persalinan, keguguran.. gak apa-apa? Apa itu bukan sesuatu yang dasyat?"

Perempuan mana yang tak bingung menghadapi kehamilan yang tak diinginkan. Kalau ada mungkin sedikit. Penyebabnya, bisa lantaran betul-betul tak siap atau kegagalan alat kontrasepsi pencegah kehamilan.

Kehamilan, nyatanya, tak melulu disambut senyum sumringah. Taruhlah Nila, yang baru putus dari pacar ketika sadar dia hamil. Atau Nadia yang saat itu masih kuliah, dan tak siap punya rumah tangga. Atau kasus lain, seperti perkosaan dan perkawinan sedarah. Jangan harap senyum sumringah mampir.

Tapi, menikah atau tidak menikah, perempuan tetap punya hak atas tubunya sendiri.

"Perempuan itu adalah seorang individu, dia itu yang berhak menentukan dirinya. Kalau mau berunding dengan pasarangan atau tidak, terserah. Tidak harus, haru. Kita harus berhenti mengatur perempuan. Karena kita sok ngatur perempuan, hasilnya adalah kematian perempuan yagn tinggi sekali."

Anjuran Ninuk adalah adalah menyelamatkan puluhan, ratusan, jutaan jiwa perempuan dari praktik tidak aman atas tubuh mereka. Barangkali ini anjuran paling bermoral dari prinsip-prinsip yang selama ini diklaim sebagai tatanan moral masyarakat. Dua perempuan mati dalam satu jam akibat aborsi serampangan, wanti Ninuk.

"Kalo belief, orang gak setuju banget, ya udah. Yang mau bantu, ya gak apa-apa kan. You respect each other. Kalo gak setuju, ya jangan lakukan. Make sure they are not having unwanted pregnancy. Jadi mereka gak perlu aborsi. Kita bukan nyuruh-nyuruh orang aborsi. Kita akan mulai dari pendidikan supaya tidak perlu terjadi KTD, kehamilan tidak diinginkan."

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia PKBI membuka diri terhadap kemungkinan melakukan praktik aborsi. Caranya, dijamin aman. Hartono Hadisaputro dari PKBI Semarang dan Kusminari dari PKBI Jogjakarta, berbagi cerita.

"Kita fokus ke pasangan yang sudah menikah. Ada surat nikah fotokopi, fotokopi kartu keluarga dan bersedia untuk kontrasepsi lagi tergantung dari jumlah anak. Pasiennya memang harus pasangan yang sudah menikah. Kalau tidak ada surat2nya, tidak bisa."

"Pilihannya tidak selalu harus aborsi. Bisa dinikahkan. Ada yang takut bilang sama orang tua untuk menikah, kami pernah menikahkan juga. Harus dilihat kasusnya. Ada juga yang tidak ada pasangannya. Yang tidak ada pasangannya, bisa ke shelter. Kita punya shelter. Kalau sudah melahirkan, anaknya bisa dititip, diadopsi atau diserahkan ke shelter. Pilihannya tidak harus aborsi untuk KTD..."

Sampai ada revisi terhadap peraturan yang berlaku, aborsi masih ilegal di Indonesia. Haram. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan hanya membenarkan aborsi dilakukan sebagai tindakan darurat untuk menyelamatkan jiwa ibu. Artinya, semata-mata pertimbangan klinis. Tanpa berhitung daya ekonomi, apalagi kesiapan psikologis.

Upaya merevisi terang ada. Perjalanannya sudah beringsut lama. Saat ini orang-orang yang ingin menyelamatkan nyawa perempuan dari praktik aborsi serampangan seperti Ninuk Widyantoro tengah mendesak Presiden agar segera mengeluarkan Amanat Presiden. Amanat kepada DPR untuk mempercepat pembahasan revisi Undang-undang Kesehatan.

"Mereka sudah pakai inisiatifnya, sepakat untuk mengamendemen. Akbar (Akbar Tanjung, saat itu Ketua DPR) sudah tulis ke Mega (Megawati, saat itu Presiden Indonesia) , Megawati tinggal tulis Ampres (Amanat Presien) . Kalau sudah gitu, kita bisa duduk terkait dengan departemen terkait. Kalau semua sudah setuju dengan draft yang ada, ya sudah. Jangan sampai ada perbedaan pikiran antara kita dan Departemen Kesehatan."

Tak perlu ngotot mengukir frase ‘aborsi aman’ dalam revisi aturan. Yang penting, menurut Ninuk, adalah kewajiban negara terhadap perempuan.

