Saturday, August 12, 2006

Reality TV: Terharukah Anda?



Seorang teman menyampaikan kepada saya bagaimana reaksinya menonton salah satu program reality show amal di televisi.

Citra, kmrn malem gw nangis liat satu reality show, judulnya “Rejeki Nomplok”. Itu sekali2nya gw nangis krn acara tv di republik kampret ini. Jd ceritanya, si Peggy Melati Sukma kasih modal sebuah keluarga miskin buat jualan nasi (buka warung makan). Keluarga itu punya 2 anak: perempuan kelas 5 SD dan laki2 masih balita (yg tampak kurang gizi). Yg bikin gw nangis adalah ketika gw menatap mata anak perempuan itu..hiks..kesiyan banget klo anak sepinter dan senurut dia yg punya semangat tinggi hrs putus sekolah. Trus, jadinya anak itu dibiayai sekolahnya plus dikasih alat2 sekolah. Gw setuju dgn si Peggy yg kasih modal keluarga itu, krn insya Allah mereka jd empowered, self-reliant. Namun..hmmm..emang siy, sprt halnya reality show sejenis, ada bumbu tangis, wajah2 memelas & prihatin yg dijual..tapi ya gmn? tapi, tapi..apa ini berarti gw termakan reality show sejenis itu?
[diambil dari milis, nama disembunyikan, tulisan diedit seperlunya]

Apa Anda termasuk yang terharu kalau menonton program reality show di televisi? Mari kita persempit sedikit cakupannya: reality show amal. Apakah Anda terharu? Saya kok enggak ya.

Kenapa orang suka reality show macam begini? Kenapa pas Spontan, orang bisa kesel kalau dikerjainnya keterlaluan, lalu pas Harap-harap Cemas orang juga bisa kesel karena itu seperti menjajah wilayah pribadi seseorang? Bukankah Uang Kaget juga ngerjain seseorang dengan meminta orang tersebut menghabiskan uang 10 juta rupiah dalam waktu setengah jam? Bukankah Lunas juga menjajah wilayah pribadi seseorang dengan main masuk ke rumah orang dan meminta orang tersebut menjual barang-barang dalam rumahnya? Bukankah Bedah Rumah merenovasi rumah seseorang tanpa menkonsultasikannya pada pemilik rumah?

Kenapa kita menghujat reality show lain dan memuja reality show amal? Apa karena ada kata 'amal' di situ, lantas semuanya jadi baik-baik saja?

Seorang teman berkata, dia suka acara reality show amal karena yang dibantu adalah orang yang membutuhkan. Mereka yang dihadirkan dalam reality show amal melulu orang miskin, bagaimanapun 'miskin' itu didefinisikan. Banyak dari target (atau korban?) reality show amal ini punya rumah, entah itu ngontrak atau punya sendiri. Lho, kok itu miskin? Bukankah masih banyak orang yang tinggal di kolong jembatan? Banyak juga target reality show amal yang masih bisa jual televisi. Jadi, gimana 'orang miskin' itu didefinisikan? Siapa yang mendefinisikan 'orang miskin'?

Dalam kasus reality show amal ini, maka yang mendefinisikan 'miskin' adalah si pemilik program. Taruhlah produk-produk macam Uang Kaget, Lunas, Bedah Rumah dan sebagainya, maka yang mendefinisikan 'orang miskin' adalah Triwarsana selaku produser. Definisi 'miskin'-nya sendiri tak saklek betul. Kalau mau saklek, mungkin Triwarsana sebaiknya cari data angka penduduk miskin keluaran pemerintah (meskipun kesahihannya juga perlu dipertanyakan).

