Saturday, December 20, 2008

Taman Yapto

Sabtu jam 10 pagi, Jakarta lagi mendung. Sempet gerimis, tapi udah lewat. Cuaca nggak cerah, tapi adem-adem asoy gitu. Kebetulan lagi mengarah ke Adorama Menteng, wah cakep juga kali yak kalo mampir Taman Menteng, secara gw dan Senja belum pernah ke sana.

Mobil parkir di gedung parkir Taman Menteng. Dari gedung parkir, sebetulnya ada akses langsung ke Taman Menteng. Tapi ada cowok-cowok berambut cepak dan berbadan tegap berjaga di situ. Kaos mereka warna abu-abu. Tulisan di bagian belakang kaos bikin serem: Guard. Ada secarik kertas ditempel di tembok, ditulis pake tangan. Gw lupa tulisan lengkapnya, yang pasti di situ tertera: HTM Rp 15 ribu.

Lho. HTM? Harga Tiket Masuk?

Gw tanya ke salah satu cowok tegap itu. 'Lho, Mas, jadi gak bisa masuk ke Taman Menteng?'

Dia menjawab pasti,'Bisa, tapi bayar 15 ribu. Lagi ada pertandingan futsal dan 3-on-3'

Ih. Gw langsung ngedumel agak kenceng, berharap supaya si Mas tegap itu mendengar: Taman Menteng kan taman publik, masa bayar.

Gw, Hil dan Senja jalan ke arah Taman Menteng. Baru deh di situ kita menyaksikan betapa Taman Menteng dibentengi triplek-triplek dibentuk seperti pagar. Kayak kalo gedung lagi dibangun gitu, dipagerin triplek. Dicat oranye, bertuliskan Japto S Soerjosoemarno Cup. Ini 'the' Yapto Partai Pelopor dan Pemuda Pancasila kan? Ah no wonder kalo gitu soal cowok berbadan tegap berkaos tulisan 'Guard' itu yak. 

Dari arah depan, akses betul-betul ketutup. Ada booth tiket dari bangunan berdinding gedek. Ada dua jalur pemeriksaan tiket, lagi-lagi dijaga pemuda tegap berkaos abu-abu bertuliskan 'Guard'.

Gw iseng, mendatangi booth jualan tiket. Yang jaga perempuan. 

'Mbak, jadi saya gak bisa masuk ke Taman Menteng ya?'
'Bisa, tapi bayar 15 ribu.'
'Lho, kok gitu? Kenapa saya  mesti bayar padahal saya gak tau ada kegiatan apa. Ngomong-ngomong di dalem situ ada apa sih?'
'Oh, ada futsal dan 3-on-3 Mbak. Nanti juga ada Rastafara'
'Tapi saya gak tertarik sama semua itu. Saya cuma mau ke Taman Menteng. Gak bisa?'
'Bisa, tapi bayar 15 ribu Mbak.'
'Kok gitu? Emang bisa ya Taman Menteng disewa?'
'Bisa.' Kali ini giliran pemuda tegap yang bicara, bukan lagi si Mbak penjaga tiket.

Hm, siwalun. Coba andaikata gw datang dari daerah, jauh-jauh datang demi menikmati Taman Menteng yang tersohor ini, trus mesti gigit jari karena 
acaranya Yapto ini 2 hari, malessss kaaaannn..

Langsung aja gw dorong-dorong Hil untuk laporan pandangan mata buat Green. Ini taman publik gitu lho, masa tega bener bisa disewa-sewa buat kepentingan pribadi gitu. Di mana unsur publiknya? Hil laporan, lantas kira-kira sejam kemudian dia dapat telfon dari Kepala Dinas Pertamanan Jakarta Utara. Kata si Pak 
ini sih, taman kota memang boleh disewa tapi gak boleh menutupi akses publik.

Kalo menetapkan HTM Rp 15 ribu, apa itu bukan namanya menutupi akses publik?

Hm rese. Padahal dulu pas di London, masuk ke Kew Gardens justru gratis pas lagi ada acara Salaam Festival. Mending dong, acaranya nyanyi-nyanyi asik. Nah ini, futsal dan 3-on-3, gak ada asik-asiknya buat gw. 

Yapto... Yapto...

Monday, December 15, 2008

Bekerja di TV

Gw gatau gimana rasanya kerja di TV. Gw juga gatau gimana proses redaksional di stasiun TV.

Ketika gw kuliah dulu, gw pikir kerja di media cetak, radio, TV itu kayak 'naik kelas'. Di mana TV adalah 'kelas' terakhir. Soalnya kan kayaknya semua orang pada pingin kerja di TV, dengan berbagai alasan. Jadi semula gw pikir, kerja di TV adalah sebuah achievement yang sangat tinggi sebagai seorang jurnalis.

Ternyata enggak.

