Tuesday, March 02, 2004

Tarmizi ‘Mejik Jar’ Harva

Perawakannya tinggi kurus. Kulitnya hitam legam dengan rambut keriting sebahu. Kacamata hitamnya lebih sering bertengger di atas kepala ketimbang dipakai sesuai fungsinya.



Namanya Tarmizi Harva, pewarta foto dari Reuters. Fotonya yang merekam gambar jenazah Muzakir terikat di pohon pinang memikat hati juri World Press Photo. Ganjaran untuk Meji : penghargaan fotografi jurnalistik paling bergengsi untuk kategori Penghargaan Khusus (Honorable Mention) Foto Berita Tunggal tahun 2004. Foto ini dinilai telah berhasil menampilkan realita kengerian konflik politik yang sadis, secara santun dan informatif.

Panggilannya singkat saja, Meji. Nama pendek itu sempat membuat saya bertanya-tanya siapa sebetulnya nama lengkap laki-laki ini. Begitu tahu nama depannya Tarmizi, saya langsung terkekeh ketika berjabat tangan pertama kali dengan Meji. “Kalau begitu, saya akan panggil kamu Mejik Jar!” Meji tertawa, tak keberatan.

Suami dari Nila dan ayah dari Nami dan Bintang ini bergabung dengan Kantor Berita Reuters terhitung April 2002 lalu. Sebelumnya, ia didera kebimbangan menentukan pilihan hidupnya. Maklum, jalur pendidikan Meji bukan di bidang fotografi, tapi di Teknik Sipil. Pada rentang tahun 1998-2000, ia mendua, memotret dan bekerja sebagai kontraktor. Ia merasa harus bertanggung jawab pada kedua orangtuanya, yang sudah membiayai kuliah Meji di Jurusan Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.

Perbincangan di tengah santapan mi goreng di depan Kantor Biro Kompas di Medan tahun 2000 lalu, juga memberi pencerahan bagi Meji. Teman-temannya berhasil meyakinkan hati Meji untuk berangkat ke Jakarta. Ia pun mulai menggeluti pekerjaan barunya sebagai pewarta foto Majalah Gamma selama dua tahun.

Awalnya hanya coba-coba. Pergaulannya dengan teman-teman suka fotografi lantas menyeret Meji dalam pusaran pewarta foto. Orang yang berpengaruh dalam paruh hidup ini adalah fotografer lepas bernama Edward Sinaga. Sederetan kamera baru terus dipamerkan Edu kepada Meji, sekaligus menularkan nikmatnya memotret. Coba-coba pertama Meji di Lomba Foto Olahraga Nasional tahun 1997 ternyata berbuah lumayan, pemenang harapan II di Lomba Foto Olahraga Nasional. Meji menjadi satu-satunya pemenang yang bukan wartawan.

Kini tinggal menunggu waktu saja sampai Meji terbang ke Amsterdam dan menerima langsung penghargaan World Press Photo 2004. Penghargaan ini sekaligus menghentikan pencarian Meji akan jalur hidupnya.

Kelihatannya Tuhan menginginkan Meji menjadi pewarta foto.

[Aceh Kita, Maret 2004]

dok: fotografer.net

Merekam Muzakir dalam Ingatan

Matahari sudah bergerak ke barat ketika rombongan sekitar tujuh mobil tiba di Desa Seumirah, Kecamatan Nisam, Aceh Utara. Kala itu, Nisam tengah naik daun. Kabar burung memang menyebutkan, William Nessen, jurnalis lepas Amerika yang tengah bersama Gerakan Aceh Merdeka GAM, ada di sana. Panglima Komando Operasi Militer NAD saat itu, Bambang Darmono, sudah memerintahkan Nessen untuk segera keluar dari hutan. Meski menjadi tempat liputan favorit, tak banyak yang berani berangkat hanya dengan satu mobil. Minimal tiga mobil, baru berani berangkat.