Tapi, oh tunggu dulu. Miskin, memang satu faktor penting. Tapi faktor yang menentukan seseorang masuk di reality show amal atau tidak adalah profil si target. Tak sembarang orang miskin boleh masuk jadi target reality show amal. Dia miskin, tapi juga mesti punya profil positif di antara tetangga-tetangganya. Yang berhak mendapat uang dari acara Pulang Kampung, jelas bukan pengangguran yang ingin pulang kampung, tapi dia yang dianggap 'kurang beruntung' merantau di Jakarta. Narasi awal di Lunas pun jelas-jelas disebut, bahwa Lunas akan melunasi utang dia yang memiliki utang karena musibah, bukan karena dia main togel. Rumah Pak Soegito batal diperbaiki Bedah Rumah karena anak perempuan Pak Soegito sakit jiwa. Sakit jiwa si anak dianggap menodai profil Pak Soegito. Batallah itu rumah Pak Soegito direnovasi bak sulap bukan sihir.

Oke, sekarang kita punya si target. X dari Kampung Y, miskin tapi pekerja keras. Lalu tanpa angin tanpa hujan, datanglah segerombolan kru berkamera datang ke kediaman X. Suherman (Uang Kaget) berwajah sangat sangat kaget ketika didatangi Mr EM yang berkostum aneh untuk ukuran Jakarta. Mimin (Uang Kaget) mengernyitkan dahi sambil berdiri agak menjauh ketika Mr EM bertanya, "Bu Mimin kenal saya?" Sumanah (Lunas) bermuka masam ketika dua perempuan penagih hutang tiba-tiba meminta dia menjual jam dinding yang menempel di dinding rumahnya, hanya 40 hari setelah suaminya meninggal yang tak cuma menyisakan duka, tapi juga hutang di rumah sakit.

Apakah mereka diberi ruang untuk menyergah balik para kru berkamera? Apakah Sumanah diberi kesempatan untuk menginterogasi balik para penagih hutang yang hanya mengidentifikasi diri mereka sebagai "petugas dari kantor" semata? Suherman ketakutan karena mengira dia bakal diusir dan tak boleh lagi memperbaiki kompor di sana. Istrinya berwajah cemas dan berurai air mata ketika pertama kali bertemu dengan Mr EM.

Mungkin belum saatnya kita mengurai rasa haru. Nanti dulu. Air mata belum diperas, hati masih belum diiris-iris.

Lalu sampailah kita di sajian utama reality show amal. Kita, penonton, dibuat begitu tekun mengikuti apa yang akan dilakukan X dengan uang sebanyak itu. Mungkin kita pun ikut berseru di depan layar televisi, "Beli emas saja!" Mungkin kita ikut degdegan melihat Y yang terpingsan-pingsan karena harus terburu-buru membelanjakan uang 10 juta rupiah. Atau penasaran melihat isi rumah Z dan menerka barang apa yang sekiranya layak dijual. Perasaan penonton akan terus diombang-ambil selama 15 menit terakhir, yang penuh adegan mengharukan dan berurai air mata. Belum lagi di penghujung program, di mana bertaburan adegan cium tangan, isak tangis dan memeluk Mr EM, Peggy Melati Sukma, Mbak Lunas dan teman-teman pemandu acara lainnya.

Apakah di sini kita sudah boleh terharu? Saya lebih merasa sakit hati, ketimbang terharu.

Saya justru merasa mereka tengah 'dihukum' atas kondisi mereka. Mereka miskin, maka kita boleh menonton mereka. Mereka miskin, maka kita boleh mengintip isi rumah mereka. Mereka miskin, maka mereka boleh diminta (dan tak diberi kesempatan untuk menolak) melakukan apa saja atas nama amal. Mereka miskin dan menjadi tontonan karena mereka miskin.

Ketika Triwarsana 'berdalih' bahwa acara seperti ini dimaksudkan untuk menggugah empati penonton, maka saya ingin bertanya kembali. Empati apa? Empati untuk menolong? Atau empati untuk menonton mereka yang terengah-engah mengejar amal? Apa perasaan seperti itu layak disebut empati? Kalau memang empati untuk menolong yang ingin digarisbawahi produser, apa bentuknya? Saya sungguh tidak merasa sisi empati saya diketuk ketika saya menonton ini. Kalau ada yang merasa berempati, bolehlah saya diberitahu bagaimana rasanya itu.