Makin hari gw belajar bahwa cetak-radio-TV ya semata-mata spesifikasi saja. Pilihan, elu mau ada di mana. Setiap media punya karakteristik yang berbeda, dan perlu perlakuan yang berbeda pula. Gw belum pernah kerja di media cetak, tapi gw pernah ada di belakang penerbitan sebuah tabloid. More or less, mungkin sama. Kerja di TV, gak pernah juga, karena gw sebatas magang untuk Pemilu 2004 dulu.

Kerja di radio, ya sekarang ini. Profesi. Kerjaan. Digaji.

Makin hari gw juga belajar bahwa jadi jurnalis radio itu amboy nian. Menulis pendek tapi jelas, adalah sebuah tantangan yang sangat berat. Menyampaikan informasi tanpa berbekal alat bantu apa pun adalah sebuah pekerjaan yang sangat menarik. Memberitahukan sesuatu seperti kita menggambarkan sesuatu kepada orang buta, sungguh rumit. Tapi ini membuat pekerjaan gw, setiap hari, selalu menantang.

Mungkin orang lain pada bosen karena mesti ngerjain yang sama dari waktu ke waktu. Tapi, seperti kata temen gw yang lain, kalo diliat dari bosennya, ya bosen. Tapi kalo dicoba dinikmati, ya nikmat juga. Sejauh ini sih gw belum bosen. Apalagi gw harus selalu bersentuhan dengan tulisan-tulisan panjang yang kadang ahoy, kadang ampun dah. Jadilah gw selalu menemukan tantangan baru.

Bukan hanya secara tulisan, tapi juga dari soal brainstormingnya. Gw seneng ada di kantor gw sekarang. Gw merasa proses brainstormingnya cukup oke. Kadang mandek, biasa lah, namanya juga kehidupan. Tapi I feel like, this is where I belong. Apalagi kerjaan gw sejauh ini menyenangkan. Jadilah gw gembira aja.

Gw jadi inget cerita seorang kawan yang pindah dari sini lalu ke TV. TV komersil, yang hidup dari ke hari di bawah tekanan rating. Hm, I wonder how it feels like. Dia pernah cerita soal rapat redaksi di kantornya. Ketika itu dia mengusulkan liputan tentang pelarangan film Lastri. Kan banyak yang protes karena dianggap membawa nilai komunisme, tapi gak pernah jelas siapa yang sebenernya keberatan. Itu menarik dong. Ya kan? Kan isu komunisme itu penting, isu kebebasan berekspresi itu juga penting, plus ini kegiatan berkesenian. Penting dong.

Tapi enggak menurut sidang redaksi di TV tersebut. Alasannya cuma satu: nggak menjual.

Ide liputan pelarangan film Lastri kemudian kalah dengan ide yang, menurut gw, sungguh sepele dan remeh temeh. Yaitu, duren berformalin.

What?

Iya. Duren berformalin. Ooo ada toh hal semacam itu. Baru tau.

Oke, itu memang pengetahuan baru. Terima kasih. Itu memang salah satu peran media, menginformasikan hal-hal baru.

Tapi penting gitu tau ada duren berformalin? Dibandingkan Lastri?

Hm. Untung gw gak kerja di sana ya. Bisa-bisa orientasi hidup gw berubah, bisa-bisa kepala gw benjol karena sering jedoting kepala ke tembok.

Thursday, November 20, 2008

Komik Kebencian

Wujud kebencian bisa bermacam-macam. Kali ini ada yang membenci Islam, terutama Nabi Muhammad, lantas menuangkannya dalam bentuk komik. Sampai kemarin petang, blog alias situs pribadi lewat penyedia jasa Wordpress itu masih bisa diakses.

Ada dua komik di situ, keduanya dimuat tanggal 12 November, masih anyar. Di situ digambarkan cerita berjudul ‘Muhammad dan Zainab’ serta ‘Kartun Sex Muhammad dengan Budak’. Ada satu tokoh yang disebut dan digambarkan sebagai Nabi Muhammad. Ini adalah sesuatu yang sangat mustahil terjadi di agama Islam, karena Islam tak membolehkan Nabi Muhammad digambarkan. Kedua komik ini menggambarkan Nabi Muhammad sebagai manusia yang cabul dan gila seks, serta mencari pembenaran aktivitas seksualnya berdasarkan dalil-dalil Al Quran.