Saat itu saya dan teman-teman dalam satu mobil sewaan tak ikut bersama rombongan yang lain. Saya satu mobil dengan Berni Mustafa yang saat itu masih di The Jakarta Post, Berthus Mandey dari Suara Pembaruan dan Djaka Susila dari Jawa Pos, juga supir mobil itu, Pak Halim. Kami tak ikut jalur rombongan mobil yang lain, yang langsung menuju Nisam. Setelah berputar-putar mencari jalan dan nyaris berputus asa, akhirnya kami bertemu rombongan itu. Nisam memang bukan daerah yang bersahabat. Jarak kecamatan ini dari tepi JalanMedan-Banda Aceh jauhnya kira-kira 20 kilometer, dengan kondisi jalan bergelombang. Patokannya, Simpang KKA atau Simpang ASEAN. Kalau sudah masuk jauh ke dalam, ada begitu banyak pilihan belokan yang sangat mungkin membuat kami tersesat. Setelah sekitar dua jam mencari jejak mereka, akhirnya kami bersama rombongan juga.

Rombongan mobil yang lain sebetulnya tengah berada dalam perjalanan pulang. Mereka usai membuat liputan tentang penemuan delapan ton bahan peledak, yang diduga milik GAM. Ketika tiba di persimpangan jalan, kami dicegat warga. Saya urung turun karena teman-teman yang turun segera bergegas masuk kembali ke dalam mobil. Saya hanya mendapat kabar pendek, warga menemukan jenazah yang terikat di pohon pinang.

Jenazah? Terikat di pohon?

Saya tak bisa membayangkan apa yang akan saya hadapi kemudian. Perjalanan menuju ke tempat yang ditunjukkan warga cukup jauh. Di kiri kanan, hutan pohon pinang tampak mengelilingi kami. Jalan yang bergelombang membuat perjalanan terasa semakin jauh. Rombongan mobil berjalan pelan. Saya merasa makin tegang. Di sepanjang jalan tak tampak rumah warga. Hanya ada deretan pohon dan jajaran kesunyian.

Sampai di suatu titik, warga tampak berdiri di pinggir-pinggir jalan. Wajah mereka ketakutan. Kebanyakan ibu-ibu yang ada di sana, menggendong anak mereka yang masih kecil. Akhirnya rombongan mobil kami berhenti. Tempat ini adalah Dusun Batee Leusung, Desa Seumirah, Kecamatan Nisam, Aceh Utara.

Beberapa warga segera saja menyeruak menyambut kedatangan kami. Sebagian teman langsung bergerak menuju deretan pohon-pohon pinang yang ada di sebelah kanan jalan. Pergerakan saya terhenti ketika berpapasan dengan seorang bapak tua.

Raut mukanya tegang bercampur panik. Keriput di wajah serta uban yang menyelimuti rambut dan janggutnya menambah kesan tua di bapak itu. Saya gapai tangan bapak itu, bersalaman. Sekaligus mencoba membuatnya lebih tenang. Belum sempat saya mulai bertanya, bapak ini sudah memulai berbicara. Bapak itu bernama Abdullah Adam.

“Tunggu, Pak, pelan-pelan. Bagaimana cerita sebenarnya, Pak?”

Saya mencoba membuat bapak tua ini sedikit tenang. Dia terlihat begitu terengah-engah, seperti ada ribuan kata yang ingin segera diluncurkan untuk menjawab pertanyaan saya. Dengan tutur kata yang campur aduk, bahasa Indonesia yang tidak baku bercampur logat Aceh yang kental, Abdullah Adam menjelaskan.

Jenazah yang terikat di pohon pinang adalah anaknya. Namanya Muzakir Abdullah, usianya baru 20 tahun. Dengan terbata-bata, bapak tua ini bercerita bahwa semalam anaknya diambil oleh OTK alias orang tak dikenal. Wajah mereka yang mengambil Muzakir bertutup topeng kain. Juga berpakaian loreng dan bersenjata.

Saya melihat ke arah depan. Sebagian teman-teman yang lain sudah langsung menuju ke deretan pohon pinang yang berada tak jauh dari tepi jalan. Tak sampai lima meter jaraknya. Saya salami kembali bapak itu dan menyusul yang lain.

Tak berapa jauh di depan saya, (almarhum) Ersa Siregar, dari RCTI. Dalam hati saya mulai bertanya-tanya, di mana sebetulnya jenazah itu berada.

“Oh ya, itu dia,” begitu kata Bang Ersa, sambil mengeluarkan sapu tangan dari saku celana.

Saya celingukan mencari. Beberapa detik kemudian saya menemukan jenazah itu.



