Tuesday, May 04, 2004

Ketika Sekolah Jadi Sengketa

Coba jawab pertanyaan ini. Kalau Anda punya anak yang saat ini bersekolah di SLTP 56 Melawai, apa yang akan Anda lakukan? Bertahan atau pindah ke sekolah lain?

Saya bertanya pada lima teman saya. Empat dari mereka menjawab cepat : pindah sekolah. Saya sendiri tidak tahu persis, apa yang akan saya lakukan kalau anak saya sekolah di SLTP 56 Melawai.



Pindah sekolah tampaknya menjadi pilihan praktis yang relatif aman. Sebab ancamannya sudah jelas. Siswa tidak akan menerima Nomor Induk Siswa dan tidak menerima rapor. Kalau tidak mendapat NIS, sama saja memberi cap baru pada anak kita : siswa liar. Sementara kalau tak dapat rapor, tak bisa dibayangkan bagaimana kelanjutan nasib pendidikan anak-anak itu. Apalagi mereka baru kelas satu SLTP. Masih ada dua jenjang lagi di SLTP, lalu tiga tahun berikutnya dihabiskan di SLTA. Belum lagi kalau sampai lanjut ke universitas. Tapi kalau dari kelas satu saja sudah tidak mendapat rapor, apalagi pengakuan, bagaimana mereka bisa bertahan?

Pilihan-pilihan ‘praktis’ itu tentunya tak salah. Itu juga bukannya dibuat tanpa perhitungan. Pendidikan adalah satu hal yang teramat menentukan masa depan seseorang. Minimal, dengan pendidikan yang lebih baik, pilihan-pilihan lebih terbuka untuk merentang masa depan. Anak-anak yang terperangkap dalam sengketa sekolah mereka dengan PT Tata Disantara, perusahaan milik pengusaha Pasaraya Abdul Latif, masih teramat cilik. Mereka baru kelas satu SLTP. Masih sangat jauh perjalanan pendidikan mereka. Wajar saja kalau orang tua lantas tak mau ambil resiko dengan ‘membahayakan’ pendidikan anak mereka.

Jalan cerita ini pula yang dikembangkan Pemerintah Jakarta. “Orang tua jangan mengorbankan anak-anak mereka dengan bertahan di SLTP 56 Melawai,” begitu Gubernur Sutiyoso pernah berucap. Tak ada yang terlalu salah dengan pernyataan SUtiyoso. Yang salah adalah bagaimana pemerintah mendudukkan persoalan SLTP 56 Melawai versus PT Tata Disantara ini.

Sengketa sekolah ini bermula di tahun 2000 silam. Ketika kontrak dibuat antara Departemen Pendidikan Nasional dengan PT Tata Disantara, dengan nilai kontrak di atas 2,5 milyar rupiah untuk masa itu. Abdul Latif langsung menyediakan dua tanah miliknya, di Jeruk Purut dan Bintaro sebagai pengganti lahan di Melawai. Kelihatanya cukup adil. Tapi nanti dulu.

Kejanggala demi kejanggalan terlihat dalam surat kontrak tersebut. Sebut saja dari harga tanahnya. Tanah di Melawai sangat ‘seksi’ dari segi bisnis. Bisa dibayangkan keuntungan yang bisa dikeruk kalau membuat usaha di daerah belanja yang ramai seperti Melawai. Dengan ‘keseksian’ yang ditawarkan, harganya juga tentu tak murah. Data dari Dirjen Pajak menyebutkan, tanah di daerah itu tahun 2000 saja sudah mencapai 9,5 juta rupiah per meter persegi. Anehnya, dalam kontrak tukar guling itu hanya tertera angka 5 juta rupiah per meter persegi. Ke mana sisa 4,5 juta rupiah lainnya?

Tidak hanya itu saja. Kontrak tukar guling dengan nominal di atas 100 juta rupiah harusnya diteken langsung oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Asisten Kesejahteraan Masyarakat Jakarta Rohana Manggala juga memastikan, meski tak rinci, bahwa tak ada yang salah dengan perjanjian tukar guling itu. Tapi pengacara SLTP 56 Melawai Lambok Gultom membantah,”Mana Kepresnya? Yang ada hanya Surat Keputusan Menteri saja.”

Enough about the business deal. Abdul Latif hanyalah seorang pengusaha, yang tentu saja berpikir dengan sudut pandang keuntungan belaka. Ada persoalan yang lebih besar daripada ‘sekedar’ kontrak tukar guling yang mungkin ngawur.