Ini bukan kali pertama Islam, atau agama secara keseluruhan, dijadikan sumber kebencian. Terkait Islam, tahun 2006 silam umat Muslim dibuat gerah dengan kartun Nabi Muhammad yang dilansir di salah satu harian Denmark. Atau kontroversi film ‘Fitna’ karya Geert Wilders yang hampir membuat situs You Tube diblokir. Sekarang giliran komik cabul ini, yang dibuat oleh orang Indonesia. Departemen Komunikasi dan Informasi langsung mengirim surat kepada pengelola Wordpress, meminta situs ditutup. Mudah-mudahan yang diminta hanya pemblokiran situs yang bermasalah, tak keseluruhan Wordpress.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sangat mungkin digunakan polisi untuk menangkap pengelola situs komik kebencian ini. Pasal yang bisa jadi bakal digunakan adalah pasal 28 ayat 2, tentang penyebarluasan informasi untuk menimbulkan rasa benci atau permusuhan berdasarkan suku, ras, agama dan antargolongan. Ancaman hukumannya terhitung serius, yaitu lima tahun penjara.

Warga Muslim mungkin dengan gegap gempita langsung ingin menggunakan pasal ini untuk memberangus pengelola situs komik kebencian itu. Tapi pikirkanlah, betapa lenturnya pasal ini. Betapa frase ‘menimbulkan kebencian’ bisa ditafsirkan beribu rupa oleh orang yang berbeda. Betapa pasal ini mengingatkan akan pasal hatzai artikelen alias pasal karet di KUHP. Betapa ‘benci’ adalah sesuatu yang sangat sangat subyektif.

Pada saat yang sama, sebuah situs perdebatan soal Islam juga tutup, tepatnya, menutup diri sendiri. Di sini, Islam adalah teror, perang, diskriminasi, dan pelanggaran HAM. Tanpa diminta siapa pun, situs ini resmi tutup. Di halaman muka, pengelola menyatakan forum ditutup terhitung kemarin demi terciptanya keharmonisan beragama di Indonesia. Pengelola situs pun tak lupa menyelipkan kata maaf jika forum dianggap telah meresahkan masyarakat.

Ini suatu langkah yang luar biasa. Setiap orang sangat boleh bersuara dan berekspresi seluas-luasnya, asal ingat kalau setiap kebebasan ada batasnya. Batas kebebasan kita adalah kebebasan orang lain. Pengelola situs forum perdebatan Islam itu tak merasa perlu menunggu protes, demo atau makian dari kiri kanan, lantas tanpa ba bi bu langsung menutup situs.

Tak ada yang salah dengan berbeda pendapat, tapi jangan sampai membuncah jadi kebencian yang saling menyudutkan. ‘Agamaku adalah agamaku, agamamu adalah agamamu’. Inilah saatnya mengedepankan keharmonisan kehidupan beragama, bukannya mengkotak-kotakkan, saling mencari perbedaan, atau yang paling parah, saling menyerang.

[Tajuk KBR68H, 20 November 2008]

Tuesday, November 18, 2008

Satu Jari, Empat Jari

Yang paling enak, juga paling gampang, adalah menyalahkan orang lain.

Itu yang dilakukan Wakil Gubernur Jakarta Prijanto, seputar masih banyaknya pelanggaran terhadap Perda Rokok di Jakarta. Kata Prijanto, pemerintah sudah membuat Perda Anti Rokok dan menyosialisasikannya. Kalau ada pelanggaran, maka yang salah adalah masyarakat karena masyarakat tidak mengerti.

Kata orang, kalau satu jari menunjuk ke pihak lain, maka ada empat jari menunjuk ke diri sendiri.

Mari kita lihat satu per satu. Perda Rokok tidak bisa jalan tanpa dukungan infrastruktur yang memadai dari negara. Misalnya penyediaan fasilitas. Di Perda Rokok Jakarta disebutkan kalau harus ada penetapan kawasan tanpa rokok. Sekarang bayangkan Anda datang ke sebuah mal ber-AC, bertemu perokok. Setelah Anda cari-cari, tak ada ruang merokok tersedia di mal tersebut. Apa yang bisa Anda lakukan? Paling banter, Anda, yang tak merokok, mengalah, pergi menjauh. Padahal Anda lah yang dirugikan. Kalau ada mal tak menyediakan ruang merokok, siapa yang salah? Kenapa pengelola mal tidak dihukum?

Di Perda juga diatur soal iklan rokok, tak boleh sembarangan masuk di jam-jam yang umumnya ditonton keluarga. Kalau tiba-tiba Anda mendapati ada iklan rokok di acara keluarga, apa yang bisa dilakukan? Paling banter, Anda bisa mengganti saluran televisi, supaya tak perlu menonton iklan rokok yang umumnya bersalut gaya hidup modern. Seolah Anda tak trendi kalau tak merokok. Anda harus mengalah, padahal Anda yang dirugikan. Kalau aturan iklan rokok dilanggar, siapa yang salah? Kenapa produsen rokok tak dihukum?