Simsalabim! Semua berubah tanpa kendali orang tersebut. Seperti memain-mainkan pisang di hadapan monyet, yang sudah tentu bakal dikejar. Apa itu bisa disebut pemberdayaan? Pemberdayaan macam apa yang diberikan reality show? Bagi saya, target reality show itu dipermainkan dengan uang. Dan itu sungguh bukan pemberdayaan.

Ah saya bukannya menampik bahwa ada juga reality show memberi kail, bukan ikan. Saya senang Sekolah Gratis tak memberikan uang kontan, tapi memberikannya dalam bentuk tabungan. Saya senang Rejeki Nomplok memberikan modal untuk membuka warung. Tapi jangan lupa juga, Uang Kaget adalah reality show amal yang bertahan paling lama di televisi, dari akhir tahun 2004 sampai sekarang, pun meraih Panasonic Award 2005. Dengan konsep 'mengejar uang gampangan', acara inilah yang meraup rating dan audience share paling besar [mari kita asumsikan kita bisa percaya pada rating AC Nielsen].

Dan itulah yang kita saksikan dalam waktu 30 menit.

Louis Althusser menyebut,"Ideology 'acts' or 'functions' in such a way that it 'recruits' subjects among the individuals (it recruits them all), or 'transforms' the individuals into subjects (it transforms them all) by that very precise operation which I have called interpellation or hailing, and which can be imagined along the lines of the most commonplace everyday police (or other) hailing: 'Hey, you there!'" (1971: 160)

Kalau kita ibaratkan program reality show amal itu adalah si orang yang memanggil, siapa yang dipanggil oleh program macam ini? Who is being interpellated by these programmes?

Triwarsana menyebut bahwa target acara ini adalah laki-laki dan perempuan, dari rentang umur berapa pun, status sosial ekonomi mana pun. Target 'keluarga' memang target paling mudah bagi program televisi, demi menjamin raupan penonton yang cukup lumayan. Tapi apa iya, semua orang 'dipanggil' untuk menonton acara tersebut?

Helmy Yahya, dalam balutan kostum Mr EM, kerap bertanya kepada calon target, "Bapak/Ibu kenal saya?" Dalam beberapa program yang saya tonton, calon target selalu mengaku tak kenal. Mimin sempat menonton Uang Kaget beberapa kali, tapi ia tidak mengira bahwa laki-laki berjas hitam, bertopi tinggi, berjanggut-kumis palsu dan berkacamata hitam adalah si Mr EM dari Uang Kaget. Kalau kita anggap Mimin adalah bagian dari target 'keluarga' yang disasar oleh Triwarsana, maka mungkin harusnya Mimin kenal Mr EM. Tapi toh tidak begitu kejadiannya.

Saya duga, yang sebenarnya disasar oleh Triwarsana, atau produser program reality show mana pun, adalah middle class. Kelas menengah. Mereka yang tidak semiskin si target yang tengah ditolong. Mereka yang merasa bahwa memberikan uang, amal atau apa pun adalah hal yang bakal membuat dunia 'si miskin' berubah. Mereka yang memberikan 'imbalan' kepada mereka yang miskin dan berkelakuan positif. Ah, Helmy Yahya pun pernah berkata, "Golongan bawah, teruslah bermimpi."

Maaf kalau saya semena-mena. Saya merasa program reality show amal tak ubahnya acara kunjungan Soeharto (dulu) ke desa-desa. Bertemu dengan penduduk di desa setempat, berbincang sedikit dan tak berarti, lalu memberikan bantuan. Penduduk sumringah, Soeharto bahagia, TVRI pun menayangkannya ke penjuru negeri. Penonton bahagia, karena melihat penduduk tersebut 'ditolong'.