Tubuh itu kaku. Warna kulitnya pucat, tersaru dengan warna batang pohon pinang yang juga pucat. Tubuhnya terikat di batang pohon, dengan kedua tangan dililit tali ke arah belakang. Di tengah mulut ada sapu tangan putih juga terikat pada batang pohon, menahan kepalanya agar tak terjatuh. Dalam mulutnya ada sumpalan kain yang sudah tak jelas lagi warnanya.

Kepalanya agak sedikit miring. Lehernya nyaris putus. Wajahnya menyisakan sisa-sisa lebam. Matanya terpejam. Kakinya menekuk tepat di bagian lutut.

Potongan tubuh yang terikat ini tinggi besar. Otot-otot yang liat terlihat jelas di sana. Dia hanya mengenakan celana dalam saja, warna hijau tua. Di sekujur tubuhnya ada sisa-sisa darah kering. Mulai dari leher. Di dada. Di paha. Sampai ke kaki.

Saya cuma bisa terdiam.

“Ambil gambarnya dari belakang saja.”

Ucapan Bang Ersa menyadarkan saya. Saya bergerak mendekat, agak ke arah samping. Dari situ saya bisa melihat sayatan pada leher bagian kiri. Saya menengok ke kiri. Tarmizi Harva atau Meji, pewarta foto dari Reuters terlihat gelisah. Kameranya masih terus dipegang. Kelihatannya ia belum menentukan sudut yang tepat untuk mengambil gambar. Teman-teman yang lain, dari media cetak dan televisi mulai bergerak mendekat.

Saya juga gelisah. Saya tak tahu mana yang harus lebih dahulu saya kerjakan : menenangkan diri saya atau maju lebih dekat memastikan di mana dan apa saja bekas luka di tubuh jenazah itu. Saya lakukan yang kedua. Saya bisa kehilangan peristiwa penting kalau tak segera bekerja.

Di sebelah saya ada perempuan yang terus menangis sambil mengucap bermacam-macam doa. Kelihatannya ia juga baru tiba. Perempuan itu berkerudung putih, mengenakan kaos warna abu-abu dan bercelana kain warna hijau. Berkali-kali ia menyebut nama Allah sambil menangis.

Namanya Farida. Ia bergerak mendekati tubuh kaku yang terikat di pohon. Ia mengusap-usap bahu dan dada jenazah itu, sambil terus menggumamkan berbagai doa. Bergantian dengan tangisannya yang meraung. Ia terus berkata-kata dalam bahasa Aceh yang tak saya mengerti. Tubuh yang terikat itu adalah adiknya.

Saya menyodorkan alat perekam ke arah Farida. Saya harus menggambarkan kembali suasana di tempat ini dengan baik. Farida terus mengucapkan berbagai macam doa. Ia mengelilingi jenazah Muzakir, sambil terus menyentuh tubuh kaku itu. Ia tak sendirian. Di dekatnya juga ada dua orang lain, kemungkinan sanak saudaranya. Abdullah Adam, ayah Muzakir, juga ada di sana. Warga setempat memilih berada di lingkaran luar, melihat dari jauh, sambil mengangkat kaos mereka sedikit untuk menutupi hidung.

“Dia sudah punya istri, Kak?”

Usia Muzakir masih muda, baru 20 tahun dan belum berkeluarga.

”Dia anak Bapak? Anak kandung?”

Pertanyaan dari salah satu wartawan membuat saya mengalihkan perhatian ke Abdullah Adam. Saat itu pukul 15 sore. Ia benar-benar baru tahu beberapa menit yang lalu tentang terbunuhnya Muzakir. Dengan gerakan tangannya ia menjelaskan, mereka yang datang ke rumahnya semalam menggunakan baju tentra dan tutup muka. Ia menunjuk Farida di bagian mulut, menunjukkan bekas tendangan orang-orang itu.

Farida langsung bercerita. Muzakir sudah tidur ketika semalam, sekitar pukul 20.30 WIB, rumah mereka didatangi OTK, orang tak dikenal, dengan seragam loreng, topeng di wajah dan senjata di tangan. Pintu ditendang dan mereka berteriak, menyuruh Muzakir supaya tidak lari, tidak keluar dari rumah. Mereka lantas masuk ke dalam rumah. Farida juga terbangun malam itu. Ia berteriak-teriak minta tolong. Ia mencoba meyakinkan mereka bahwa adiknya tak bersalah. Ia minta penjelasan, kenapa adiknya dicari-cari. Pertanyaan itu dijawab dengan tamparan dan tendangan.