"Kalau kita cuma liat aborsi itu cuma yang jelek, dari bertahun-tahun kita begitu aja. Lagian gak akan ada yang nyuruh aborsi kok. Daripada aborsi sampai mati, apa gak kita lebih baik menyelamatkan dan ngasih pendidikan. Pendidikan itulah yang harus diadakan Undang-Undang ini, sehingga orang tahu how to protect."

Targetnya, kalau sampai ada pilihan mengaborsi kandungan oleh perempuan mana pun, dalam status apa pun, melalui proses dan penanganan yang tepat.

"Mulai dari pendidikan, konseling, sampai kalau perempuan itu daripada mati, dia bisa asal harus begini-begini, gitu. Misalnya, gak boleh lebih dari 12 minggu, kita inline sama agama Islam. Harus dilakukan oleh tenaga yang terlatih dan tersertifikasi. Gak bisa dukun atau dokter asal. Harus lewat persyaraatan. Tidak boleh komersialisasi. Harus ada konselingnya. Sama seperti guidline WHO (World Health Organization –red)."

Karena ada negara yang ngotot meyakinan warga negara akan dilindungi, dan ada Pemerintah yang mengelola negara, kesehatan perempuan terang menjadi tanggung jawabnya. Tanpa berhitung status.

Kita berkejaran dengan waktu. Kalau dalam satu jam ada dua perempuan mati karena aborsi tidak aman, maka dalam sehari ada 48 perempuan melepas nyawa.

Seminggu, 336 perempuan.

Setahun, 17.472 perempuan. Mati. Sia-sia.

[Radio 68h, 8 Agustus 2004)

dok: sfgate

Tuesday, May 04, 2004

Ketika Sekolah Jadi Sengketa

Coba jawab pertanyaan ini. Kalau Anda punya anak yang saat ini bersekolah di SLTP 56 Melawai, apa yang akan Anda lakukan? Bertahan atau pindah ke sekolah lain?

Saya bertanya pada lima teman saya. Empat dari mereka menjawab cepat : pindah sekolah. Saya sendiri tidak tahu persis, apa yang akan saya lakukan kalau anak saya sekolah di SLTP 56 Melawai.



Pindah sekolah tampaknya menjadi pilihan praktis yang relatif aman. Sebab ancamannya sudah jelas. Siswa tidak akan menerima Nomor Induk Siswa dan tidak menerima rapor. Kalau tidak mendapat NIS, sama saja memberi cap baru pada anak kita : siswa liar. Sementara kalau tak dapat rapor, tak bisa dibayangkan bagaimana kelanjutan nasib pendidikan anak-anak itu. Apalagi mereka baru kelas satu SLTP. Masih ada dua jenjang lagi di SLTP, lalu tiga tahun berikutnya dihabiskan di SLTA. Belum lagi kalau sampai lanjut ke universitas. Tapi kalau dari kelas satu saja sudah tidak mendapat rapor, apalagi pengakuan, bagaimana mereka bisa bertahan?

Pilihan-pilihan ‘praktis’ itu tentunya tak salah. Itu juga bukannya dibuat tanpa perhitungan. Pendidikan adalah satu hal yang teramat menentukan masa depan seseorang. Minimal, dengan pendidikan yang lebih baik, pilihan-pilihan lebih terbuka untuk merentang masa depan. Anak-anak yang terperangkap dalam sengketa sekolah mereka dengan PT Tata Disantara, perusahaan milik pengusaha Pasaraya Abdul Latif, masih teramat cilik. Mereka baru kelas satu SLTP. Masih sangat jauh perjalanan pendidikan mereka. Wajar saja kalau orang tua lantas tak mau ambil resiko dengan ‘membahayakan’ pendidikan anak mereka.

Jalan cerita ini pula yang dikembangkan Pemerintah Jakarta. “Orang tua jangan mengorbankan anak-anak mereka dengan bertahan di SLTP 56 Melawai,” begitu Gubernur Sutiyoso pernah berucap. Tak ada yang terlalu salah dengan pernyataan SUtiyoso. Yang salah adalah bagaimana pemerintah mendudukkan persoalan SLTP 56 Melawai versus PT Tata Disantara ini.

Sengketa sekolah ini bermula di tahun 2000 silam. Ketika kontrak dibuat antara Departemen Pendidikan Nasional dengan PT Tata Disantara, dengan nilai kontrak di atas 2,5 milyar rupiah untuk masa itu. Abdul Latif langsung menyediakan dua tanah miliknya, di Jeruk Purut dan Bintaro sebagai pengganti lahan di Melawai. Kelihatanya cukup adil. Tapi nanti dulu.