Ah, feodal betul rasanya. Unsur feodal dalam program reality show buat saya jelas-jelas dipertunjukkan di penghujung program. Ketika Mr EM dengan tenang mengajukan tangannya untuk dicium oleh si target yang sudah membeli barang anu itu. Ketika pemandu acara bertangis-tangisan dengan si target; dengan si pemandu acara yang 'didandani' dan si target yang sekadarnya.

Perbedaan kelas seolah dirawat betul di sini. Kau yang miskin, berbaju jelek lah, nanti ditolong. Tapi kau mesti berkelakuan baik, kalau tak baik maka tak akan ditolong. Lalu si pemandu acara pun dipoles demi kepentingan televisi. Mr EM dengan konstumnya, Mbak Lunas dengan setelah putih-putihnya. Dan perbedaan kelas yang dipertontonkan di program reality show ini sungguh tidak menyisakan kesan simpati atau empati. Yang tersisa justru perasaan nyaman ketika menonton mereka yang terengah-engah mengejar amal. "Kita tak semiskin dia." "Dia tak seberuntung kita." Perasaan nyaman kita, si kelas menengah.

Lantas apa itu semua pantas membuat kita merasa terharu? Bahkan menulis ini pun sudah cukup untuk membuat saya sakit hati.

Monday, August 07, 2006

Pembajak Blog

Baruuu aja gw berasa gegar jadi blogger, eh mesti dihadapkan sama isu bajak membajak. Pas gw baca sepatumerah, gw membacalah itu postingan tentang aksi bajakan terhadap tulisan dia.



Tersebutlah seorang bernama X konon membajak tulisan dia. Ternyata Mbak X gak cuma ngebajak tulisan dari sepatumerah, tapi juga dari beberapa blog lain. Daaaann niat banget pula ngebajaknya. Lengkap dengan link, plus foto. Widih. Emang siiiyy kita mesti total dalam mengerjakan segala sesuatu... tapi mbok yao...

Waktu itu gw dan Victor pernah berbincang soal asas copy-paste dalam blog. Soalnya gw abis berkunjung ke blog kodoksakti dan menyadari foto yang dia bikin itu caem-caem. Kan nyesek pasti rasanya kalo tiba-tiba dia nemu foto karya dia di blog orang, tanpa sepengetahuan dia. Kalo Victor sih bilangnya, "Ah dia aja yang fotonya lebih keren dari gw, foto-fotonya gak diproteksi," sambil merujuk ke satu blog lain. Mmmm, tapi kaaannn Viicc..

Kalo gw siy, kalo sampe ada yang ngopi-paste tulisan gw, gw heran kali yak. Apalagi tulisan di pippilotta, lah itu kan personal, situasional dan lokasional (ada gak sih kata ini?) banget. Lagian kayaknya gw juga gak siap kalo tulisan gw tiba-tiba melihat tulisan gw dikopi sama orang lain. GR-nya mah jelas, tapi abis itu pasti bingung mau diapain.

Ketika gw cerita ke Nita soal kasus ini, dia langsung mengurungkan niatnya untuk naro tulisan feature radio dan karya-karya puisi dia di blog. "Takut dibajak," gitu katanya. Iya siy, gw ngerti pertimbangan itu. Gw juga suka ngeri kalo sajak-sajaknya minke dibajak orang. Dianya sih gak pikirin amat, nah gw-nya ntar yang sewot.

Lalu terus gimana dong? Masa kita berhenti berkarya karena takut dibajak? Masa kita jadi gak nulis blog karena ngeri ada yang main copy-paste? Ini bukannya ibarat gak makan karena takut gendut yak? Itu mah bulimia aje lu! Yaaaaa.. risiko mah emang ada di mana-mana ya. Tapi masa kita jadi gentar sih dengan pembajak-pembajak blog ini?

