Monday, August 09, 2004

Tak Ada Hakim Tubuh Perempuan

Harusnya perempuan lajang tak boleh kelimpungan waktu mengetahui tengah hamil. Mestinya ada kebebasan menentukan sikap, melanjutkan tanpa dibebani pertimbangan-pertimbang di luar tubuhnya. Faktanya, sampai kini perempuan masih dilingkupi perasaan was-was untuk mengambil sikap atas kandungannya. Apakah harus diteruskan dengan beban dilirik dengan sinis oleh masyarakat atau menggagalkan diam-diam. Yang terakhir ini, kerap dilakukan secara tidak aman. Sungguh berisiko. Dua nama, dua pengalaman berikut akan menutur pada kita. Liputan Citra Prastuti dibantu Nita Roshita tentang aborsi. Penyebutan nama dua tokoh dalam laporan ini disamarkan. Saudara, berikut Citra Prastuti dalam “Tak Ada Hakim Tubuh Perempuan”, dibawakan Alif Imam.



Namanya Nila, bertahun-tahun hidup dikawal mimpi tentang bayi.

"Gue jujur gue ngomong. Pas keluar anak gue di kamar mandi, seminggu berturut-turut gue ditangisin sama bayi dalam mimpi gue. Sampai terakhir gue mimpi bayi banyak megang kaki gue. Gimana mental gue, gue tanya elo. Gimana rasanya.. gimana gue nggak mau dendam seumur hidup kalo gitu.."

Dendam pada masa lalu yang pernah dilakoni. Persisnya dua tahun lalu.

"Gue terakhir ML paling gak dua minggu sebelumnya, atau tiga minggu sebelumnya. Pokoknya itu sebelum akhir tahun. Gue tahunya itu Januari akhir. Sedangkan, hitungannya orang hamil, misalnya gini, hari ini gue ML, trus gue gak dapet bulan depan, itu itungannya gue udah dua minggu."

Nila baru saja putus hubungan kekasih saat mengetahui ada bakal kehidupan berdiam di tubuhnya. Tanpa pengetahuan yang cukup untuk menentukan sikap. Tanpa orang kepercayaan yang membantu membangun kepercayaan diri. Dan waktu terus berhitung.

"Informasi gue nol, nol sama sekali. Gue nggak tahu apa-apaan. Gue ada temen, namanya R. Dia tahu gue pregnant, itu gue pertama kali cerita. ‘Gue hamil’. ‘Ah elo gila lo, keadaan gini elo hamil? Elo mau nuntut?’ Gue bilang, nggak, gue nggak mau nuntut. Dan dia juga nggak tahu apa-apaan, pacaran juga dia gak pernah."

"Gue minta dia beliin resep dokter untuk beliin obat itu. Gue pernah bilang sama dokter, 'dok saya sudah nikah'. Belinya kan gak boleh di apotek sembarangan, harus ada resep dokter. Gue minta ke klinik itu. Setelah itu, gue balik lagi ke dokter itu. Gue bilang ke dia, 'saya udah keluar nih'. Dia bilang, 'oh ya udah bersih kok, Bu', dia bilang gitu."

"Gue cuma minta itu resepnya. Gue minta ginecosid. Ternyata kan gue gak dapat ginecosid itu dari bidan. Padahal gue udah bilang, gue udah nikah. Gue beli di tempat cina. Ada toko obat cina, racikannya. Harganya tuh satu tablet 20 ribu, satu tablet."

Dan Nila lantas memutuskan. Menanggalkan embrio yang belum lagi bersiap menjadi janin itu. Meminum ramuan dan menyiksa tubuh.

"Iya. Setiap minum obat, gue loncat, sit up, loncat, sit up. Sampe jam 2 pagi gila lho, gue loncat-loncat. Gila gak sih. Pakai logika gak tuh."

Lalu suatu hari, kegelisahan Nila berakhir di kamar mandi. Sendirian.