Fakta-fakta di luar Perda Rokok Jakarta juga menunjukkan keberpihakan yang sangat besar kepada kaum perokok. Indonesia adalah salah satu negara dengan cukai rokok terendah. Sedikit banyak ini menunjukkan betapa Pemerintah masih mendewakan penghasilan dari berlinting-linting rokok sarat racun ini. Di kawasan Asia, Indonesia hanya menerapkan cukai sebesar 37 persen, bandingkan dengan Thailand yang 63 persen. Padahal tarif cukai rokok mempengaruhi harga rokok dan tingkat konsumsi masyarakat. Selama cukai rokok masih tinggi, lupakan saja keinginan menekan jumlah perokok di tanah air.

Kalaupun rokok bisa dibasmi dari iklan TV, maka rokok melenggang bebas sebagai sponsor berbagai acara. Sebagai sponsor, mau tak mau iklannya terpampang besar-besar. Ratusan bungkus rokok itu pun dibagikan kepada pengunjung, sebagai bagian dari sponsor. Padahal sudah ada PP 19 tahun 2003 yang melarang hal tersebut. Kalau itu dilanggar, siapa yang salah? Masyarakat?

Kata orang dulu, yang waras, mengalah. Mestinya ini tak boleh berlaku lagi. Buat apa mengalah pada racun yang menyebabkan kemiskinan? Anda dirugikan, jangan mau kalah.

Pak Wakil Gubernur Jakarta yang terhormat, jangan terlalu mudah menyalahkan masyarakat. Lihat dulu empat jari yang mengarah ke Pemerintah.

[Tajuk KBR68H, 18 November 2008]

Monday, November 10, 2008

(Rela) Dibohongi TV

Seberapa jauh kita rela dibohongi televisi?

Semalam saya melakukannya lagi, dengan menonton 'Termehek-mehek' di Trans TV.

Saya tahu tontonan ini lewat pertemuan keluarga. Sejumlah tante begitu gembira bertahan di depan TV sembari menonton acara ini. Saya sebelumnya tidak pernah mengikuti isi acara ini. Sekadar duduk, lalu mereka bercerita dengan riangnya soal betapa serunya 'Termehek-mehek'. 

Cerita yang paling sering 'dibanggakan' adalah soal seseorang yang mencari orang lain, lalu ternyata si orang yang dicari sudah meninggal. Atau seseorang kehilangan anaknya, lalu mencari dari satu kereta ke kereta lainnya karena si anak itu kabarnya dijadikan pedagang asongan. Atau pacarnya si anu tiba-tiba menghilang, setelah ditelusuri ternyata pacaran sama bapaknya si anu. Atau perempuan hamil tapi anaknya terpaksa dikasih ke pacarnya karena si kakek gak setuju cucunya ini menikah, lalu si cucu ini disekolahin di luar negeri, dan setelah balik, si cucu ini nyari anaknya sementara si keluarga mantan pacar malah marah-marah.

Secara umum, cerita-cerita di 'Termehek-mehek' memang ajaib. Extra ordinary. Too good to be true.

Lalu saya membaca bahwa isi program tersebut bohong adanya. Cerita yang ditampilkan adalah rekayasa. Semua orang disuruh berakting dan semuanya adalah skenario. Sandiwara. Ada banyak blog/multiply yang pernah nulis soal ini, seperti diadia dan dia. Diperkuat lagi dengan pernyataan penuh kekesalan dari teman saya yang mengatakan bahwa salah satu pemain di 'Termehek-mehek' adalah tetangganya. Si tetangga itu bahkan sampai 'disidang' warga setempat untuk memperjelas apakah itu betul dia atau bukan. Itu betul dia, dan dia tak punya masalah seperti yang tampil di 'Termehek-mehek'.

Jadi, betulan bohong.

Saya jadi penasaran, adakah aturan KPI yang mengurus soal tayangan bohong? Apalagi 'Termehek-mehek' masuk kategori reality show. Realitas mana yang dimaksud kalau cerita yang tampil adalah bohong belaka? Atau ini memang dimaksudkan sebagai fiksi? Mestinya tidak, karena di akhir acara selalu diumumkan alamat email termehekmehek@transtv.co.id bagi penonton yang ingin mencari seseorang. Persis seperti (so called) tujuan 'Termehek-mehek'.

Saya jadi penasaran, berapa ya rating 'Termehek-mehek' sekarang? Mengingat acara ini tampil dua hari, di Sabtu dan Minggu, mengingat kayaknya duras program diperpanjang, tampaknya rating program cukup baik. Rating baik untuk sebuah acara yang ceritanya bohong, menarik juga.

Saya jadi penasaran. Di antara kru 'Termehek-mehek', berapa banyak yang tahu kalau ceritanya bohongan? Berapa banyak yang pernah baca blog dan multiply yang mengulas kebohongan di acara itu? Apakah Panda dan Mandala tahu kalau klien yang mereka bantu sekadar berakting?

Berapa lama lagi penonton (rela) dibohongi?

Merayakan Penjahat

Aneh sekali menonton TV pasca eksekusi Amrozi, Imam Samudra dan Muklas.