“Saya bilang, Pak, jangan Pak, adik saya nggak bersalah. Apa ini Pak? Bilang dulu Pak, saya bilang. Bilang dulu Pak, apa salah adik saya. Dia tak jawab apa-apa. Dia hanya bilang, diam kau, diam, sambil tampar saya.”

Farida tak tahu siapa mereka. Yang jelas, seragam yang dikenakan loreng. Layaknya tentara. Setidaknya ada empat orang yang masuk ke dalam rumahnya. Di luar, masih ada beberapa orang lagi berjaga-jaga. Juga dengan seragam loreng, topeng di wajah dan senjata di tangan.

Tiba-tiba ada yang menanyakan soal bahasa yang digunakan pria-pria berseragam itu.

“Bahasa Indonesia, bahasa nggak tahu lagi ada juga. Nggak ada bahasa Aceh.”

“Ada juga ora gelem. Seperti itu ada juga.”

Begitu sang ayah selesai menyebut kalimat itu, kami berpandang-pandangan. Berbahasa Jawa. Tidak bisa bahasa Aceh. Aboe Prijadi Santoso, atau ‘Opa’ Tossi, dari Radio Nederland langsung membuat raut muka penuh mafhum.

Keucik dusun setempat angkat berbicara. Hasballah namanya. Ia membenarkan identitas Muzakir sebagai warga desanya. Menurut dia, Muzakir sehari-hari membantu mengajar mengaji di Pesantren Nurul Huda. Setiap hari, Muzakir bisa ditemui di sana. Hasballah bercerita, sekitar tiga hari yang lalu, pasukan TNI masuk ke dusun mereka. Setiap kali bertemu warga, TNI pasti bertanya soal GAM.

Warga desa makin banyak yang memberanikan diri mendekat ke sana. Ada yang membawa tikar. Tali yang mengikat jenazah Muzakir di pohon pinang itu mulai dicopot. Saya bergerak menjauh dari lingkaran di sekitar pohon dan jenazah Muzakir.

Saya bergabung bersama Berthus, Berni dan Djaka. Mereka tengah berbincang dengan seorang lelaki. Memakai peci putih, kemeja kotak-kotak dan sarung. Dia ternyata saudara Muzakir. Sebut saja namanya Yusuf. Ia bercerita, pagi tadi ketika di kedai kopi, ia bertemu dua anggota TNI. Dua tentara ini tengah bercerita tentang sebuah kejadian yang mereka sebut sebagai ‘kejadian semalam’. Satu kalimat saja yang diingat betul oleh Yusuf.

“Salah sendiri anaknya nggak dilarang, lalu kita ambil dan hilangkan.”

Tadinya ia tak ambil pusing dengan kalimat itu. Begitu tahu nyawa saudaranya melayang, ia mulai berpikir yang tidak-tidak.

“Pak, lihat pangkatnya apa? Berapa garis?”

Pertanyaan Berthus dijawab singkat. Satu garis merah. Yusuf juga menyebut tiga angka yang ada di lengan kanan seragam loreng itu. Identitas kelompok.

Saya berhenti mencatat pada angka itu. Saya pastikan, informasi itu terekam dalam alat perekam saya. Terlalu penting untuk dilewatkan.

Saya melongok ke arah pohon pinang, ke arah jenazah Muzakir. Jenazah Muzakir sudah diturunkan, ditaruh di atas tikar. Tubuhnya ditutupi kain. Laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa, mengelilingi tubuh Muzakir. Mendoakan Muzakir dengan sepatutnya.

Saya menghampiri Zainal Bakri, wartawan Tempo. Wajahnya masih gelisah, tak banyak berubah sejak pertama kali kami menginjakkan kaki di dusun ini. Zainal adalah wartawan yang hebat, asli kelahiran Tanah Rencong. Ia menunjuk ke seorang bocah laki-laki.

“Namanya Aswari. Dia yang pertama kali menemukan jenazah itu.”

Saya menghampiri bocah itu. Saya tak bisa membayangkan bagaimana kejadian hari ini bisa menjadi trauma tersendiri bagi Aswari. Sudah sejak menjelang siang ia menemukan jenazah laki-laki terikat di pohon pinang. Ia segera saja memberitahukan ibunya. Tak lama, seluruh warga desanya tahu. Tapi tak ada yang berani berbuat apa-apa. Bahkan untuk sekedar menurunkan jenazah Muzakir. Mereka memilih untuk menunggu kedatangan Palang Merah Indonesia PMI. Padahal PMI kadang tak berani ambil resiko terlalu besar untuk masuk ke pelosok-pelosok desa.

