Thursday, November 20, 2008

Komik Kebencian

Wujud kebencian bisa bermacam-macam. Kali ini ada yang membenci Islam, terutama Nabi Muhammad, lantas menuangkannya dalam bentuk komik. Sampai kemarin petang, blog alias situs pribadi lewat penyedia jasa Wordpress itu masih bisa diakses.

Ada dua komik di situ, keduanya dimuat tanggal 12 November, masih anyar. Di situ digambarkan cerita berjudul ‘Muhammad dan Zainab’ serta ‘Kartun Sex Muhammad dengan Budak’. Ada satu tokoh yang disebut dan digambarkan sebagai Nabi Muhammad. Ini adalah sesuatu yang sangat mustahil terjadi di agama Islam, karena Islam tak membolehkan Nabi Muhammad digambarkan. Kedua komik ini menggambarkan Nabi Muhammad sebagai manusia yang cabul dan gila seks, serta mencari pembenaran aktivitas seksualnya berdasarkan dalil-dalil Al Quran.

Ini bukan kali pertama Islam, atau agama secara keseluruhan, dijadikan sumber kebencian. Terkait Islam, tahun 2006 silam umat Muslim dibuat gerah dengan kartun Nabi Muhammad yang dilansir di salah satu harian Denmark. Atau kontroversi film ‘Fitna’ karya Geert Wilders yang hampir membuat situs You Tube diblokir. Sekarang giliran komik cabul ini, yang dibuat oleh orang Indonesia. Departemen Komunikasi dan Informasi langsung mengirim surat kepada pengelola Wordpress, meminta situs ditutup. Mudah-mudahan yang diminta hanya pemblokiran situs yang bermasalah, tak keseluruhan Wordpress.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sangat mungkin digunakan polisi untuk menangkap pengelola situs komik kebencian ini. Pasal yang bisa jadi bakal digunakan adalah pasal 28 ayat 2, tentang penyebarluasan informasi untuk menimbulkan rasa benci atau permusuhan berdasarkan suku, ras, agama dan antargolongan. Ancaman hukumannya terhitung serius, yaitu lima tahun penjara.

Warga Muslim mungkin dengan gegap gempita langsung ingin menggunakan pasal ini untuk memberangus pengelola situs komik kebencian itu. Tapi pikirkanlah, betapa lenturnya pasal ini. Betapa frase ‘menimbulkan kebencian’ bisa ditafsirkan beribu rupa oleh orang yang berbeda. Betapa pasal ini mengingatkan akan pasal hatzai artikelen alias pasal karet di KUHP. Betapa ‘benci’ adalah sesuatu yang sangat sangat subyektif.

Pada saat yang sama, sebuah situs perdebatan soal Islam juga tutup, tepatnya, menutup diri sendiri. Di sini, Islam adalah teror, perang, diskriminasi, dan pelanggaran HAM. Tanpa diminta siapa pun, situs ini resmi tutup. Di halaman muka, pengelola menyatakan forum ditutup terhitung kemarin demi terciptanya keharmonisan beragama di Indonesia. Pengelola situs pun tak lupa menyelipkan kata maaf jika forum dianggap telah meresahkan masyarakat.

Ini suatu langkah yang luar biasa. Setiap orang sangat boleh bersuara dan berekspresi seluas-luasnya, asal ingat kalau setiap kebebasan ada batasnya. Batas kebebasan kita adalah kebebasan orang lain. Pengelola situs forum perdebatan Islam itu tak merasa perlu menunggu protes, demo atau makian dari kiri kanan, lantas tanpa ba bi bu langsung menutup situs.

Tak ada yang salah dengan berbeda pendapat, tapi jangan sampai membuncah jadi kebencian yang saling menyudutkan. ‘Agamaku adalah agamaku, agamamu adalah agamamu’. Inilah saatnya mengedepankan keharmonisan kehidupan beragama, bukannya mengkotak-kotakkan, saling mencari perbedaan, atau yang paling parah, saling menyerang.

[Tajuk KBR68H, 20 November 2008]

Tuesday, November 18, 2008

Satu Jari, Empat Jari

Yang paling enak, juga paling gampang, adalah menyalahkan orang lain.

Itu yang dilakukan Wakil Gubernur Jakarta Prijanto, seputar masih banyaknya pelanggaran terhadap Perda Rokok di Jakarta. Kata Prijanto, pemerintah sudah membuat Perda Anti Rokok dan menyosialisasikannya. Kalau ada pelanggaran, maka yang salah adalah masyarakat karena masyarakat tidak mengerti.

Kata orang, kalau satu jari menunjuk ke pihak lain, maka ada empat jari menunjuk ke diri sendiri.