"Sendiri. Nobody knows. Gue melakukan itu sendirian. Gue sendirian tidak ada siapa pun yang tahu dan tidak ada siapa pun orang untuk berbagi. Dan gue juga gak minta uang siapa pun."

"Gue make obat itu sehari dua kali, itu kan dosisnya udah tinggi. Trus gue minum obat-obat kayak pil tuntas, sama kiranti untuk perlancar haid. Gue juga sengaja loncat-loncat gitu. Gue pake itu. Trus keluar di kamar mandi. Abis itu ke klinik. Kata orang kliniknya, gue bersih. Ya itu, janin gue kan langsung mati, kayak gumpalan darah, kecil-kecil."

"Lebih baik gue ngorbanin diri gue sendiri. Daripada bokap gue tiba-tiba stroke, atau nyokap gue tiba-tiba sakit jantung..."

Termasuk merahasiakan kehamilan dari lelaki yang sempat dia cintai. Dia bertutur lagi dalam pertemuan kami yang kesekian.

"Bokap nyokap gue mungkin bisa lebih survive karena mereka lebih tau siapa gue. Cuma kalau bokap nyokap dia itu kan aduh gimana ya. Dia itu tahunya gue kayak porselen, gak mungkin retak. Gue pikir ini rahasia seumur hidup lah. Dia itu di depan orangtua gue dan temen-temen gue itu baik sekali. Dan karena gue cinta sama dia, gak mungkin gue coreng nama dia, gitu lho."

Nila pikir, setelah gumpalan darah kecil-kecil itu tumpah di kamar mandi, persoalan bertemu dengan akhir. Ternyata tidak.

"Elo inget gak, gue pernah sakit perut? Gue sakit perut melulu nih. Ternyata bulan Desember itu klimaks, gue drop. Keringet dingin, muntah terus, mual, asam lambung gue naik. Gue pikir itu karena maag gue. Ternyata itu dari janin gue yang udah membusuk."

"Ngerasa! Gue cuma mikir, perut gue sering sakit, kram. Gue pikir ini cuma maag gue, lambung gue kan gak beres sejak dulu. Ternyata pas udah sakit-sakit gitu, gue colaps, di bawa ke RS Islam. Perut gue di-USG, gue pingin liat apa penyakit dalam perut gue. Ternyata di atas dinding rahim gue masih ada sisa janin. Dan itu udah mati, terpecah-pecah. Di situlah gue shock dan langsung operasi. Bukan operasi, tapi dikuret."

Selanjutnya, Nila mulai berkawan dengan mimpi selama nyaris dua tahun. Hari ke hari, bahkan ketika ia mengetahui bekas pacarnya menikah.

"So far so good. Tapi sekarang ke mental. Mental gue jadi jatoh abis. Ibaratnya itu anak lo, nyawa, darah daging lo. Itu harus segera elo buang karena elo gak punya status apa-apaan sama laki-laki. Hamil di luar nikah. Sementara laki yang elo harapkan, kawin sama orang lain. Apa yang mesti gue rasain? Itu aja yang gue tanyain."

Sang embrio hidup dalam mimpi Nila, tumbuh seperti kebanyakan bayi yang sempat terlahir.

"Sampai dua bulan terakhir, dia udah bisa manggil gue ‘mama’ dan minta gendong. Terakhir, bulan Juli, dia gak ngomong apa-apa Cuma berdiri di sudut ruangan. Serba putih."

"Gue cuma minta maaf. Pokoknya, gue cuma satu aja dalam hidup gue, gue mungkin udah membuat kesalahan fatal. Dan mungkin berefek seumur hidup gue. Dan ini berefek seumur hidup sama gue. Gue gak ingin anak gue menuntut gue di akhirat. Gue pingin minta maaf, tapi gak bisa..."

Dia Nila. Teman Citra.