Kejanggala demi kejanggalan terlihat dalam surat kontrak tersebut. Sebut saja dari harga tanahnya. Tanah di Melawai sangat ‘seksi’ dari segi bisnis. Bisa dibayangkan keuntungan yang bisa dikeruk kalau membuat usaha di daerah belanja yang ramai seperti Melawai. Dengan ‘keseksian’ yang ditawarkan, harganya juga tentu tak murah. Data dari Dirjen Pajak menyebutkan, tanah di daerah itu tahun 2000 saja sudah mencapai 9,5 juta rupiah per meter persegi. Anehnya, dalam kontrak tukar guling itu hanya tertera angka 5 juta rupiah per meter persegi. Ke mana sisa 4,5 juta rupiah lainnya?

Tidak hanya itu saja. Kontrak tukar guling dengan nominal di atas 100 juta rupiah harusnya diteken langsung oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Asisten Kesejahteraan Masyarakat Jakarta Rohana Manggala juga memastikan, meski tak rinci, bahwa tak ada yang salah dengan perjanjian tukar guling itu. Tapi pengacara SLTP 56 Melawai Lambok Gultom membantah,”Mana Kepresnya? Yang ada hanya Surat Keputusan Menteri saja.”

Enough about the business deal. Abdul Latif hanyalah seorang pengusaha, yang tentu saja berpikir dengan sudut pandang keuntungan belaka. Ada persoalan yang lebih besar daripada ‘sekedar’ kontrak tukar guling yang mungkin ngawur.

Hari Minggu tanggal 18 April lalu, pukul 4 dini hari, puluhan aparat Dinas Ketentraman dan Ketertiban Jakarta ‘menyerbu’ gedung SLTP 56 Melawai. Orang tua murid yang berjaga 24 jam di gedung sekolah itu keruan panik dan lari mencari bala bantuan. Tapi begitu mereka kembali, petugas berseragam biru-biru sudah bertengger di dalam gedung sekolah. Pagar dirantai, lengkap dengan dua gembok besar. Papan putih segera didirikan. “Tanah dan Bangunan ini Milik Negara. Dilarang Masuk.”

Ada apa ini? Kenapa harus ada ‘pendudukan’ segala? Kalau pun Pemerintah Jakarta berusaha ‘mengamankan aset mereka’ – seperti yang selalu mereka ucapkan – kenapa harus hari Minggu? Kenapa harus dini hari? Kenapa harus melibatkan aparat Dinas Ketentraman dan Ketertiban, aparat yang erat dengan razia pedagang serta penggusuran? Kenapa negara harus melakukan kekerasan terhadap siswa didiknya sendiri?

Banyak contoh lain kekerasan yang dilakukan negara terhadap civitas akademika SLTP 56 Melawai. Listrik dimatikan hingga air pun otomatis ikut mati, bangku dan meja sekolah diangkut ke gedung baru SLTP 56 di Jeruk Purut. Tenggat waktu terus diberikan kepada siswa dan guru SLTP 56 Melawai untuk segera hengkang dari sekolah mereka sendiri. Gaji untuk Nurlaila, satu-satunya guru memilih untuk bertahan, dicekal sejak bulan Desember tahun lalu. Dinas Pendidikan Dasar Jakarta tak berperan sebagai ‘pahlawan’ di sini, karena mereka justru mengirimkan surat peringatan kepada para orang tua murid. Belum lagi ancaman lewat telfon atau didatangi lurah setempat, yang semuanya membawa satu pesan tegas : pindah atau dianggap liar. Dinas Pendidikan Dasar Jakarta juga sudah melaporkan Nurlaila ke polisi karena dianggap melakukan kegiatan belajar mengajar tanpa ijin.

Apalagi itu kalau bukan kekerasan negara terhadap warganya?

Nurlaila, ibu tiga anak yang sudah mengabdi selama nyaris 10 tahun di SLTP 56 Melawai, tak habis mengerti. “SLTP 56 itu kan sekolah. Kenapa harus ditukar dengan usaha bisnis? Pak Latif memang bilang, tanah ini nanti untuk institut bisnis. Tapi itu kan pasti buat masyarakat menengah ke atas. Bagaimana dengan masyarakat menengah ke bawah?”

Janji langsung diumbar Sutiyoso. “Siswa SLTP 56 Melawai bisa pindah ke SLTP 12, letaknya dekat dan juga termasuk sekolah favorit. Atau bisa juga pindah ke SLTP lain di seluruh Jakarta. Saya janjikan, gratis.”