Mari kita lihat satu per satu. Perda Rokok tidak bisa jalan tanpa dukungan infrastruktur yang memadai dari negara. Misalnya penyediaan fasilitas. Di Perda Rokok Jakarta disebutkan kalau harus ada penetapan kawasan tanpa rokok. Sekarang bayangkan Anda datang ke sebuah mal ber-AC, bertemu perokok. Setelah Anda cari-cari, tak ada ruang merokok tersedia di mal tersebut. Apa yang bisa Anda lakukan? Paling banter, Anda, yang tak merokok, mengalah, pergi menjauh. Padahal Anda lah yang dirugikan. Kalau ada mal tak menyediakan ruang merokok, siapa yang salah? Kenapa pengelola mal tidak dihukum?

Di Perda juga diatur soal iklan rokok, tak boleh sembarangan masuk di jam-jam yang umumnya ditonton keluarga. Kalau tiba-tiba Anda mendapati ada iklan rokok di acara keluarga, apa yang bisa dilakukan? Paling banter, Anda bisa mengganti saluran televisi, supaya tak perlu menonton iklan rokok yang umumnya bersalut gaya hidup modern. Seolah Anda tak trendi kalau tak merokok. Anda harus mengalah, padahal Anda yang dirugikan. Kalau aturan iklan rokok dilanggar, siapa yang salah? Kenapa produsen rokok tak dihukum?

Fakta-fakta di luar Perda Rokok Jakarta juga menunjukkan keberpihakan yang sangat besar kepada kaum perokok. Indonesia adalah salah satu negara dengan cukai rokok terendah. Sedikit banyak ini menunjukkan betapa Pemerintah masih mendewakan penghasilan dari berlinting-linting rokok sarat racun ini. Di kawasan Asia, Indonesia hanya menerapkan cukai sebesar 37 persen, bandingkan dengan Thailand yang 63 persen. Padahal tarif cukai rokok mempengaruhi harga rokok dan tingkat konsumsi masyarakat. Selama cukai rokok masih tinggi, lupakan saja keinginan menekan jumlah perokok di tanah air.

Kalaupun rokok bisa dibasmi dari iklan TV, maka rokok melenggang bebas sebagai sponsor berbagai acara. Sebagai sponsor, mau tak mau iklannya terpampang besar-besar. Ratusan bungkus rokok itu pun dibagikan kepada pengunjung, sebagai bagian dari sponsor. Padahal sudah ada PP 19 tahun 2003 yang melarang hal tersebut. Kalau itu dilanggar, siapa yang salah? Masyarakat?

Kata orang dulu, yang waras, mengalah. Mestinya ini tak boleh berlaku lagi. Buat apa mengalah pada racun yang menyebabkan kemiskinan? Anda dirugikan, jangan mau kalah.

Pak Wakil Gubernur Jakarta yang terhormat, jangan terlalu mudah menyalahkan masyarakat. Lihat dulu empat jari yang mengarah ke Pemerintah.

[Tajuk KBR68H, 18 November 2008]

Monday, November 10, 2008

(Rela) Dibohongi TV

Seberapa jauh kita rela dibohongi televisi?

Semalam saya melakukannya lagi, dengan menonton 'Termehek-mehek' di Trans TV.

Saya tahu tontonan ini lewat pertemuan keluarga. Sejumlah tante begitu gembira bertahan di depan TV sembari menonton acara ini. Saya sebelumnya tidak pernah mengikuti isi acara ini. Sekadar duduk, lalu mereka bercerita dengan riangnya soal betapa serunya 'Termehek-mehek'. 

Cerita yang paling sering 'dibanggakan' adalah soal seseorang yang mencari orang lain, lalu ternyata si orang yang dicari sudah meninggal. Atau seseorang kehilangan anaknya, lalu mencari dari satu kereta ke kereta lainnya karena si anak itu kabarnya dijadikan pedagang asongan. Atau pacarnya si anu tiba-tiba menghilang, setelah ditelusuri ternyata pacaran sama bapaknya si anu. Atau perempuan hamil tapi anaknya terpaksa dikasih ke pacarnya karena si kakek gak setuju cucunya ini menikah, lalu si cucu ini disekolahin di luar negeri, dan setelah balik, si cucu ini nyari anaknya sementara si keluarga mantan pacar malah marah-marah.

Secara umum, cerita-cerita di 'Termehek-mehek' memang ajaib. Extra ordinary. Too good to be true.