-----

"Klinik biasa. Kayak rumah tua gitu dijadikan klinik. Kalau aku bilang cukup bersih untuk kondisi saat itu. Tapi ya cukup inilah, karena ada ruang tunggu klien, ruangan dokternya juga gak terlalu besar sih. Tapi di ruangan dokternya agak suram, kalau kata aku."

Di klinik itu, Nadia berpisah dengan calon anak pertamanya. Sembilan tahun lalu, Nadia masih kuliah dan tak siap dengan kehadiran si kecil. Ia sempat meminum pil KB demi menggugurkan kandungan, di tengah kebingungan bersama pacarnya kala itu. Tak berani banyak tanya, karena bagi Nadia, ini sama saja dengan membuka rahasia.

Sampai akhirnya ia menemukan klinik aborsi di pinggaran kota Cimahi, Jawa Barat.

"Kalau gak salah sih waktu itu nanya umur, pekerjaan sama sudah berapa lama telatnya. Abis itu disuruh naik di atas meja operasinya. Tempat tidur, terus ada tempat buat kakinya. Dia periksa dalam dulu. Baru setelah itu aku disuntik bius. Kerasa sih ada beberapa alat yang dimasukin. Tapi aku gak tau itu dikuret atau disedot. Karena aku gak tau apa itu dikuret dan apa itu disedot."

Lima belas menit saja. Biusnya pun hanya lokal.

"Cuma kalau aku lihat alat-alatnya, kalau aku flashback waktu itu, kayaknya emang udah gak terlalu… apa ya, kayak alat yang udah lama. Soalnya udah agak kotor. Jadi soal sterilisasinya, saya gak nanya sama sekali, saya gak tau sama sekali. Dan waktu itu kan saya gak tau apa-apa, jadi saya gak tanya apakah itu bisa berakibat something di masa yang akan datang."

"Fisiknya pasti lemah sekali, kita gak bisa mikir sama sekali. Aku kan waktu itu dibonceng motor, kayaknya udah mau jatuh aja. Pikiran itu stres. Aku sempat seminggu lebih gak ke kampus. Sempet ada haid sebentar. Bukan haid sih, tapi perdarahan, 2-3 harian. Jadi karena fisiknya juga gak enak, masih kepikiran juga, sedih gimana. Kepikiran yang gak tau kenapa, perasaan kehilangan yang seharusnya gak dipikirin, tapi jadi kepikiran."

Klinik itu klinik aborsi. Ilegal, tentunya. Tak jarang, memasang plang dokter umum. Tak ada yang istimewa dari tampilan sebuah klinik aborsi. Seperti layaknya klinik yang dirujuk para calo aborsi di daerah Raden Saleh, Jakarta Pusat. Lokasi yang dipercaya sebagai pusat informasi aborsi. Tanya saja penjaga warung atau tukang parkir di sepanjang jalan itu, mereka siap mengantar perempuan-perempuan kebingungan ke klinik aborsi.

Nico, salah satu calo aborsi di sana, mengaku sudah menjalani profesi ini selama puluhan tahun. Ia kenal berbagai klinik menggugurkan kandungan. Bisa dipilih, sesuai isi kantong.

"Nanti kalau kemahalan, saya yang bantu ngomong. Gitu lho. Kalau memang bener-bener masih dua minggu, biar cepet. Nanti kalau satu setengah bulan lebih, bisa satu setengah."

Makin besar usia kandungan, biaya aborsi tentu makin mahal. Karena resiko yang ditanggung makin besar. Tapi sang calo juga menyebut, asal ada uang, semua bisa dilakukan.

"Biasanya kan kalau begini pemeriksaan sama bidan dulu. Kalau cocok, baru dokter yang kerjain. Kayak kemarin, itu kan bidan. Proses seperti biasa. Kalau kemarin belum diperiksa kan? Baru tanya-tanya. Kalau mau, bilang aja terus terang, saya mau diginiin. Nanti diperiksa, lalu ditanya biayanya. Lalu ditanya sama dia. Baru situ yang nego, situ yang ngomong."

