Saturday, December 20, 2008

Taman Yapto

Sabtu jam 10 pagi, Jakarta lagi mendung. Sempet gerimis, tapi udah lewat. Cuaca nggak cerah, tapi adem-adem asoy gitu. Kebetulan lagi mengarah ke Adorama Menteng, wah cakep juga kali yak kalo mampir Taman Menteng, secara gw dan Senja belum pernah ke sana.

Mobil parkir di gedung parkir Taman Menteng. Dari gedung parkir, sebetulnya ada akses langsung ke Taman Menteng. Tapi ada cowok-cowok berambut cepak dan berbadan tegap berjaga di situ. Kaos mereka warna abu-abu. Tulisan di bagian belakang kaos bikin serem: Guard. Ada secarik kertas ditempel di tembok, ditulis pake tangan. Gw lupa tulisan lengkapnya, yang pasti di situ tertera: HTM Rp 15 ribu.

Lho. HTM? Harga Tiket Masuk?

Gw tanya ke salah satu cowok tegap itu. 'Lho, Mas, jadi gak bisa masuk ke Taman Menteng?'

Dia menjawab pasti,'Bisa, tapi bayar 15 ribu. Lagi ada pertandingan futsal dan 3-on-3'

Ih. Gw langsung ngedumel agak kenceng, berharap supaya si Mas tegap itu mendengar: Taman Menteng kan taman publik, masa bayar.

Gw, Hil dan Senja jalan ke arah Taman Menteng. Baru deh di situ kita menyaksikan betapa Taman Menteng dibentengi triplek-triplek dibentuk seperti pagar. Kayak kalo gedung lagi dibangun gitu, dipagerin triplek. Dicat oranye, bertuliskan Japto S Soerjosoemarno Cup. Ini 'the' Yapto Partai Pelopor dan Pemuda Pancasila kan? Ah no wonder kalo gitu soal cowok berbadan tegap berkaos tulisan 'Guard' itu yak. 

Dari arah depan, akses betul-betul ketutup. Ada booth tiket dari bangunan berdinding gedek. Ada dua jalur pemeriksaan tiket, lagi-lagi dijaga pemuda tegap berkaos abu-abu bertuliskan 'Guard'.

Gw iseng, mendatangi booth jualan tiket. Yang jaga perempuan. 

'Mbak, jadi saya gak bisa masuk ke Taman Menteng ya?'
'Bisa, tapi bayar 15 ribu.'
'Lho, kok gitu? Kenapa saya  mesti bayar padahal saya gak tau ada kegiatan apa. Ngomong-ngomong di dalem situ ada apa sih?'
'Oh, ada futsal dan 3-on-3 Mbak. Nanti juga ada Rastafara'
'Tapi saya gak tertarik sama semua itu. Saya cuma mau ke Taman Menteng. Gak bisa?'
'Bisa, tapi bayar 15 ribu Mbak.'
'Kok gitu? Emang bisa ya Taman Menteng disewa?'
'Bisa.' Kali ini giliran pemuda tegap yang bicara, bukan lagi si Mbak penjaga tiket.

Hm, siwalun. Coba andaikata gw datang dari daerah, jauh-jauh datang demi menikmati Taman Menteng yang tersohor ini, trus mesti gigit jari karena 
acaranya Yapto ini 2 hari, malessss kaaaannn..

Langsung aja gw dorong-dorong Hil untuk laporan pandangan mata buat Green. Ini taman publik gitu lho, masa tega bener bisa disewa-sewa buat kepentingan pribadi gitu. Di mana unsur publiknya? Hil laporan, lantas kira-kira sejam kemudian dia dapat telfon dari Kepala Dinas Pertamanan Jakarta Utara. Kata si Pak 
ini sih, taman kota memang boleh disewa tapi gak boleh menutupi akses publik.

Kalo menetapkan HTM Rp 15 ribu, apa itu bukan namanya menutupi akses publik?

Hm rese. Padahal dulu pas di London, masuk ke Kew Gardens justru gratis pas lagi ada acara Salaam Festival. Mending dong, acaranya nyanyi-nyanyi asik. Nah ini, futsal dan 3-on-3, gak ada asik-asiknya buat gw. 