Lalu saya membaca bahwa isi program tersebut bohong adanya. Cerita yang ditampilkan adalah rekayasa. Semua orang disuruh berakting dan semuanya adalah skenario. Sandiwara. Ada banyak blog/multiply yang pernah nulis soal ini, seperti diadia dan dia. Diperkuat lagi dengan pernyataan penuh kekesalan dari teman saya yang mengatakan bahwa salah satu pemain di 'Termehek-mehek' adalah tetangganya. Si tetangga itu bahkan sampai 'disidang' warga setempat untuk memperjelas apakah itu betul dia atau bukan. Itu betul dia, dan dia tak punya masalah seperti yang tampil di 'Termehek-mehek'.

Jadi, betulan bohong.

Saya jadi penasaran, adakah aturan KPI yang mengurus soal tayangan bohong? Apalagi 'Termehek-mehek' masuk kategori reality show. Realitas mana yang dimaksud kalau cerita yang tampil adalah bohong belaka? Atau ini memang dimaksudkan sebagai fiksi? Mestinya tidak, karena di akhir acara selalu diumumkan alamat email termehekmehek@transtv.co.id bagi penonton yang ingin mencari seseorang. Persis seperti (so called) tujuan 'Termehek-mehek'.

Saya jadi penasaran, berapa ya rating 'Termehek-mehek' sekarang? Mengingat acara ini tampil dua hari, di Sabtu dan Minggu, mengingat kayaknya duras program diperpanjang, tampaknya rating program cukup baik. Rating baik untuk sebuah acara yang ceritanya bohong, menarik juga.

Saya jadi penasaran. Di antara kru 'Termehek-mehek', berapa banyak yang tahu kalau ceritanya bohongan? Berapa banyak yang pernah baca blog dan multiply yang mengulas kebohongan di acara itu? Apakah Panda dan Mandala tahu kalau klien yang mereka bantu sekadar berakting?

Berapa lama lagi penonton (rela) dibohongi?

Merayakan Penjahat

Aneh sekali menonton TV pasca eksekusi Amrozi, Imam Samudra dan Muklas.

Semua TV berlomba-lomba liputan dari Cilacap, Tenggulun dan Serang. Seolah-olah kita, saya paling tidak, betul-betul ingin tahu tentang tanggapan dari delapan penjuru mata angin soal eksekusi terhadap ketiga penjahat ini. Padahal, yang paling saya ingin tahu hanya sebatas ekskusi sudah atau belum dilakukan. Kalau belum, kapan akan dilakukan. Kalau sudah, ya bagus.

Tapi, seperti yang banyak orang bilang, intensitas pemberitaan yang begitu tinggi tentang eksekusi trio bom Bali ini justru membuat mereka tampak seperti pahlawan. TV membuka ruang selebar-lebarnya bagi ketiga penjahat itu untuk meneriakkan kata jihad, kafir dan ’atas nama Islam’. Setiap hari tak henti-hentinya kita diajak berkenalan dengan Desa Tenggulun dan Serang, tempat tinggal ketiga penjahat itu, seolah-olah kita ingin tahu sisi ’humanis’ dari ketiga penjahat itu.

Menurut saya, ketiganya bukan manusia. Rasanya tidak ada manusia waras yang membunuh orang lain hanya karena orang itu dianggap kafir. Jadi ada di sebelah mana sisi humanis yang perlu kita tahu soal pembunuh sesama manusia?

Sepanjang hari saya sukses menahan diri untuk tidak mengikuti berita pasca eksekusi. Tapi saya terjebak ketika menonton buletin berita sore di salah satu TV swasta.

Berita pertama, soal penguburan ketiga penjahat ini. Digambarkan ada begitu banyak orang mengiringi sampai ke pekuburan. Ada begitu banyak orang ingin menyentuh keranda jenazah mereka. Saya heran, mengapa kamera merasa perlu menyorot spanduk bertuliskan,’Selamat jalan mujahid.’ Seolah-olah setuju bahwa yang mereka lakukan adalah jihad, bukannya membunuh.

Berita kedua, dari desa tempat tinggal ketiga penjahat. Sebagai sesama wartawan, saya merasa berita ini tidak punya nilai sama sekali. Buat apa memberitakan sesuatu yang tidak ada apa-apa, adem ayem? Lalu si reporter menggambarkan bahwa kondisi desa sepi, walaupun ada salah satu warga desa tersebut yang '... menjadi figur dengan banyak pengikut...’ yang baru saja dikubur. Mata gw langsung membelalak. Say what? Figur? F i g u r? Saya pun heran. Si wartawan tahu nggak sih apa yang dia omongin?

Untung saja ketiga penjahat itu betul-betul sudah dieksekusi. Meski saya gak setuju hukuman mati, saya senang, TV akhirnya bebas dari ketiga wajah penjahat itu.

