Tuesday, July 31, 2012

Mencongkel Ingatan




Sejak film itu pertama kali dirilis, Luna sudah jatuh cinta pada isi ceritanya. Judulnya "Eternal Sunshine of the Spotless Mind". 

Dan sekarang, Luna begitu ingin melakoni apa yang ada di dalam film itu. Ia ingin mencongkel ingatan-ingatan buruk yang ada di kepalanya. 

Padahal ini bertentangan dengan apa yang dia percaya selama ini. Bahwa seseorang terdiri dari rangkaian ingatan-ingatan, baik-buruk, besar-kecil, yang membentuk seseorang jadi dirinya seperti sekarang. Utuh, penuh, seluruh. Tak ada yang bisa menghapus ingatan atau kenangan, bahkan yang terburuk sekali pun, karena itulah yang menjadikannya seseorang seperti saat ini. 

Tapi Luna tak ingin percaya itu. Dia merasa apa yang selama ini dipercaya, runtuh. Seketika. Sekarang ia berusaha keras mencongkel ingatan buruk supaya ia bisa melanjutkan hidupnya kembali. Betapa rindu ia bisa hidup normal. Tak didera perasaan gelisah, penuh curiga, penuh selidik, sekaligus lemas karena merasa tak dicintai.

Betul. Merasa tak dicintai. Ini adalah problem terberat Luna seumur hidupnya di bilangan 34 ini. Sejak masa pacaran dulu, dengan pacar nomor berapa pun, merasa tidak dicintai adalah momok. Itu bisa membuat Luna berang, lantas terisak, tapi kemudian meradang, lemas menanti bantuan, tapi kemudian menyergah. Dengan pacar keempatnya, dia putus lantaran soal ini. Luna merasa tidak dicintai dan tidak dibutuhkan, sementara dia sudah mati-matian mencintai dan menunjukkan kebutuhan dia akan si pacar nomor 4. 

Dan ini juga yang sedang menyerang Luna. Dia merasa tidak dicintai oleh suaminya. Suaminya yang dua bulan lalu mengaku telah selingkuh. Dan itu semua terjadi ketika Lina justru tengah merasa sangat tenang dan sangat nyaman dengan perkawinannya. Mereka punya rumah sendiri. Dikaruniai satu anak. Sama-sama bekerja di bidang yang sangat mereka sukai. Jarak dari kantor ke rumah memang jauh, seperti layaknya keluarga-keluarga urban lainnya. Tapi Lina merasa bahagia. Dia merasa utuh, penuh, seluruh.

Tapi di saat itu juga suaminya selingkuh. Selama 30 hari pertama, Luna tak henti mengutuki diri sendiri. Dia sibuk bertanya apa yang salah? Apakah karena dia membawa pekerjaan ke rumah? Apakah karena mereka jarang pergi berdua lagi? Apakah karena sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing? Atau karena sudah sejak lama Luna dan Bima hanya berbincang urusan domestik dan anak?

Ketika Bima menjawab tidak atas semua pertanyaan itu, Luna limbung. Dia tidak tahu apa yang bisa jadi pegangannya. Jika tidak ada yang salah dengan dirinya dan perkawinannya selama ini, kenapa Bima selingkuh? Ini pertanyaan yang tak kunjung terjawab, bahkan setelah lewat 30 hari. Dan Luna terus berhitung, sejak hari pertama. Bima terus menjawab 'tidak tahu' dan mencoba meyakinkan kalau masalahnya bukan ada pada Luna. 

'Lantas apa?' jerit Luna. Dia tak sanggup lagi berpikir. Dia ambil laptop Bima dan menelusuri satu per satu puluhan folder yang ada di laptop suaminya. Dia buka semua file, semua foto, dan semua apa pun yang mungkin berhubungan dengan orang itu. Sejak hari ke-10, Luna memutuskan untuk tidak lagi menyebut nama perempuan itu, dan hanya menyebutnya dengan 'orang itu'. Luna bahkan mengisi kolom "Search" di laptop dan mengetik nama 'orang itu' sekadar untuk mengecek.