“Saya lagi mau ke sungai. Tiba-tiba ada anjing yang menggonggong terus. Saya sudah hantam dia, tapi tak mau juga diam. Saya datangi. Saya lalu lihat ada mayat di sana.”

Informasi Aswari adalah keterangan terakhir yang saya rekam. Saya memasukkan alat perekam ke dalam tas. Data yang sudah ada nyaris lengkap. Kecuali satu, konfirmasi ke TNI. Saya sudah membuat lingkaran penanda di frase ‘satu garis merah’.

Saya melirik jam tangan saya. Hari sudah semakin sore. Teman-teman dari media televisi mulai gelisah, mengejar tenggat waktu penayangan berita sore hari.

Saya lupa siapa yang mengusulkan, tapi gagasan untuk konfirmasi ke TNI muncul juga. Ada yang setuju, ada yang tidak. Yang tidak setuju, khawatir dengan keselamatan warga desa. Jangan-jangan, setelah Muzakir malah ada orang lain yang menyusul. Tapi konfirmasi dengan TNI tetap sangat penting dilakukan. Demi akurasi berita, cek silang ke pihak yang berkepentingan harus tetap dilakukan. Sampai kami semua bergegas masuk ke dalam mobil, belum juga ada kata sepakat. Pos TNI terdekat letaknya tak terlalu jauh dari lokasi.

Di dalam mobil, saya terdiam. Saya menengok ke arah Berthus.

“Ini bukan pertama kali saya lihat orang meninggal. Tapi baru kali ini yang bener-bener…”

Tak sampai lima belas menit perjalanan, rombongan kembali berhenti. Mobil yang paling depan memutuskan untuk mampir di pos TNI terdekat. Pasukan itu berasal dari Detasemen Pemukul 3 Satuan Tugas Mobil 2. Beberapa mobil terlihat ragu untuk berhenti. Saya, Berni, Berthus, Djaka dan Pak Halim memutuskan untuk berhenti.

Saya melihat wajah yang saya kenal. Rimbo Karyono, Komandan Detasemen itu. Saya pernah bertemu dia dalam liputan sebelumnya. Dia juga masih mengenali saya.

Zainal Bakri dan Cahyo Junaedy dari Tempo membuka percakapan dengan Rimbo. Mereka menjelaskan apa yang baru saja kami lihat. Saya menyiapkan alat perekam, tangan saya siaga di tombol record. David O’Shea dari SBS Australia satu-satunya yang menyorot dengan handycam.

“Saya malah baru tahu. Di mana daerah Seumirah itu?”

Wajah Rimbo keheranan. Ia baru mendengar dari kami soal penemuan jenazah yang terikat di pohon. Ia menyuruh anak buahnya untuk mengecek lewat radio panggil. Tak puas, ia segera menyusul ke balik terpal markas kecilnya di tengah hutan itu.

“Kalau TNI nggak ada yang pakai topeng.”

Begitu penjelasan pertama yang disampaikan Rimbo. Setelah mengecek ke anak buahnya, mungkin sudah ada laporan yang datang. Rimbo mencoba memastikan agar kami tak berpikir TNI sebagai pelaku pembunuhan Muzakir. Menurut Rimbo, pasukannya tak pernah masuk ke kampung itu di malam hari. Penjagaan hanya dilakukan di pinggir desa saja. Rimbo menambahkan, yang biasanya memakai topeng adalah pasukan GAM. Dari versi Rimbo, jelas bukan TNI pelakunya.

Tak lama kami pulang. Sepanjang jalan pulang, saya terdiam. Saya memikirkan bagaimana cara yang paling tepat untuk memaparkan semua informasi yang saya dapatkan di lapangan. Di tengah medan konflik yang panas seperti Aceh, penemuan satu jenazah ‘saja’ mungkin tidak signifikan. Tapi Muzakir begitu penting bagi saya. Satu laporan lima menit segera saja saya buat. Demi Muzakir.

Hari ini, 244 hari lewat dari kejadian itu. Saya masih ingat betul wajah Muzakir.

{Aceh Kita, Maret 2004}

dok: tarmiziharva