Makanya gw seneng pas nemu icon 'jangan asal copy paste'. Gw langsung pasang deh di blog pippilotta dan blog ini. Tentu saja memasang icon gak akan memproteksi apa pun yang gw tulis di sini. Paling enggak, ngasi woro-woro dari awal kalo gw berpaham demikian, jadi jangan macem-macem. Ibarat pasang gembok di pintu pager, niatnya kan woro-woro sama maling kalo si pemilik rumah sudah siap memproteksi diri sendiri.

Well, mungkin ada ya ada kode-kode HTML yang membuat tulisan gak bisa dicopy. Tapi disertasi gw bakal di ujung tanduk kalo gw nekat nyari kode-kode HTML itu sekarang, hihihi..

dok: sepatumerah

Gegar Pemula

Sejak gw punya blog, gw mulai membangun hobi baru untuk ngintip blog-blog orang. Berkelana aja dari satu blog ke blog yang lain. Ngeklik sepatu merah, ntar kebawa ke blog-blog entah siapa lagi. Ngeklik siapa lagi ntar kebawa ke kodok ngerock. Ntar ke mana lagi, ketemu bla3x. Dan setiap klik-an itu berarti pengetahuan baru buat gw. Setiap saat pula gw selalu jatuh kagum, betapa ada begitu banyaaaaaaakk orang yang pinter nulis. Senang!

Gw selalu seneng baca tulisan orang. Karena lewat tulisan orang, kita bisa belajar orang lain itu kayak apa. Seneng banget rasanya kalo baca tulisan tentang hal kecil dan sepele, tapi jadi penting bener buat si penulis. Kekekeke, kan gw juga suka gitu. Kecil, tapi berarti. Hayaaah.. kiekeiekiee..

Gw punya blog karena gw lebih suka nulis daripada ngomong. Ehm, bukan nulis sih, ngetik tepatnya, kekekeke. Karena gw merasa pikiran gw bisa lebih runut kalo gw tulis. Karena gw bisa belajar tentang diri sendiri lewat tulisan gw. Kadang-kadang kan gw kali ngetik ya main ngetik hajar bleh gitu aja. Gak pake dipikir-pikir. Abis itu baru dibaca lagi sambil mikir 'Oh, gw tuh gini ya' hihihihi.

Ada satu hal yang gw sadari (plus gw tau dari orang lain) tentang gaya blog gw. Tulisan gw panjang-panjang. Kadang-kadang itu membuat calon pembaca jadi patah semangat sih, karena keburu males baca tulisan panjang. Tapi gimana dong, gw emang demennya nulis panjang-panjang. Kronologis. Lengkap dengan segala detilnya. Karena sekali lagi, hal-hal kecil lah yang bikin sesuatu berarti. Dan hal-hal kecil itu membahagiakan *terharu*

Lalu sejak gw di London ini, gw mulai jadi blogger teratur. Nulis segala macem. Dan gw membangun jati diri gw sebagai penulis sekaligus sebagai pemasar. Gile capek ya bo. Abis nulis, mesti pamer-pamer blog ke orang lain biar dibaca. Hihihihihi. Rasanya puwas aja kalo ada orang seneng baca tulisan kita. Ketika gw nulis, sebetulnya gw tidak membayangkan publik tertentu yang kira-kira bakal baca tulisan gw. Namanya juga tulisan gratisan, ya suka-suka penulis aja, hihihihi. Karena itu rasanya bahagiya aja kalo ada yang seneng sama tulisan gw. Atau kalo tiba-tiba ada orang yang 'protes' karena gw gak update blog. Uhuy!

Dengan jati diri baru gw sebagai blogger, bener-bener deh, ada banyak hal baru yang gw tau. Yang paling sederhana, gw baru tau kalo sepupu gw Diani itu edan nulis juga. Dan gak cuma Diani dong, ada banyaaaaaak banget jagoan nulis blog. Gw suka tersesat sendiri kalo mampir-mampir ke blog orang. Ibarat kena narkoba, gw kecanduan baca blog orang.