Dan Luna puas dengan perolehan dia hari ini: semua foto yang ada wajah 'orang itu' sudah dihapus. Recycle bin pun dikosongkan. Rapi, tak ada jejak, tak ada sisa. Lantas dia menelusuri satu per satu folder musik, masih dalam laptop Bima. Dengan semangat yang sama membara, Luna menyisir seluruh lagu. Dia masih ingat  persis apa yang dilihatnya dalam email antara Bima, suaminya, dengan 'orang itu' - teman sekantornya, juga teman sekantor Luna. Mereka bertukar-tukaran lagu - layaknya anak SMP yang dilanda cinta. Dan Luna menghapus semua lagu dari folder yang ada dalam pertukaran email suaminya dan 'orang itu'. 

Luna menutup laptop Bima. Ia merasa sangat letih. Tapi paling tidak dia sudah mencongkel ingatan-ingatan buruk itu secara manual. 

Besok, dia akan menyisir smartphone Bima. Mencari jejak 'orang itu' di sana dan mencongkelnya secara paksa. Paling tidak ini lebih nyata ketimbang jawaban 'tak tahu' dari suaminya. 

Membunuh Sepi




Sore itu Marni kesepian. Dia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Menonton TV, bosan. Mendengarkan radio, malas. Dia sedang ingin sendiri. Dan meresapi kesepian yang membekapnya. Tapi ia bisa gila kalau tak melakukan apa-apa. Lantas ia mendekat ke lemari buku dan mulai merapikan buku-buku yang ada. Satu per satu buku diambil, lalu dilapnya dengan lap kering. Satu per satu. 

Sampai ia mengambil selembar amplop. Tertera di depannya: PT KAI. Marni semula enggan membuka amplop itu, tapi ia tahu ia tak kuasa menahan tangannya sendiri. Di dalamnya ada tiket kereta api. Sudah terpakai. Tanggalnya adalah 31 Maret 2012. Belum lama. Paling baru dua bulan silam. Ketika itu Marni pergi ke Bandung bersama Miskun, suaminya, dan Mantra, anak mereka. Merayakan ulang tahun Miskun dan ulang tahun perkawinan mereka yang kelima. 


Tapi melihat tiket itu membuat Marni teringat satu kalimat muram. Satu kalimat yang diucapkan Miskun malam itu. Kamar mereka gelap. Mantra sudah tidur lelap dari tadi. Tapi malam mendadak jadi neraka ketika kalimat itu terucap. Miskun tercekat sebelum bicara: "I cheated on you." Dan Miskun mencium perempuan jahanam itu tepat sehari sebelum kepergian mereka ke Bandung. Dan setelahnya mencium perempuan jahanam itu berkali-kali lagi. 


Marni mendadak tersengal. Susah payah ia menaruh amplop itu lagi. Marni ingin membuangnya jauh-jauh. Tapi sejauh apa pun ia membuang tiket dan amplop itu, ingatan itu sudah terpatri dalam kepala. Kalau ada operasi otak yang bisa mencongkel memori-memori buruk yang sudah dipilih dengan saksama, Marni bersedia mengantri. Sepanjang apa pun itu antrian, Marni mau. Dia tak sanggup lagi hidup dengan kelebatan-kelebatan ingatan buruk yang datang dan pergi tanpa permisi. Saat Marni hendak tidur. Saat Marni hendak mandi. Saat Marni hendak ke kantor. Saat Marni tengah masak di dapur. Saat apa pun. 


Sore itu sebetulnya Marni sedang tak ingin terluka, lagi. Dia hanya merasa kesepian, juga tersesat. Tapi mengambil amplop tiket kereta itu sungguh sebuah langkah yang maha salah. Sudah 30 hari ini Marni bersusah payah menata hidupnya lagi pasca kalimat laksana bom nuklir yang diucapkan Miskun, suaminya, tengah malam itu. Tengah malam yang mengubah keseluruhan hidup Marni. Juga Miskun.


***


Sore itu Miskun kesepian. Lagi-lagi Marni harus pergi ke luar kota. Miskun mengklaim dirinya sebagai suami yang pengertian dan mendorong istrinya mencapai bintang setinggi langit ketujuh. Kalau perlu, kedelapan. Tapi Miskun tak bisa menampik kesepian itu. Kesepian karena istrinya lagi-lagi mesti pergi. Dia tahu dia tak boleh mengungkapkan keberatan itu. Sekali bicara, maka istrinya bisa-bisa tidak akan berani lagi mencapai cita-citanya. Dan dia tidak sanggup mesti bertanggung jawab atas itu. 