Semua TV berlomba-lomba liputan dari Cilacap, Tenggulun dan Serang. Seolah-olah kita, saya paling tidak, betul-betul ingin tahu tentang tanggapan dari delapan penjuru mata angin soal eksekusi terhadap ketiga penjahat ini. Padahal, yang paling saya ingin tahu hanya sebatas ekskusi sudah atau belum dilakukan. Kalau belum, kapan akan dilakukan. Kalau sudah, ya bagus.

Tapi, seperti yang banyak orang bilang, intensitas pemberitaan yang begitu tinggi tentang eksekusi trio bom Bali ini justru membuat mereka tampak seperti pahlawan. TV membuka ruang selebar-lebarnya bagi ketiga penjahat itu untuk meneriakkan kata jihad, kafir dan ’atas nama Islam’. Setiap hari tak henti-hentinya kita diajak berkenalan dengan Desa Tenggulun dan Serang, tempat tinggal ketiga penjahat itu, seolah-olah kita ingin tahu sisi ’humanis’ dari ketiga penjahat itu.

Menurut saya, ketiganya bukan manusia. Rasanya tidak ada manusia waras yang membunuh orang lain hanya karena orang itu dianggap kafir. Jadi ada di sebelah mana sisi humanis yang perlu kita tahu soal pembunuh sesama manusia?

Sepanjang hari saya sukses menahan diri untuk tidak mengikuti berita pasca eksekusi. Tapi saya terjebak ketika menonton buletin berita sore di salah satu TV swasta.

Berita pertama, soal penguburan ketiga penjahat ini. Digambarkan ada begitu banyak orang mengiringi sampai ke pekuburan. Ada begitu banyak orang ingin menyentuh keranda jenazah mereka. Saya heran, mengapa kamera merasa perlu menyorot spanduk bertuliskan,’Selamat jalan mujahid.’ Seolah-olah setuju bahwa yang mereka lakukan adalah jihad, bukannya membunuh.

Berita kedua, dari desa tempat tinggal ketiga penjahat. Sebagai sesama wartawan, saya merasa berita ini tidak punya nilai sama sekali. Buat apa memberitakan sesuatu yang tidak ada apa-apa, adem ayem? Lalu si reporter menggambarkan bahwa kondisi desa sepi, walaupun ada salah satu warga desa tersebut yang '... menjadi figur dengan banyak pengikut...’ yang baru saja dikubur. Mata gw langsung membelalak. Say what? Figur? F i g u r? Saya pun heran. Si wartawan tahu nggak sih apa yang dia omongin?

Untung saja ketiga penjahat itu betul-betul sudah dieksekusi. Meski saya gak setuju hukuman mati, saya senang, TV akhirnya bebas dari ketiga wajah penjahat itu.

Semoga keluarga korban bom Bali ikut lega, tak perlu lagi dihadapkan terus menerus dengan wajah pembunuh. Tak perlu lagi melihat media, terutama televisi, merayakan penjahat.

Wednesday, November 05, 2008

Jelang Eksekusi

Keluarga korban bom Bali I rupanya menyimpan trauma mendalam. Banyak di antara mereka yang enggan bicara dengan media, di tengah pemberitaan yang gencar jelang eksekusi trio bom Bali: Amrozi, Muklas alias Ali Gufron dan Imam Samudra. Hayati Eka Laksmi misalnya, yang tak mau lagi mendengar nama Amrozi cs. Ia hanya meminta ketiganya cepat dihukum, itu saja. Semakin sedikit diberitakan, Eka justru makin senang, karena berarti ketiga teroris ini tak makin populer.

Tapi coba perhatikan media, terutamatelevisi. Dengan gencar, mereka memberitakan kabar terakhir eksekusi Amrozi cs. Tayangan makin getol sejak akhir pekan lalu, karena Kejaksaan Agung memberi kabar bahwa eksekusi akan dilakukan awal November. Empat hari sudah berlalu dari awal bulan, belum ada kabar kapan sebetulnya eksekusi akan dilakukan.

Coba cermati isi tayangan televisi soal ketiga teroris itu: bahasa yang digunakan, bagaimana ledakan bom Bali I itu direkonstruksi dan bagaimana peran ketiga teroris ini. Persoalan hukum kembali diungkit, masalah Peninjauan Kembali dibahas lagi. Sebegitu seringnya sampai tak sadar para teroris ini tampak dipertontonkan sebagai pahlawan, sebagai martir. Mati karena membela yang benar.

Seiring dengan pemberitaan di media, teror tetap berlangsung. Akhir Oktober lalu, beredar pesan pendek di telfon seluler berisi peringatan untuk menghindari mal besar, restoran ala Barat juga Kedutaan Besar negara-negara Barat. Berita di berbagai media juga menyebutkan kalau polisi memperketat pengamanan di sejumlah kedutaan besar, menjelang eksekusi dilakukan.