Yapto... Yapto...

Monday, December 15, 2008

Bekerja di TV

Gw gatau gimana rasanya kerja di TV. Gw juga gatau gimana proses redaksional di stasiun TV.

Ketika gw kuliah dulu, gw pikir kerja di media cetak, radio, TV itu kayak 'naik kelas'. Di mana TV adalah 'kelas' terakhir. Soalnya kan kayaknya semua orang pada pingin kerja di TV, dengan berbagai alasan. Jadi semula gw pikir, kerja di TV adalah sebuah achievement yang sangat tinggi sebagai seorang jurnalis.

Ternyata enggak.

Makin hari gw belajar bahwa cetak-radio-TV ya semata-mata spesifikasi saja. Pilihan, elu mau ada di mana. Setiap media punya karakteristik yang berbeda, dan perlu perlakuan yang berbeda pula. Gw belum pernah kerja di media cetak, tapi gw pernah ada di belakang penerbitan sebuah tabloid. More or less, mungkin sama. Kerja di TV, gak pernah juga, karena gw sebatas magang untuk Pemilu 2004 dulu.

Kerja di radio, ya sekarang ini. Profesi. Kerjaan. Digaji.

Makin hari gw juga belajar bahwa jadi jurnalis radio itu amboy nian. Menulis pendek tapi jelas, adalah sebuah tantangan yang sangat berat. Menyampaikan informasi tanpa berbekal alat bantu apa pun adalah sebuah pekerjaan yang sangat menarik. Memberitahukan sesuatu seperti kita menggambarkan sesuatu kepada orang buta, sungguh rumit. Tapi ini membuat pekerjaan gw, setiap hari, selalu menantang.

Mungkin orang lain pada bosen karena mesti ngerjain yang sama dari waktu ke waktu. Tapi, seperti kata temen gw yang lain, kalo diliat dari bosennya, ya bosen. Tapi kalo dicoba dinikmati, ya nikmat juga. Sejauh ini sih gw belum bosen. Apalagi gw harus selalu bersentuhan dengan tulisan-tulisan panjang yang kadang ahoy, kadang ampun dah. Jadilah gw selalu menemukan tantangan baru.

Bukan hanya secara tulisan, tapi juga dari soal brainstormingnya. Gw seneng ada di kantor gw sekarang. Gw merasa proses brainstormingnya cukup oke. Kadang mandek, biasa lah, namanya juga kehidupan. Tapi I feel like, this is where I belong. Apalagi kerjaan gw sejauh ini menyenangkan. Jadilah gw gembira aja.

Gw jadi inget cerita seorang kawan yang pindah dari sini lalu ke TV. TV komersil, yang hidup dari ke hari di bawah tekanan rating. Hm, I wonder how it feels like. Dia pernah cerita soal rapat redaksi di kantornya. Ketika itu dia mengusulkan liputan tentang pelarangan film Lastri. Kan banyak yang protes karena dianggap membawa nilai komunisme, tapi gak pernah jelas siapa yang sebenernya keberatan. Itu menarik dong. Ya kan? Kan isu komunisme itu penting, isu kebebasan berekspresi itu juga penting, plus ini kegiatan berkesenian. Penting dong.

Tapi enggak menurut sidang redaksi di TV tersebut. Alasannya cuma satu: nggak menjual.

Ide liputan pelarangan film Lastri kemudian kalah dengan ide yang, menurut gw, sungguh sepele dan remeh temeh. Yaitu, duren berformalin.

What?

Iya. Duren berformalin. Ooo ada toh hal semacam itu. Baru tau.

Oke, itu memang pengetahuan baru. Terima kasih. Itu memang salah satu peran media, menginformasikan hal-hal baru.

Tapi penting gitu tau ada duren berformalin? Dibandingkan Lastri?

Hm. Untung gw gak kerja di sana ya. Bisa-bisa orientasi hidup gw berubah, bisa-bisa kepala gw benjol karena sering jedoting kepala ke tembok.