Tapi dia kesepian. Dan kesepian, bagi Miskun, justru membuka pintu perandai-andaian. Perempuan berbibir tipis yang duduk di seberang mejanya mendadak jadi pengobat kesepian. Padahal bukan perempuan berbibir tipis itu yang membuatnya merasa kesepian. Miskun tak berani mengaku kesepian pada istrinya. Dia tak  mau istrinya merasa bersalah. 


Si perempuan berbibir tipis itu juga mendadak sering cerita padanya. Tentang keluarganya. Tentang laki-laki yang dijodohkan padanya. Tentang bapaknya yang baru meninggal. Tentang kucing-kucingnya. Tentang hal remeh temeh yang terjadi dalam hidupnya. Kadang Miskun tak berbincang apa pun dengan si perempuan berbibir tipis itu. Hanya berdua saja menemani Miskun yang sedang menghabiskan bekal makan siang yang dimasakkan Marni tadi pagi. 


Di rumah, Miskun tetap kesepian. Marni tengah begitu gempita menyiapkan kepergiannya. Miskun tak mau meredupkan semangat istrinya. Miskun percaya, dialah si suami yang suportif, yang mendukung istrinya pergi ke langit ketujuh. Kedelapan kalau perlu. Karenanya dia tak bisa bilang kalau dia kesepian. Meski dia betul-betul kesepian. 


Miskun lantas mengajak Marni bercinta. Mereka bergumul malam itu. Marni tampak cantik malam itu. Tapi hati Miskun tetap tergantung entah ke mana, dan pikirannya entah ada di mana. Besoknya, Marni terbang. 


***


Sore itu Avi kesepian. Dia bosan dengan hidupnya yang begitu-begitu saja. Orangtunya sudah tak ada, tak ada lagi yang diajak berbincang. Di rumah, ia tinggal bersama adiknya, yang juga sibuk. Sebetulnya ada sepupunya yang cukup akrab dan kebetulan sekantor dengannya. Tapi ia tak suka pacar si sepupu dan memilih untuk berhenti berbincang dengan keduanya. Hidup Avi hanya kantor dan rumah, juga kucing-kucing jalanan yang dipeliharanya. 


Kakak adiknya melulu mencoba menjodohkannya dengan laki-laki. Entah sudah berapa laki-laki yang disodorkan padanya. Begitu juga sahabat perempuannya di kantor, berkali-kali mencoba mengenalkannya pada laki-laki. Dia pernah satu dua kali mencoba tapi sesudah itu malas. Avi memilih memendam diri pada pekerjaan kantor - dari bosnya yang sedang sibuk ikut kampanye politik. Ini sebetulnya bukan pekerjaan dia, tapi ya sudah, daripada dia kesepian, lebih baik dikerjakan saja. 


Avi bosan dengan hidupnya yang begitu-begitu saja. Hidup lurus tanpa belokan. Tapi ia terlalu malas untuk berbelok. Untuk melakukan hal-hal berbeda. Hidupnya stagnan saja. Lantas tiba-tiba Miskun mendatangi mejanya. Menatapnya lekat-lekat sembari berkata: "aku cinta padamu". Avi kaget bukan kepalang. Tak pernah sedikit pun ia mengira Miskun bakal melakukan itu semua. Miskun sudah punya istri. Dan Marni adalah sahabat dari sahabat perempuannya di kantor. Ketika Marni pergi ke luar kota bulan lalu, Marni memberi Avi sebentuk gantungan kunci. 


Tapi kata-kata Miskun membuat dia tak bisa berkedip. Ketika Miskun memanggilnya masuk ke ruang kerjanya, Avi tak menolak. Dia seperti terhipnotis kata-kata Miskun yang manis, dan tak diduga-duga datangnya. Selama ini dia hanya tahu Miskun suka kucing, itu saja. Dan Miskun pandai bergurau dan main ukulele. Tapi tanpa disadari, Avi sudah ada di ruangan Miskin. Dan Miskun menciumnya. Dan Avi membalasnya. Begitu juga keesokan harinya. Dan esoknya lagi. Dan esoknya lagi. Dan esoknya lagi, setelah Marni terbang ke luar kota. 