Ditambah lagi, sebuah surat ancaman muncul di sebuah situs internet. Isinya adalah pernyataan perang dan ajakan membunuh orang-orang yang terlibat dalam eksekusi ini. Sejumlah nama pejabat besar disebut dalam surat ini, mulai dari Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, juga Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, Jaksa Agung Hendarman Supanji serta seluruh hakim dan jaksa yang terlibat persidangan bom Bali I. Demi mengesankan keseriusan, ditampilkan juga surat dengan tulisan tangan, berbahasa Inggris dan Arab, dan tandatangan ketiga terpidana mati. Soal benar tidaknya surat itu, tak ada yang tahu.

Apa pun bentuknya, teror tetap berlangsung. Kita seolah dibombardir dengan pernyataan martir, kafir, jihad, dan istilah lainnya yang mengesankan heroisme. Padahal apa yang mereka lakukan tak ada heroik-heroiknya. Yang mereka lakukan adalah membunuh orang tak berdosa, menafikan perbedaan dan membenarkan kekerasan. Untuk itu, mereka pantas, layak dan patut dihukum.

Kami memang tak setuju hukuman mati, karena tak ada manusia yang boleh berlaku sebagai Tuhan. Tapi Amrozi, Muklas alias Ali Gufron dan Imam Samudra harus dihukum, seberat-beratnya. Sejatinya, hukuman apa pun tak akan mengembalikan para korban yang meninggal sia-sia. Paling tidak, negara bisa membuktikan kepada korban: hukum masih ada di negeri ini.

[Tajuk KBR68H, 5 November 2008]

Empat Mata Bubar

Hehe, bubar juga ini acara. Bukannya nyukurin, tapi gw emang gak pernah terlalu suka acara ini. Beda dengan Hil yang selalu ngakak kalo nonton Tukul.

Penyebab Empat Mata bubar adalah dua episode. Satu, karena ada adegan orang makan kodok idup. Satu lagi karena menghadirkan Sumanto sebagai nara sumber. Yang kedua, gw nonton. Untuk pertama kalinya dalam sejarah gw nonton Tukul, gw ketawa. Gw menikmati ketakutan Tukul. Gw menikmati jawaban-jawaban aneh dari Sumanto.

Tapi kenikmatan gw ternyata berujung pada bubarnya Empat Mata.

Gapapa deh. Biar tim produksi acara kayak gitu di TV makin kreatif. Bosen model ngelawak kayak gitu.

Thursday, October 30, 2008

Tukul vs Sumanto

Seumur-umur gw gak pernah suka Empat Mata-nya Tukul. Biar kata Hil ngakak-ngakak kalo nonton itu, gw tetep aja melengos. Gak ada lucu-lucunya, menurut gw.

Tapi semalem pertahanan gw runtuh. Tukul lucu banget. Tapi kayaknya ini ditolong sama tamu Empat Mata semalam: Sumanto.

Sumpah, hillarious banget ngeliat gimana Tukul ketakutan sama Sumanto. Apalagi Sumanto itu kan tampangnya lempeng plus serem banget gitu. Jadilah Tukul betul-betul memperlihatkan muka ketakutan sepanjang acara. Tukul bahkan sempet beberapa kali menyebut,'Duh acaranya lama banget' hahaha.

Pertanyaan-pertanyaan awal dari 'laptop' udah ketara banget bikin Tukul lemes. Dia harus nanya gini ke Sumanto,'Mas Sumanto, sebelum ke sini, sudah makan? Makan apa?' Begitu Tukul mengajukan pertanyan itu, mukanya langsung berubah sepet, lalu dia berdiri dan jalan ke arah belakang panggung. Lalu dia teriak ke tim balik layar,'Mbok nanya jangan yang kayak gitu,' dengan muka panik tapi pasrah.

Lalu di sesi apa gitu, si perempuan figuran bilang ke Sumanto,'Gapapa ya Mas Sumanto, yang penting kan makan gak makan asal kumpul.' Sumanto meringis dan menyahut,'Oh kalo saya beda. Kumpul gak kumpul asal makan.'

Wakwaw. Langsung dah tu mukanya Tukul sepeettttt banget, hahahaha.

Yang ajaib tuh ketika Tukul nanya ke Sumanto soal kenapa dia memakain mayat manusia. Jawaban Sumanto emang gak terlalu jelas, blunder gitu deh. Tapi kurang lebih gini,'Saya makan itu kan buat naik haji. Tapi berhubung ketauan, jadinya gak naik haji.'

Makkkssuuudd lloooohhh...

Tuesday, October 28, 2008

Pedofil, Tangkap Saja

Polisi Indonesia memang aneh. Ada pedofil yang terang-terangan muncul di berbagai media, berfoto dengan wajah bangga, tapi tak juga ditangkap.