Janji manis itu ternyata hanya di mulut. Aditya Putri, gadis kecil yang duduk di kelas SLTP 56 Melawai, menceritakan kenyataan yang berbeda. “Aku tadinya juga mau pindah ke sekolah lain. Tapi ibuku disuruh bayar. Mahal.” Atau pengalaman teman-temannya yang akhirnya jadi pindah ke SLTP 12, seperti sudah dijanjikan Sutiyoso. Cibiran dan ejekan ternyata datang menyapa mereka, tak hanya dari teman sebaya, tapi juga dari para guru. “Temen-temenku dibilangin gini ‘Kasian deh lo, sekolahnya di-ruislag ya?’ atau ada yang dimusuhin temannya karena kita sekolahnya gratis…”

Memori banding sudah dilayangkan ke Pengadilan Tinggi Jakarta sejak akhir April lalu. Seharusnya dengan begitu, tak ada satu pun yang bisa melakukan apa pun terhadap SLTP 56 Melawai. Semua harus kembali netral, sampai ada putusan hukum tetap sebagai jawaban atas banding.

Perjalanan masih sangat panjang. Tapi Aditya dan 50-an siswa lainnya sudah terlanjur tidak mendapat rapor, apalagi Nomor Induk Siswa. Juga ada Nurlaila yang terancam hukuman 10 tahun penjara atau denda 1 milyar rupiah, sesuai laporan yang diterima polisi karena Nurlaila dianggap melanggar Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional.

Aditya punya satu puisi untuk Sutiyoso.

Aku bukan siapa-siapa
Aku adalah seorang anak manusia di antara ribuan anak bangsa
yang ingin mendapatkan hak-hak atas pendidikan
Inikah sekolahku?
Inikah Jakartaku?


(Mei 2004)

dok: liputan6

Tuesday, March 02, 2004

Tarmizi ‘Mejik Jar’ Harva

Perawakannya tinggi kurus. Kulitnya hitam legam dengan rambut keriting sebahu. Kacamata hitamnya lebih sering bertengger di atas kepala ketimbang dipakai sesuai fungsinya.



Namanya Tarmizi Harva, pewarta foto dari Reuters. Fotonya yang merekam gambar jenazah Muzakir terikat di pohon pinang memikat hati juri World Press Photo. Ganjaran untuk Meji : penghargaan fotografi jurnalistik paling bergengsi untuk kategori Penghargaan Khusus (Honorable Mention) Foto Berita Tunggal tahun 2004. Foto ini dinilai telah berhasil menampilkan realita kengerian konflik politik yang sadis, secara santun dan informatif.

Panggilannya singkat saja, Meji. Nama pendek itu sempat membuat saya bertanya-tanya siapa sebetulnya nama lengkap laki-laki ini. Begitu tahu nama depannya Tarmizi, saya langsung terkekeh ketika berjabat tangan pertama kali dengan Meji. “Kalau begitu, saya akan panggil kamu Mejik Jar!” Meji tertawa, tak keberatan.

Suami dari Nila dan ayah dari Nami dan Bintang ini bergabung dengan Kantor Berita Reuters terhitung April 2002 lalu. Sebelumnya, ia didera kebimbangan menentukan pilihan hidupnya. Maklum, jalur pendidikan Meji bukan di bidang fotografi, tapi di Teknik Sipil. Pada rentang tahun 1998-2000, ia mendua, memotret dan bekerja sebagai kontraktor. Ia merasa harus bertanggung jawab pada kedua orangtuanya, yang sudah membiayai kuliah Meji di Jurusan Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.

Perbincangan di tengah santapan mi goreng di depan Kantor Biro Kompas di Medan tahun 2000 lalu, juga memberi pencerahan bagi Meji. Teman-temannya berhasil meyakinkan hati Meji untuk berangkat ke Jakarta. Ia pun mulai menggeluti pekerjaan barunya sebagai pewarta foto Majalah Gamma selama dua tahun.

Awalnya hanya coba-coba. Pergaulannya dengan teman-teman suka fotografi lantas menyeret Meji dalam pusaran pewarta foto. Orang yang berpengaruh dalam paruh hidup ini adalah fotografer lepas bernama Edward Sinaga. Sederetan kamera baru terus dipamerkan Edu kepada Meji, sekaligus menularkan nikmatnya memotret. Coba-coba pertama Meji di Lomba Foto Olahraga Nasional tahun 1997 ternyata berbuah lumayan, pemenang harapan II di Lomba Foto Olahraga Nasional. Meji menjadi satu-satunya pemenang yang bukan wartawan.

Kini tinggal menunggu waktu saja sampai Meji terbang ke Amsterdam dan menerima langsung penghargaan World Press Photo 2004. Penghargaan ini sekaligus menghentikan pencarian Meji akan jalur hidupnya.

Kelihatannya Tuhan menginginkan Meji menjadi pewarta foto.