Mengingat aborsi masih terhitung perbuatan ilegal, harusnya polisi juga ikut waspada. Polisi bukannya tak tahu. Menurut Nico, pemilik klinik biasanya sudah mengisi kantong Pak Polisi supaya tak banyak bicara. Besarnya, tergantung ramai tidaknya pasien berkunjung ke sana.

Klinik yang Citra datangi di kawasan Kramat Sentiong, Jakarta Pusat, juga melakukan hal yang sama. Membayar, supaya tak digerebek. Kalaupun digerebek, beberapa hari kemudian klinik itu sudah dibuka kembali.

Di tempat itu, nyawa sang ibu diregang, nyawa si janin dilepas. Tersembunyi. Tertutup rapat. Tak ada yang tahu.

-----

Setiap satu jam, dua perempuan meninggal akibat aborsi serampangan. Peralatan tak steril, tanpa pengetahuan teknik yang tepat, juga sembarangan menenggak obat, merupakan sedikit daftar dari praktik-praktik aborsi yang tak aman. Janin atau bahkan baru embrio di perut ibu, mungkin memang mati-ti. Tapi jiwa perempuan yang mengandungnya, bisa turut serta.

Ninuk Widyantoro dari Yayasan Kesehatan Perempuan.

"Kenapa sih kita itu? Saya malah pingin balik tanya ke kamu. Jadi kamu gak apa-apa buat kamu dua perempuan mati setiap jam? Kamu gak pingin nolong dan berdosa? Tenang aja gitu? Bukan gara-gara tua. Tapi gara-gara kehamilan, persalinan, keguguran.. gak apa-apa? Apa itu bukan sesuatu yang dasyat?"

Perempuan mana yang tak bingung menghadapi kehamilan yang tak diinginkan. Kalau ada mungkin sedikit. Penyebabnya, bisa lantaran betul-betul tak siap atau kegagalan alat kontrasepsi pencegah kehamilan.

Kehamilan, nyatanya, tak melulu disambut senyum sumringah. Taruhlah Nila, yang baru putus dari pacar ketika sadar dia hamil. Atau Nadia yang saat itu masih kuliah, dan tak siap punya rumah tangga. Atau kasus lain, seperti perkosaan dan perkawinan sedarah. Jangan harap senyum sumringah mampir.

Tapi, menikah atau tidak menikah, perempuan tetap punya hak atas tubunya sendiri.

"Perempuan itu adalah seorang individu, dia itu yang berhak menentukan dirinya. Kalau mau berunding dengan pasarangan atau tidak, terserah. Tidak harus, haru. Kita harus berhenti mengatur perempuan. Karena kita sok ngatur perempuan, hasilnya adalah kematian perempuan yagn tinggi sekali."

Anjuran Ninuk adalah adalah menyelamatkan puluhan, ratusan, jutaan jiwa perempuan dari praktik tidak aman atas tubuh mereka. Barangkali ini anjuran paling bermoral dari prinsip-prinsip yang selama ini diklaim sebagai tatanan moral masyarakat. Dua perempuan mati dalam satu jam akibat aborsi serampangan, wanti Ninuk.

"Kalo belief, orang gak setuju banget, ya udah. Yang mau bantu, ya gak apa-apa kan. You respect each other. Kalo gak setuju, ya jangan lakukan. Make sure they are not having unwanted pregnancy. Jadi mereka gak perlu aborsi. Kita bukan nyuruh-nyuruh orang aborsi. Kita akan mulai dari pendidikan supaya tidak perlu terjadi KTD, kehamilan tidak diinginkan."

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia PKBI membuka diri terhadap kemungkinan melakukan praktik aborsi. Caranya, dijamin aman. Hartono Hadisaputro dari PKBI Semarang dan Kusminari dari PKBI Jogjakarta, berbagi cerita.