Semoga keluarga korban bom Bali ikut lega, tak perlu lagi dihadapkan terus menerus dengan wajah pembunuh. Tak perlu lagi melihat media, terutama televisi, merayakan penjahat.

Wednesday, November 05, 2008

Jelang Eksekusi

Keluarga korban bom Bali I rupanya menyimpan trauma mendalam. Banyak di antara mereka yang enggan bicara dengan media, di tengah pemberitaan yang gencar jelang eksekusi trio bom Bali: Amrozi, Muklas alias Ali Gufron dan Imam Samudra. Hayati Eka Laksmi misalnya, yang tak mau lagi mendengar nama Amrozi cs. Ia hanya meminta ketiganya cepat dihukum, itu saja. Semakin sedikit diberitakan, Eka justru makin senang, karena berarti ketiga teroris ini tak makin populer.

Tapi coba perhatikan media, terutamatelevisi. Dengan gencar, mereka memberitakan kabar terakhir eksekusi Amrozi cs. Tayangan makin getol sejak akhir pekan lalu, karena Kejaksaan Agung memberi kabar bahwa eksekusi akan dilakukan awal November. Empat hari sudah berlalu dari awal bulan, belum ada kabar kapan sebetulnya eksekusi akan dilakukan.

Coba cermati isi tayangan televisi soal ketiga teroris itu: bahasa yang digunakan, bagaimana ledakan bom Bali I itu direkonstruksi dan bagaimana peran ketiga teroris ini. Persoalan hukum kembali diungkit, masalah Peninjauan Kembali dibahas lagi. Sebegitu seringnya sampai tak sadar para teroris ini tampak dipertontonkan sebagai pahlawan, sebagai martir. Mati karena membela yang benar.

Seiring dengan pemberitaan di media, teror tetap berlangsung. Akhir Oktober lalu, beredar pesan pendek di telfon seluler berisi peringatan untuk menghindari mal besar, restoran ala Barat juga Kedutaan Besar negara-negara Barat. Berita di berbagai media juga menyebutkan kalau polisi memperketat pengamanan di sejumlah kedutaan besar, menjelang eksekusi dilakukan.

Ditambah lagi, sebuah surat ancaman muncul di sebuah situs internet. Isinya adalah pernyataan perang dan ajakan membunuh orang-orang yang terlibat dalam eksekusi ini. Sejumlah nama pejabat besar disebut dalam surat ini, mulai dari Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, juga Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, Jaksa Agung Hendarman Supanji serta seluruh hakim dan jaksa yang terlibat persidangan bom Bali I. Demi mengesankan keseriusan, ditampilkan juga surat dengan tulisan tangan, berbahasa Inggris dan Arab, dan tandatangan ketiga terpidana mati. Soal benar tidaknya surat itu, tak ada yang tahu.

Apa pun bentuknya, teror tetap berlangsung. Kita seolah dibombardir dengan pernyataan martir, kafir, jihad, dan istilah lainnya yang mengesankan heroisme. Padahal apa yang mereka lakukan tak ada heroik-heroiknya. Yang mereka lakukan adalah membunuh orang tak berdosa, menafikan perbedaan dan membenarkan kekerasan. Untuk itu, mereka pantas, layak dan patut dihukum.

Kami memang tak setuju hukuman mati, karena tak ada manusia yang boleh berlaku sebagai Tuhan. Tapi Amrozi, Muklas alias Ali Gufron dan Imam Samudra harus dihukum, seberat-beratnya. Sejatinya, hukuman apa pun tak akan mengembalikan para korban yang meninggal sia-sia. Paling tidak, negara bisa membuktikan kepada korban: hukum masih ada di negeri ini.

[Tajuk KBR68H, 5 November 2008]

Empat Mata Bubar

Hehe, bubar juga ini acara. Bukannya nyukurin, tapi gw emang gak pernah terlalu suka acara ini. Beda dengan Hil yang selalu ngakak kalo nonton Tukul.

Penyebab Empat Mata bubar adalah dua episode. Satu, karena ada adegan orang makan kodok idup. Satu lagi karena menghadirkan Sumanto sebagai nara sumber. Yang kedua, gw nonton. Untuk pertama kalinya dalam sejarah gw nonton Tukul, gw ketawa. Gw menikmati ketakutan Tukul. Gw menikmati jawaban-jawaban aneh dari Sumanto.

Tapi kenikmatan gw ternyata berujung pada bubarnya Empat Mata.

Gapapa deh. Biar tim produksi acara kayak gitu di TV makin kreatif. Bosen model ngelawak kayak gitu.