[Aceh Kita, Maret 2004]

dok: fotografer.net

Merekam Muzakir dalam Ingatan

Matahari sudah bergerak ke barat ketika rombongan sekitar tujuh mobil tiba di Desa Seumirah, Kecamatan Nisam, Aceh Utara. Kala itu, Nisam tengah naik daun. Kabar burung memang menyebutkan, William Nessen, jurnalis lepas Amerika yang tengah bersama Gerakan Aceh Merdeka GAM, ada di sana. Panglima Komando Operasi Militer NAD saat itu, Bambang Darmono, sudah memerintahkan Nessen untuk segera keluar dari hutan. Meski menjadi tempat liputan favorit, tak banyak yang berani berangkat hanya dengan satu mobil. Minimal tiga mobil, baru berani berangkat.

Saat itu saya dan teman-teman dalam satu mobil sewaan tak ikut bersama rombongan yang lain. Saya satu mobil dengan Berni Mustafa yang saat itu masih di The Jakarta Post, Berthus Mandey dari Suara Pembaruan dan Djaka Susila dari Jawa Pos, juga supir mobil itu, Pak Halim. Kami tak ikut jalur rombongan mobil yang lain, yang langsung menuju Nisam. Setelah berputar-putar mencari jalan dan nyaris berputus asa, akhirnya kami bertemu rombongan itu. Nisam memang bukan daerah yang bersahabat. Jarak kecamatan ini dari tepi JalanMedan-Banda Aceh jauhnya kira-kira 20 kilometer, dengan kondisi jalan bergelombang. Patokannya, Simpang KKA atau Simpang ASEAN. Kalau sudah masuk jauh ke dalam, ada begitu banyak pilihan belokan yang sangat mungkin membuat kami tersesat. Setelah sekitar dua jam mencari jejak mereka, akhirnya kami bersama rombongan juga.

Rombongan mobil yang lain sebetulnya tengah berada dalam perjalanan pulang. Mereka usai membuat liputan tentang penemuan delapan ton bahan peledak, yang diduga milik GAM. Ketika tiba di persimpangan jalan, kami dicegat warga. Saya urung turun karena teman-teman yang turun segera bergegas masuk kembali ke dalam mobil. Saya hanya mendapat kabar pendek, warga menemukan jenazah yang terikat di pohon pinang.

Jenazah? Terikat di pohon?

Saya tak bisa membayangkan apa yang akan saya hadapi kemudian. Perjalanan menuju ke tempat yang ditunjukkan warga cukup jauh. Di kiri kanan, hutan pohon pinang tampak mengelilingi kami. Jalan yang bergelombang membuat perjalanan terasa semakin jauh. Rombongan mobil berjalan pelan. Saya merasa makin tegang. Di sepanjang jalan tak tampak rumah warga. Hanya ada deretan pohon dan jajaran kesunyian.

Sampai di suatu titik, warga tampak berdiri di pinggir-pinggir jalan. Wajah mereka ketakutan. Kebanyakan ibu-ibu yang ada di sana, menggendong anak mereka yang masih kecil. Akhirnya rombongan mobil kami berhenti. Tempat ini adalah Dusun Batee Leusung, Desa Seumirah, Kecamatan Nisam, Aceh Utara.

Beberapa warga segera saja menyeruak menyambut kedatangan kami. Sebagian teman langsung bergerak menuju deretan pohon-pohon pinang yang ada di sebelah kanan jalan. Pergerakan saya terhenti ketika berpapasan dengan seorang bapak tua.

Raut mukanya tegang bercampur panik. Keriput di wajah serta uban yang menyelimuti rambut dan janggutnya menambah kesan tua di bapak itu. Saya gapai tangan bapak itu, bersalaman. Sekaligus mencoba membuatnya lebih tenang. Belum sempat saya mulai bertanya, bapak ini sudah memulai berbicara. Bapak itu bernama Abdullah Adam.

“Tunggu, Pak, pelan-pelan. Bagaimana cerita sebenarnya, Pak?”

Saya mencoba membuat bapak tua ini sedikit tenang. Dia terlihat begitu terengah-engah, seperti ada ribuan kata yang ingin segera diluncurkan untuk menjawab pertanyaan saya. Dengan tutur kata yang campur aduk, bahasa Indonesia yang tidak baku bercampur logat Aceh yang kental, Abdullah Adam menjelaskan.

Jenazah yang terikat di pohon pinang adalah anaknya. Namanya Muzakir Abdullah, usianya baru 20 tahun. Dengan terbata-bata, bapak tua ini bercerita bahwa semalam anaknya diambil oleh OTK alias orang tak dikenal. Wajah mereka yang mengambil Muzakir bertutup topeng kain. Juga berpakaian loreng dan bersenjata.