"Kita fokus ke pasangan yang sudah menikah. Ada surat nikah fotokopi, fotokopi kartu keluarga dan bersedia untuk kontrasepsi lagi tergantung dari jumlah anak. Pasiennya memang harus pasangan yang sudah menikah. Kalau tidak ada surat2nya, tidak bisa."

"Pilihannya tidak selalu harus aborsi. Bisa dinikahkan. Ada yang takut bilang sama orang tua untuk menikah, kami pernah menikahkan juga. Harus dilihat kasusnya. Ada juga yang tidak ada pasangannya. Yang tidak ada pasangannya, bisa ke shelter. Kita punya shelter. Kalau sudah melahirkan, anaknya bisa dititip, diadopsi atau diserahkan ke shelter. Pilihannya tidak harus aborsi untuk KTD..."

Sampai ada revisi terhadap peraturan yang berlaku, aborsi masih ilegal di Indonesia. Haram. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan hanya membenarkan aborsi dilakukan sebagai tindakan darurat untuk menyelamatkan jiwa ibu. Artinya, semata-mata pertimbangan klinis. Tanpa berhitung daya ekonomi, apalagi kesiapan psikologis.

Upaya merevisi terang ada. Perjalanannya sudah beringsut lama. Saat ini orang-orang yang ingin menyelamatkan nyawa perempuan dari praktik aborsi serampangan seperti Ninuk Widyantoro tengah mendesak Presiden agar segera mengeluarkan Amanat Presiden. Amanat kepada DPR untuk mempercepat pembahasan revisi Undang-undang Kesehatan.

"Mereka sudah pakai inisiatifnya, sepakat untuk mengamendemen. Akbar (Akbar Tanjung, saat itu Ketua DPR) sudah tulis ke Mega (Megawati, saat itu Presiden Indonesia) , Megawati tinggal tulis Ampres (Amanat Presien) . Kalau sudah gitu, kita bisa duduk terkait dengan departemen terkait. Kalau semua sudah setuju dengan draft yang ada, ya sudah. Jangan sampai ada perbedaan pikiran antara kita dan Departemen Kesehatan."

Tak perlu ngotot mengukir frase ‘aborsi aman’ dalam revisi aturan. Yang penting, menurut Ninuk, adalah kewajiban negara terhadap perempuan.

"Kalau kita cuma liat aborsi itu cuma yang jelek, dari bertahun-tahun kita begitu aja. Lagian gak akan ada yang nyuruh aborsi kok. Daripada aborsi sampai mati, apa gak kita lebih baik menyelamatkan dan ngasih pendidikan. Pendidikan itulah yang harus diadakan Undang-Undang ini, sehingga orang tahu how to protect."

Targetnya, kalau sampai ada pilihan mengaborsi kandungan oleh perempuan mana pun, dalam status apa pun, melalui proses dan penanganan yang tepat.

"Mulai dari pendidikan, konseling, sampai kalau perempuan itu daripada mati, dia bisa asal harus begini-begini, gitu. Misalnya, gak boleh lebih dari 12 minggu, kita inline sama agama Islam. Harus dilakukan oleh tenaga yang terlatih dan tersertifikasi. Gak bisa dukun atau dokter asal. Harus lewat persyaraatan. Tidak boleh komersialisasi. Harus ada konselingnya. Sama seperti guidline WHO (World Health Organization –red)."

Karena ada negara yang ngotot meyakinan warga negara akan dilindungi, dan ada Pemerintah yang mengelola negara, kesehatan perempuan terang menjadi tanggung jawabnya. Tanpa berhitung status.

Kita berkejaran dengan waktu. Kalau dalam satu jam ada dua perempuan mati karena aborsi tidak aman, maka dalam sehari ada 48 perempuan melepas nyawa.

Seminggu, 336 perempuan.

Setahun, 17.472 perempuan. Mati. Sia-sia.

[Radio 68h, 8 Agustus 2004)

dok: sfgate