Wednesday, March 04, 2009

Uang Haram

Dalam waktu berdekatan, jurnalis KBR68H menerima uang dari Komisi Pemilihan Umum dan Sekretariat Wakil Presiden. KBR68H diundang untuk ikut liputan ke luar kota bersama dua institusi Negara ini. Begitu pulang, diberi sangu. Uang ditaruh dalam amplop lantas diberikan kepada setiap wartawan yang ikut meliput, termasuk jurnalis KBR68H.

Kebijakan kami di media ini jelas, terang benderang dan tanpa ampun. Kami menolak amplop, suap, uang sogokan atau apa pun namanya, dengan alasan apa pun. Kami punya integritas yang cukup tinggi untuk tidak mau menerima uang dari pihak ketiga. Biarlah yang memberi uang dan gaji adalah media tempat kami bekerja, bukan narasumber sebagai sumber informasi.

Pikiran macam begini rupanya masih hidup di zaman sekarang, ketika usia reformasi sudah lebih satu dasawarsa. Bahwa jurnalis harus diberi uang supaya menulis yang bagus-bagus, bahwa jurnalis bisa dikendalikan lewat fulus. Yang menyedihkan, institusi Negara yang melakukan itu bukan saja di tingkat ecek-ecek tapi juga tingkat tinggi, seperti KPU. KPU mestinya lebih mengalokasikan uang untuk sosialisasi Pemilu, ketimbang menganggarkan uang bagi wartawan. Ketika KBR68H hendak mengembalikan uang pun, ditolak. Alasannya, sudah terlanjur dianggarkan.

Ini yang mesti diubah. Tak ada perlunya menganggarkan dana khusus bagi wartawan karena melakukan liputan. Itu sudah tugasnya. Seperti tukang sapu tugasnya menyapu, seperti Presiden tugasnya memimpin Negara. Semua sesuai porsi dan akan diberi uang imbalan berupa gaji oleh tempatnya bekerja. Bukan oleh pihak ketiga.

Kalau mau memberi fasilitas prima kepada wartawan, bukan uang jawabannya. Membuka akses informasi seluas-luasnya adalah harta tak ternilai bagi pekerjaan jurnalistik. Narasumber bisa dihubungi dan memberikan informasi sesuai kompetensinya. Tak ada pembatasan wilayah atau akses liputan, dengan birokrasi yang tidak ribet. Kemudahan mendapatkan informasi demi kepentingan publik, itu yang terpenting bagi tugas wartawan sebagai pewarta berita.

Tapi harus diakui pula, budaya amplop ada dan nyata di kalangan wartawan Indonesia. Ada permintaan, ada pemberian; begitu juga sebaliknya. Tanpa diminta, kerap kali narasumber, instansi, departemen, perusahaan swasta atau siapa pun memberikan uang kepada wartawan. Kalau kita menghapuskan prasangka, mungkin ini maksudnya sekadar menjaga hubungan baik. Tapi percayalah, ada seribu jalan ke Roma, ada seribu pula jalan untuk menjaga hubungan baik selain uang.

Di KBR68H, sudah ada korban terjungkal akibat amplop dan duit. Kami tidak kenal ampun dan pandang bulu dalam upaya memberantas amplop. Kami pastikan, uang yang sempat mampir pasti dikembalikan.

Maaf, kami tidak terima amplop.


[Tajuk KBR68H, 4 Maret 2009]