Pedofil yang bangga akan kelakuan bejatnya itu adalah Pujiono Cahyo Widianto. Laki-laki usia 43 tahun, yang menikahi perempuan usia 12 tahun. Kelakuannya bejat, itu jelas. Yang lebih bejat lagi adalah fakta bahwa dia adalah seorang kyai, pemilik pondok pesantren. Kita jadi bertanya-tanya, apa gerangan yang dia ajarkan kepada para santrinya? Untuk meniru perbuatan pedofil dan mencari pembenaran atas nama agama?

Tak ada untungnya bagi perempuan usia 12 tahun yang baru lulus SD itu ketika menikah dengan Pujiono yang umurnya 43 tahun. Hak Lutfiana sebagai anak jelas terenggut. Masa depan Lutfiana masih sangat panjang untuk dirajut sendiri, tanpa ikatan perkawinan dengan orang yang lebih pantas menjadi bapaknya. Begitu dinikahi, Lutfiana memang langsung diangkat jadi Manajer PT Sinar Lendoh Terang, perusahaan kaligrafi dari kuningan milik Pujiono. Tapi ini juga bukan keberuntungan. Ini sama saja Lutfiana dijadikan pekerja anak, meskipun jabatannya adalah bos.

Ini adalah pelanggaran aturan yang terang benderang, ada di depan mata, tepat di bawah hidung polisi. Pujiono jelas melanggar UU Perkawinan, yang menyebut usia minimal bagi perempuan untuk menikah adalah 16 tahun. Pujiono juga melabrak UU Perlindungan Anak, karena melakukan kekerasan seksual terhadap anak-anak; juga mempekerjakan anak. Sanksi yang tersedia dari penjara 5 tahun sampai denda 100 juta rupiah. Ditambah lagi, Pujiono juga melanggar KUHP. Nah, kurang banyak apa pelanggaran hukum yang dilakukan Pujiono?

Kini yang kita lihat di media malah Pujiono terkekeh-kekeh. Tak sedikit pun terlihat malu, karena ada banyak aturan hukum yang dilanggar. Pujiono mencoba berkelit dengan alasan pernikahan dilakukan tanpa paksaan dan disetujui orangtua si perempuan yang di bawah umur itu. Dia juga mengajukan dalih agama sebagai pembenaran atas perkawinan tersebut. Lantas apa polisi bisa diam saja dengan pembenaran tak logis macam begini? Ini jelas pelanggaran hukum, dan Indonesia menganut hukum sekuler, bukan hukum agama.

Yang juga bikin pusing kepala adalah pengakuan Pujiono bahwa dia menyukai anak-anak kecil. Kalau disuruh memilih menikah dengan anak kuliahan atau anak kecil, ia jelas-jelas memilih anak kecil. Bukankah ini pengakuan diri secara terbuka sebagai pedofil?

Kasus kekerasan terhadap anak bukanlah delik aduan. Tak perlu dialog macam-macam, tak perlu mencoba memahami, apalagi mengesahkan pembenaran atas nama agama yang dilakukan Pujiono.

Pedofil ya harus ditangkap, bukan dibiarkan.

Wednesday, September 24, 2008

Pak Super

Waktu awal mengenal Mario Teguh lewat O'Channel, saya tidak suka. 

Begitu juga ayah saya yang kerap bareng nonton TV. Dulu kami heran. Ini orang siapa sih, punya pengalaman kerja apa sih, sehingga bisa ngomong kayak gini. 'Jangan-jangan omong doang, bukan dari pengalaman,' begitu ayah saya menuding. Belum lagi ayah saya suka meniru cara Mario Teguh mengucapkan 'super' dengan agak dimonyong-monyongin.

Tapi kemudian saya beberapa kali mendapati ayah saya tenang-tenang menonton Mario Teguh di TV. Mungkin karena tidak ada tontonan lain yang menarik. Tapi ayah saya terlihat memperhatikan.

Lalu itu menular ke saya. Sekarang saya jadi senang menonton Mario Teguh. Berhubung saya manusia multi-tasking, saya perlakukan TV sebagai radio. Saya dengarkan, sambil mengerjakan hal lain. Paling sering, sembari membuat makanan untuk Senja.

Apa yang dia sampaikan sebetulnya hal-hal yang dialami sehari-hari, paling banyak soal relasi atasan-bawahan di kantor. Tapi dia bisa mengemasnya sedemikian rupa sehingga orang akan berpikir,'Iya ya...' sambil mengangguk-angguk. Seperti yang kerap saya lakukan.

Saya tetap tidak tahu apa latar belakang pendidikan Mario Teguh. Apa dia sebelum jadi so-called motivator. Tentu di dunia ini tidak ada dong orang yang meng-hire calon karyawan dengan posisi motivator. Tapi saya tetap menikmati Mario Teguh di televisi. Walau saya tidak pernah ingat kapan jadwal program tersebut. Walau saya tidak tahu apa nama acaranya. Walau telinga saya masih gatal setiap kali dia berkata 'Super'.