Hari Minggu tanggal 18 April lalu, pukul 4 dini hari, puluhan aparat Dinas Ketentraman dan Ketertiban Jakarta ‘menyerbu’ gedung SLTP 56 Melawai. Orang tua murid yang berjaga 24 jam di gedung sekolah itu keruan panik dan lari mencari bala bantuan. Tapi begitu mereka kembali, petugas berseragam biru-biru sudah bertengger di dalam gedung sekolah. Pagar dirantai, lengkap dengan dua gembok besar. Papan putih segera didirikan. “Tanah dan Bangunan ini Milik Negara. Dilarang Masuk.”

Ada apa ini? Kenapa harus ada ‘pendudukan’ segala? Kalau pun Pemerintah Jakarta berusaha ‘mengamankan aset mereka’ – seperti yang selalu mereka ucapkan – kenapa harus hari Minggu? Kenapa harus dini hari? Kenapa harus melibatkan aparat Dinas Ketentraman dan Ketertiban, aparat yang erat dengan razia pedagang serta penggusuran? Kenapa negara harus melakukan kekerasan terhadap siswa didiknya sendiri?

Banyak contoh lain kekerasan yang dilakukan negara terhadap civitas akademika SLTP 56 Melawai. Listrik dimatikan hingga air pun otomatis ikut mati, bangku dan meja sekolah diangkut ke gedung baru SLTP 56 di Jeruk Purut. Tenggat waktu terus diberikan kepada siswa dan guru SLTP 56 Melawai untuk segera hengkang dari sekolah mereka sendiri. Gaji untuk Nurlaila, satu-satunya guru memilih untuk bertahan, dicekal sejak bulan Desember tahun lalu. Dinas Pendidikan Dasar Jakarta tak berperan sebagai ‘pahlawan’ di sini, karena mereka justru mengirimkan surat peringatan kepada para orang tua murid. Belum lagi ancaman lewat telfon atau didatangi lurah setempat, yang semuanya membawa satu pesan tegas : pindah atau dianggap liar. Dinas Pendidikan Dasar Jakarta juga sudah melaporkan Nurlaila ke polisi karena dianggap melakukan kegiatan belajar mengajar tanpa ijin.

Apalagi itu kalau bukan kekerasan negara terhadap warganya?

Nurlaila, ibu tiga anak yang sudah mengabdi selama nyaris 10 tahun di SLTP 56 Melawai, tak habis mengerti. “SLTP 56 itu kan sekolah. Kenapa harus ditukar dengan usaha bisnis? Pak Latif memang bilang, tanah ini nanti untuk institut bisnis. Tapi itu kan pasti buat masyarakat menengah ke atas. Bagaimana dengan masyarakat menengah ke bawah?”

Janji langsung diumbar Sutiyoso. “Siswa SLTP 56 Melawai bisa pindah ke SLTP 12, letaknya dekat dan juga termasuk sekolah favorit. Atau bisa juga pindah ke SLTP lain di seluruh Jakarta. Saya janjikan, gratis.”

Janji manis itu ternyata hanya di mulut. Aditya Putri, gadis kecil yang duduk di kelas SLTP 56 Melawai, menceritakan kenyataan yang berbeda. “Aku tadinya juga mau pindah ke sekolah lain. Tapi ibuku disuruh bayar. Mahal.” Atau pengalaman teman-temannya yang akhirnya jadi pindah ke SLTP 12, seperti sudah dijanjikan Sutiyoso. Cibiran dan ejekan ternyata datang menyapa mereka, tak hanya dari teman sebaya, tapi juga dari para guru. “Temen-temenku dibilangin gini ‘Kasian deh lo, sekolahnya di-ruislag ya?’ atau ada yang dimusuhin temannya karena kita sekolahnya gratis…”

Memori banding sudah dilayangkan ke Pengadilan Tinggi Jakarta sejak akhir April lalu. Seharusnya dengan begitu, tak ada satu pun yang bisa melakukan apa pun terhadap SLTP 56 Melawai. Semua harus kembali netral, sampai ada putusan hukum tetap sebagai jawaban atas banding.

Perjalanan masih sangat panjang. Tapi Aditya dan 50-an siswa lainnya sudah terlanjur tidak mendapat rapor, apalagi Nomor Induk Siswa. Juga ada Nurlaila yang terancam hukuman 10 tahun penjara atau denda 1 milyar rupiah, sesuai laporan yang diterima polisi karena Nurlaila dianggap melanggar Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional.

Aditya punya satu puisi untuk Sutiyoso.

Aku bukan siapa-siapa
Aku adalah seorang anak manusia di antara ribuan anak bangsa
yang ingin mendapatkan hak-hak atas pendidikan
Inikah sekolahku?
Inikah Jakartaku?


(Mei 2004)

dok: liputan6