Kadang suka minder juga baca tulisan-tulisan orang itu. Wah, dia hebat ya bisa nulis seperti itu. Huhuhu, tulisannya keren banget. Ahay, fotonya menawan. Aduh, ini dia dapet layout dari mana ya. Eh, ada link baru nih, klik aaah. Begituuuu terus. Lalu kalo blog itu terlalu menawan untuk dilewatkan, gw segera add to favorite, biar gak ilang lagi. Lantas besok lusa, gw klik lagi untuk melihat postingan terbarunya.

Duh, gw semakin sulit berkonsentrasi mengerjakan disertasi nih. Ngulik bahasa HTML buat blog, nyari template baru, nyari icon baru buat blog ternyata sungguh mengasikkan! Huhuhuhuhu..

Sunday, August 06, 2006

Acara Tivi Buat Siapa?



Belum lama ini ada protes yang beredar di milis tentang sinetron Aku Cemburu 2 di Indosiar. Ibnu AA yang melakukan protes ini gak habis pikir gimana bisa Indosiar meloloskan sinetron 'kayak gini'. Ada adegan co minta ce segera bugil, co telanjang dada di pinggir kolam renang dengan titit ditutup daun pisang serta keluhan seorang co karena ce-nya gak mau diajak gituan. Sinetron ini diputar Indosiar hari Sabtu jam 22-23 WIB.

Okeh, sabar di boncengan. Sewot jelas boleh. Tapi lebih penting kalo kita jadi menelaah lagi acara tivi yang sering kita tonton. Apa acara-acara itu beneran dibikin buat kita, penonton tivi?

Paham ekonomi berkata, ada permintaan, ada barang. Jadi kalo sinetron Aku Cemburu ini dikenakan paham ekonomi itu, berarti ada dong seseorang somewhere out there yang rikues acara macem gini. Entah lah siapa dia itu, tapi yang jelas ada orang itu. Buktinya ada penulis yang bikin sinetron itu, buktinya ada yang mau memproduksi, buktinya Indosiar mau terima dan nayangin sinetron itu. Berarti, secara hitungan matematis ala anak tivi, sinetron ini ada duitnya laaahh...

Lalu kalo kita menjadi Pak/Bu Ibnu AA, kita mungkin sepakat juga. Bukan sekali dua kali lah kita suntuk sama acara yang ada di tivi. Sinetron yang dibilang mengada-ada lah, Warkop yang slapstick lah, sinetron mistik yang nakut-nakutin orang, kartun yang sadis lah, ada aja pokoknya deh komentar kita sebagai penonton tivi.

Nah, kalo kita protes begitu, artinya kita gak setuju kan sama acara tivi itu. Kita merasa, acara itu tidak untuk kita, sehingga bagi yang kesel, ya mending matiin tivi aja. Ibaratnya pedagang kaki lima di Jatinegara, dagangan jelas gak laku. Wong calon pembelinya gak mampir, apalagi membeli dagangan.

Eh tapi, katanya tadi ada permintaan ada barang. Kalo sebagian (besar atau kecil) dari kita merasa tidak meminta barang dagangan berupa acara-acara katro, lalu siapa yang minta dong? Siapa yang membuat seolah-olah ada permintaan, sehingga kemudian pihak stasiun tivi atau PH membuat sinetron itu?

Hantukah yang meminta?

Coba sekarang kita bayangkan diri kita jadi Raam Punjabi. Doi kan paling sering tuh kena 'tulah' disalahin kanan kiri atas bawah depan belakang karena sinetron-sinetronnya dianggap gak membumi. Tapi dia mah tenang-tenang aja di boncengan. Dia tinggal bilang kalo "pemirsa yang minta" sinetron kayak gitu. Lalu kita pun menjerit "Enak aja! Kan sinetron situ bapuk!". Lantas Raam Punjabi pun tertawa terkekeh, "Situ oke? Nih ratingnya bagus!" Trus kita manyun dong. Rating bagus kan katanya berarti acara disukai penonton. Kalo si 'kita' yang protes ini merasa tidak meminta, apalagi menilai bagus, sinetron tersebut, lalu lagi-lagi pertanyaanya kembali ke situ: siapa yang minta acara ini sebenernya seeh?