Ada satu paparan dia yang saya ingat betul sekarang. "Habis manis sepah dibuang itu biasa. Karena itu jadilah orang yang manisnya tak pernah habis."

Ah betul sekali itu.

Tuesday, July 22, 2008

Kasus Mutilasi Ryan dan Gay

Sekarang di berbagai media lagi rame dengan pemberitaan kasus mutilasi. Mutilasi itu dilakukan oleh seorang laki-laki bernama Ryan. Dia membunuh Heri, karena si Heri ini naksi Noval, yang adalah pacarnya Ryan. Karena sebel, Heri terus dibunuh, dipotong-potong, bersihin, masukin koper, lalu dibuang. Eh ternyata di kebon belakang rumah Ryan di Jombang, Jawa Timur, ada empat jenazah lainnya. [selengkapnya, silakan klik di sini]

Semua tokoh ini adalah laki-laki karena kebetulan Ryan adalah seorang gay.

Kebetulan? Tentu saja. Sama kebetulannya kalo dia itu punya kutil, atau rambutnya belah kanan, atau pipinya tembem. Kebetulan dan semata-mata kebetulan. Makanya gw heran banget kenapa banyak sekali media yang senang menghubung-hubungkan pilihan seksual Ryan ini dengan aksi mutilasi yang dia lakukan.

Ini pertama kali gw ketahui ada di TVOne. Duh, cape deh. Gw liatnya di acara 'Apa Kabar Indonesia' yang edisi pagi. Penyiarnya yang laki entah siapa, yang perempuan si Indy itu, yang dulunya di SCTV. Seperti lazimnya berita TV, ada judul yang terpampang di bagian bawah layar kaca. Tulisannya begini: Kaum gay lebih agresif ekspresikan dendam?

Booooo. Pengen gw banting itu rasanya televisi. Goblok banget sih ini TVOne. Gw langsung SMS temen gw yang kerja di sini, maki-maki kebodohan mereka. Ya iya lah goblok. Sejak kapan ada hubungan antara being gay dengan 'agresif ekspresikan dendam'? Emangnya orang heteroseksual kagak ada yang 'agresif ekspresikan dendam'?

Amit-amit bodo kok dipelihara. Coba deh elu riset dulu soal kasus-kasus mutilasi yang ada di Indonesia. Ada berapa banyak sih yang dilakukan oleh gay? Jangan-jangan cuma kasus Ryan aja.

To my surprise, Koran Tempo edisi 22 Juli 2008 juga melakukan ketololan yang sma. Ini bermula dari judul yang bikin gw ngelus dada:'Kisah si Waria Dusun'. Pemilihan kata waria aja udah gak bisa dimaafkan untuk kasus ini. Di tulisan ini digambarkan bagaimana Ryan punya hobi merawat kembang dan tanaman. Oke, so what?
Kutipan yang dipakai adalah dari temennya Ryan di kampung, begini bunyinya,'Sikapnya seperti waria saja.'

Peelliiiiiissssss deh! Bias banget! Tolol. Bahkan kalau kata 'waria' itu diganti 'perempuan' aja gw udah mencak-mencak. Gw perempuan dan gw gak suka kembang. So what? Jangan main klaim gitu dong. Apalagi ini, menghubung-hubungkan antara waria dan suka kembang. T o l o l.

Karena penasaran dengan apa lagi kata media lain soal kasus mutilasi Ryan, gw ngeklik detik, situs berita yang mengklaim dibaca 8 juta orang per hari ini. Lalu ada judul berita kayak gini:

22/07/2008 12:04 WIB
Kriminolog: Gay dan Psikopat, Dua Hal Berbeda


Boooooo orang dari zaman batu juga tau! Yaaaa iiiiyyyaaaa laaaahhh psikopat dan gay itu dua hal yang berbeda. Masih ditanyain segala
yang kayak gituan. Najong jong jong jong dah.

Karena gw penasaran lagi, maka gw cari artikel lain di situs itu, kali aja ada yang lebih bodoh. Eeehh bener aja. Ada di rubrik wawancara detik dengan Prof Drs Koentjoro MBSc PhB. Yang bikin gw terjungkal dari kursi adalah pertanyaan dari si wartawan:

Faktor-faktor apa saja yang mendorong gay melakukan mutilasi?

Gubrak! Amit-amit. Bodo kok dipelihara.

Tapi kalo yang ini, bener-bener make my day banget. Terpingkal-pingkal!

Apa percintaan gay jika berakhir selalu berujung pada mutilasi?

Toloooonggg... ini anak kemarin sore atau gimana sih yang disuruh wawancara? Huahuhauhauhau.