Saya melihat ke arah depan. Sebagian teman-teman yang lain sudah langsung menuju ke deretan pohon pinang yang berada tak jauh dari tepi jalan. Tak sampai lima meter jaraknya. Saya salami kembali bapak itu dan menyusul yang lain.

Tak berapa jauh di depan saya, (almarhum) Ersa Siregar, dari RCTI. Dalam hati saya mulai bertanya-tanya, di mana sebetulnya jenazah itu berada.

“Oh ya, itu dia,” begitu kata Bang Ersa, sambil mengeluarkan sapu tangan dari saku celana.

Saya celingukan mencari. Beberapa detik kemudian saya menemukan jenazah itu.



Tubuh itu kaku. Warna kulitnya pucat, tersaru dengan warna batang pohon pinang yang juga pucat. Tubuhnya terikat di batang pohon, dengan kedua tangan dililit tali ke arah belakang. Di tengah mulut ada sapu tangan putih juga terikat pada batang pohon, menahan kepalanya agar tak terjatuh. Dalam mulutnya ada sumpalan kain yang sudah tak jelas lagi warnanya.

Kepalanya agak sedikit miring. Lehernya nyaris putus. Wajahnya menyisakan sisa-sisa lebam. Matanya terpejam. Kakinya menekuk tepat di bagian lutut.

Potongan tubuh yang terikat ini tinggi besar. Otot-otot yang liat terlihat jelas di sana. Dia hanya mengenakan celana dalam saja, warna hijau tua. Di sekujur tubuhnya ada sisa-sisa darah kering. Mulai dari leher. Di dada. Di paha. Sampai ke kaki.

Saya cuma bisa terdiam.

“Ambil gambarnya dari belakang saja.”

Ucapan Bang Ersa menyadarkan saya. Saya bergerak mendekat, agak ke arah samping. Dari situ saya bisa melihat sayatan pada leher bagian kiri. Saya menengok ke kiri. Tarmizi Harva atau Meji, pewarta foto dari Reuters terlihat gelisah. Kameranya masih terus dipegang. Kelihatannya ia belum menentukan sudut yang tepat untuk mengambil gambar. Teman-teman yang lain, dari media cetak dan televisi mulai bergerak mendekat.

Saya juga gelisah. Saya tak tahu mana yang harus lebih dahulu saya kerjakan : menenangkan diri saya atau maju lebih dekat memastikan di mana dan apa saja bekas luka di tubuh jenazah itu. Saya lakukan yang kedua. Saya bisa kehilangan peristiwa penting kalau tak segera bekerja.

Di sebelah saya ada perempuan yang terus menangis sambil mengucap bermacam-macam doa. Kelihatannya ia juga baru tiba. Perempuan itu berkerudung putih, mengenakan kaos warna abu-abu dan bercelana kain warna hijau. Berkali-kali ia menyebut nama Allah sambil menangis.

Namanya Farida. Ia bergerak mendekati tubuh kaku yang terikat di pohon. Ia mengusap-usap bahu dan dada jenazah itu, sambil terus menggumamkan berbagai doa. Bergantian dengan tangisannya yang meraung. Ia terus berkata-kata dalam bahasa Aceh yang tak saya mengerti. Tubuh yang terikat itu adalah adiknya.

Saya menyodorkan alat perekam ke arah Farida. Saya harus menggambarkan kembali suasana di tempat ini dengan baik. Farida terus mengucapkan berbagai macam doa. Ia mengelilingi jenazah Muzakir, sambil terus menyentuh tubuh kaku itu. Ia tak sendirian. Di dekatnya juga ada dua orang lain, kemungkinan sanak saudaranya. Abdullah Adam, ayah Muzakir, juga ada di sana. Warga setempat memilih berada di lingkaran luar, melihat dari jauh, sambil mengangkat kaos mereka sedikit untuk menutupi hidung.

“Dia sudah punya istri, Kak?”

Usia Muzakir masih muda, baru 20 tahun dan belum berkeluarga.

”Dia anak Bapak? Anak kandung?”

Pertanyaan dari salah satu wartawan membuat saya mengalihkan perhatian ke Abdullah Adam. Saat itu pukul 15 sore. Ia benar-benar baru tahu beberapa menit yang lalu tentang terbunuhnya Muzakir. Dengan gerakan tangannya ia menjelaskan, mereka yang datang ke rumahnya semalam menggunakan baju tentra dan tutup muka. Ia menunjuk Farida di bagian mulut, menunjukkan bekas tendangan orang-orang itu.