Sejak itu Avi tidak merasa kesepian lagi. Dia merasa punya teman bercerita. Sejak itu ia banyak tersenyum. Lantas bercerita tentang apa saja pada Miskun. Meski lebih sering tak punya bahan cerita dan berdiam-diaman saja. Avi tak ingin kehilangan perhatian Miskun. "Apakah Marni akan sakit jika tahu?" begitu tanya Avi. Tentu dia tahu jawabannya dengan persis. Karena Avi juga perempuan. Tapi Avi tidak ingin kehilangan perhatian Miskun. 



Lantas dia berkata,"Kalau kau bilang Marni, aku pergi."

***


Marni dan Miskun berpegangan tangan di depan penasihat perkawinan. Orang asing yang mereka mintai bantuan untuk memperbaiki kehidupan perkawinan mereka. Lebih tepatnya, ini keputusan Marni. Miskun tak mau. Ia merasa aneh melibatkan orang yang tak tahu menahu soal mereka sebagai solusi. Tapi Marni berkeras. Dia menangis ketika meminta Miskun ikut bersamanya - dan ia tak tega. Miskun masih cinta Marni - cintanya tak pernah hilang, sebetulnya. Hanya entah apa yang menyangkut di pikirannya ketika mendatangi Avi, menciumnya sekali, dua kali, tiga kali, empat kali dan entah berapa kali dalam satu setengah bulan terakhir ini. 


Marni melepaskan pegangan ketika ia sampai di cerita ini: bahwa ia tak tahan ketika melihat Miskun suaminya berkata di hadapannya kalau dia cinta pada Avi - yang saat itu ada di hadapan Marni. Runtuh semua sudah dunia yang selama ini dibangun Marni. Dunia jambon perkawinan yang selalu dipercayanya. Bahwa menikah adalah pencapaian terbesar dalam hubungan antara dua manusia - dan setelahnya usah lagi kau lara sendiri, usah lagi kau risau merasa tak dibutuhkan. 


Penasihat perkawinan itu menaruh pensilnya sejenak. Lantas menatap Miskun seraya berkata,"Bapak harus memilih." Miskun tercekat. Mendadak ia tak tahu apa yang harus dia pilih. Apakah harus memilih cinta yang meledak-ledak yang dirasakannya ketika bersama Avi atau memilih Marni, istrinya, ibu dari anaknya, sebagai pilihan paling rasional yang harusnya segera diucapkan. Lidahnya kelu. Mukanya pias. Tangannya dingin. Jantungnya berdegup lima kali lebih cepat. 


Dan Marni memandangnya lekat-lekat. Tak percaya pandangan matanya, bahwa pertanyaan begitu sederhana rupanya begitu sulit untuk dijawab suaminya. Dia tak tahu mana yang harus disiapkannya lebih dulu. Menyampaikan kalau ibu-bapak tak bisa lagi bersatu untuk Mantra, anak mereka yang baru berusia 4 tahun, atau menata lagi kehidupan perkawinan mereka. Entah dengan apalagi yang masih tersisa. 


Marni kesepian dan terluka. Miskun kesepian dan terluka. Dan Avi, tak ada yang memikirkan ketika dia terluka. Itu ganjaran yang harus ditanggung Avi seumur hidup. Akibat menyambut cinta Miskun yang sudah beristri dan berkhianat terhadap pertemanannya dengan Marni. Avi kesepian, dan tidak ada yang peduli. Karena itu adalah ganjaran bagi perempuan ketiga. Perempuan jahanam yang berbibir tipis itu. 


Miskun tercekat, Emak benar selama ini. Kesepian itu temannya setan. Dan tak ada setan yang tak menawarkan keasikan. Meski dia tahu persis keasikan itu hanya sesaat saja sifatnya. Meski untuk itu dia harus didera kesakitan hampir setiap pagi ketika bangun pagi dengan Marni di sisinya, karena dia tahu siangnya dia pasti berkeinginan untuk mencium Avi. Dia tahu itu salah, tapi kenikmatan itu rasanya tak ingin disudahi. 


Marni tercekat. Di rak buku ini ada silet berkarat. Dia ingin melesap dengan kesepiannya. Untuk kali ini, dia tidak ingin menjadi orang yang mudah menyerah. Dia sungguh-sungguh ingin menyerah karena bayangan hidupnya runtuh sama sekali. Dia ingin melesap dengan kesepiannya.