Farida langsung bercerita. Muzakir sudah tidur ketika semalam, sekitar pukul 20.30 WIB, rumah mereka didatangi OTK, orang tak dikenal, dengan seragam loreng, topeng di wajah dan senjata di tangan. Pintu ditendang dan mereka berteriak, menyuruh Muzakir supaya tidak lari, tidak keluar dari rumah. Mereka lantas masuk ke dalam rumah. Farida juga terbangun malam itu. Ia berteriak-teriak minta tolong. Ia mencoba meyakinkan mereka bahwa adiknya tak bersalah. Ia minta penjelasan, kenapa adiknya dicari-cari. Pertanyaan itu dijawab dengan tamparan dan tendangan.

“Saya bilang, Pak, jangan Pak, adik saya nggak bersalah. Apa ini Pak? Bilang dulu Pak, saya bilang. Bilang dulu Pak, apa salah adik saya. Dia tak jawab apa-apa. Dia hanya bilang, diam kau, diam, sambil tampar saya.”

Farida tak tahu siapa mereka. Yang jelas, seragam yang dikenakan loreng. Layaknya tentara. Setidaknya ada empat orang yang masuk ke dalam rumahnya. Di luar, masih ada beberapa orang lagi berjaga-jaga. Juga dengan seragam loreng, topeng di wajah dan senjata di tangan.

Tiba-tiba ada yang menanyakan soal bahasa yang digunakan pria-pria berseragam itu.

“Bahasa Indonesia, bahasa nggak tahu lagi ada juga. Nggak ada bahasa Aceh.”

“Ada juga ora gelem. Seperti itu ada juga.”

Begitu sang ayah selesai menyebut kalimat itu, kami berpandang-pandangan. Berbahasa Jawa. Tidak bisa bahasa Aceh. Aboe Prijadi Santoso, atau ‘Opa’ Tossi, dari Radio Nederland langsung membuat raut muka penuh mafhum.

Keucik dusun setempat angkat berbicara. Hasballah namanya. Ia membenarkan identitas Muzakir sebagai warga desanya. Menurut dia, Muzakir sehari-hari membantu mengajar mengaji di Pesantren Nurul Huda. Setiap hari, Muzakir bisa ditemui di sana. Hasballah bercerita, sekitar tiga hari yang lalu, pasukan TNI masuk ke dusun mereka. Setiap kali bertemu warga, TNI pasti bertanya soal GAM.

Warga desa makin banyak yang memberanikan diri mendekat ke sana. Ada yang membawa tikar. Tali yang mengikat jenazah Muzakir di pohon pinang itu mulai dicopot. Saya bergerak menjauh dari lingkaran di sekitar pohon dan jenazah Muzakir.

Saya bergabung bersama Berthus, Berni dan Djaka. Mereka tengah berbincang dengan seorang lelaki. Memakai peci putih, kemeja kotak-kotak dan sarung. Dia ternyata saudara Muzakir. Sebut saja namanya Yusuf. Ia bercerita, pagi tadi ketika di kedai kopi, ia bertemu dua anggota TNI. Dua tentara ini tengah bercerita tentang sebuah kejadian yang mereka sebut sebagai ‘kejadian semalam’. Satu kalimat saja yang diingat betul oleh Yusuf.

“Salah sendiri anaknya nggak dilarang, lalu kita ambil dan hilangkan.”

Tadinya ia tak ambil pusing dengan kalimat itu. Begitu tahu nyawa saudaranya melayang, ia mulai berpikir yang tidak-tidak.

“Pak, lihat pangkatnya apa? Berapa garis?”

Pertanyaan Berthus dijawab singkat. Satu garis merah. Yusuf juga menyebut tiga angka yang ada di lengan kanan seragam loreng itu. Identitas kelompok.

Saya berhenti mencatat pada angka itu. Saya pastikan, informasi itu terekam dalam alat perekam saya. Terlalu penting untuk dilewatkan.

Saya melongok ke arah pohon pinang, ke arah jenazah Muzakir. Jenazah Muzakir sudah diturunkan, ditaruh di atas tikar. Tubuhnya ditutupi kain. Laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa, mengelilingi tubuh Muzakir. Mendoakan Muzakir dengan sepatutnya.

Saya menghampiri Zainal Bakri, wartawan Tempo. Wajahnya masih gelisah, tak banyak berubah sejak pertama kali kami menginjakkan kaki di dusun ini. Zainal adalah wartawan yang hebat, asli kelahiran Tanah Rencong. Ia menunjuk ke seorang bocah laki-laki.

“Namanya Aswari. Dia yang pertama kali menemukan jenazah itu.”

Saya menghampiri bocah itu. Saya tak bisa membayangkan bagaimana kejadian hari ini bisa menjadi trauma tersendiri bagi Aswari. Sudah sejak menjelang siang ia menemukan jenazah laki-laki terikat di pohon pinang. Ia segera saja memberitahukan ibunya. Tak lama, seluruh warga desanya tahu. Tapi tak ada yang berani berbuat apa-apa. Bahkan untuk sekedar menurunkan jenazah Muzakir. Mereka memilih untuk menunggu kedatangan Palang Merah Indonesia PMI. Padahal PMI kadang tak berani ambil resiko terlalu besar untuk masuk ke pelosok-pelosok desa.

“Saya lagi mau ke sungai. Tiba-tiba ada anjing yang menggonggong terus. Saya sudah hantam dia, tapi tak mau juga diam. Saya datangi. Saya lalu lihat ada mayat di sana.”

Informasi Aswari adalah keterangan terakhir yang saya rekam. Saya memasukkan alat perekam ke dalam tas. Data yang sudah ada nyaris lengkap. Kecuali satu, konfirmasi ke TNI. Saya sudah membuat lingkaran penanda di frase ‘satu garis merah’.

Saya melirik jam tangan saya. Hari sudah semakin sore. Teman-teman dari media televisi mulai gelisah, mengejar tenggat waktu penayangan berita sore hari.

Saya lupa siapa yang mengusulkan, tapi gagasan untuk konfirmasi ke TNI muncul juga. Ada yang setuju, ada yang tidak. Yang tidak setuju, khawatir dengan keselamatan warga desa. Jangan-jangan, setelah Muzakir malah ada orang lain yang menyusul. Tapi konfirmasi dengan TNI tetap sangat penting dilakukan. Demi akurasi berita, cek silang ke pihak yang berkepentingan harus tetap dilakukan. Sampai kami semua bergegas masuk ke dalam mobil, belum juga ada kata sepakat. Pos TNI terdekat letaknya tak terlalu jauh dari lokasi.

Di dalam mobil, saya terdiam. Saya menengok ke arah Berthus.

“Ini bukan pertama kali saya lihat orang meninggal. Tapi baru kali ini yang bener-bener…”

Tak sampai lima belas menit perjalanan, rombongan kembali berhenti. Mobil yang paling depan memutuskan untuk mampir di pos TNI terdekat. Pasukan itu berasal dari Detasemen Pemukul 3 Satuan Tugas Mobil 2. Beberapa mobil terlihat ragu untuk berhenti. Saya, Berni, Berthus, Djaka dan Pak Halim memutuskan untuk berhenti.

Saya melihat wajah yang saya kenal. Rimbo Karyono, Komandan Detasemen itu. Saya pernah bertemu dia dalam liputan sebelumnya. Dia juga masih mengenali saya.

Zainal Bakri dan Cahyo Junaedy dari Tempo membuka percakapan dengan Rimbo. Mereka menjelaskan apa yang baru saja kami lihat. Saya menyiapkan alat perekam, tangan saya siaga di tombol record. David O’Shea dari SBS Australia satu-satunya yang menyorot dengan handycam.

“Saya malah baru tahu. Di mana daerah Seumirah itu?”

Wajah Rimbo keheranan. Ia baru mendengar dari kami soal penemuan jenazah yang terikat di pohon. Ia menyuruh anak buahnya untuk mengecek lewat radio panggil. Tak puas, ia segera menyusul ke balik terpal markas kecilnya di tengah hutan itu.

“Kalau TNI nggak ada yang pakai topeng.”

Begitu penjelasan pertama yang disampaikan Rimbo. Setelah mengecek ke anak buahnya, mungkin sudah ada laporan yang datang. Rimbo mencoba memastikan agar kami tak berpikir TNI sebagai pelaku pembunuhan Muzakir. Menurut Rimbo, pasukannya tak pernah masuk ke kampung itu di malam hari. Penjagaan hanya dilakukan di pinggir desa saja. Rimbo menambahkan, yang biasanya memakai topeng adalah pasukan GAM. Dari versi Rimbo, jelas bukan TNI pelakunya.

Tak lama kami pulang. Sepanjang jalan pulang, saya terdiam. Saya memikirkan bagaimana cara yang paling tepat untuk memaparkan semua informasi yang saya dapatkan di lapangan. Di tengah medan konflik yang panas seperti Aceh, penemuan satu jenazah ‘saja’ mungkin tidak signifikan. Tapi Muzakir begitu penting bagi saya. Satu laporan lima menit segera saja saya buat. Demi Muzakir.

Hari ini, 244 hari lewat dari kejadian itu. Saya masih ingat betul wajah Muzakir.

{Aceh Kita, Maret 2004}

dok: tarmiziharva