Lucu ya ajang saling klaim di kancah pertelevisian ini. Ampe pegel linu, klaim-klaim-an gini bisa gak kelar-kelar.

- Orang TV merasa paham selera penonton, sehingga dia bikin acara A. Acara itu dipasang di prime time, iklan banyak masuk, kantong duit tebel. Bahasa ekonominya jelas: duit banyak karena barang laku; barang laku karena banyak yang nonton.

- Nielsen bilang acara A laku karena ratingnya tinggi. Orang TV mengartikan rating ini sebagai 'sekian persen dari 200 juta masyarakat Indonesia suka acara A', padahal sampel dan populasi riset medianya Nielsen gak transparan juga. Hmm, atau kita memang harusnya mengartikan rating sebagai perwakilan dari sampelnya Nielsen, dan bukan seluruh penduduk Indonesia? Bisa jadi begitu. Tapi kayaknya gak begitu yang terjadi.

- Ada sekelompok orang yang kegerahan sama acara A ini. Alasan yang puwaling sering dipake adalah 'pengaruh buruk bagi anak-anak dan generasi muda'. Atau kalo acara ini diadaptasi dari Amrik (atau negara bulai lainnya), maka alasan yang kemudian diajukan adalah 'pengaruh Barat atau budaya asing menodai budaya Timur' atau 'moralitas'.

- Lalu orang TV bisa aja balik mengklaim bahwa sekelompok orang itu cuma sebagian kecil orang, yang bisa jadi bukan target market dari acara A. Dengan kata lain, ngomong aja sama tembok! Lah wong acaranya bukan buat situ.. Mungkin kurang lebih begitu pembelaan diri dari orang TV-nya.

- Si sekelompok orang ini pun kesel, lalu woro-woro boikot tivi, protes sana sini, atau matiin tivi tanda kesel.

- Sementara si Nielsen, ya tenang-tenang aja. Buat Nielsen kan yang penting membuat rating sebagai kunci utama kesuksesan sebuah acara sehingga orang tivi-nya juga ketergantungan. Ibarat narkoba lah. Sekali terjerumus (halaaah, terjerumuuss), susah berhenti. Ke-dewa-an rating inilah yang tetep dijaga sama Nielsen. Yaaa wajar dong, namanya juga jualan rating...

Trus?

Kekekeke.. Kejar-kejaran aja deh kayak hamster!

Yuk kita kembali ke pertanyaan awal: apakah acara tivi itu beneran dibikin buat para penontonnya?

Urutannya kan begini. Orang tivi bikin program. Program dibikin, dijual ke pengiklan, iklan dipasang. Nielsen pun mulai bekerja, mengumpulkan sampel X dari populasi Y di kota Z untuk dicatet kebiasaan nonton tivi-nya. Angka rating keluar, dikasih ke orang tivi. Orang tivi girang kalo rating tinggi. Rating ini pun langsung dikabarkan ke pengiklan, berikut rate iklan yang tambah besar. Orang iklan ikutan seneng, karena membuncah harapan kalo barang yang diiklankan bakal laris manis tanjung kimpul.

Tunggu, tunggu. Di mana elemen penontonnya neh? Bukankah acara dibuat untuk ditonton oleh kita sang penonton? Apakah elemen penonton hanya di "sampel X dari populasi Y di kota Z" saja? Oh yeah. Seberapa representatifkan X-Y-Z itu untuk mewakili 'penonton'? Gile cing, ada 200 juta penduduk Indonesia nih!

Sekarang mari kita ambil contoh nyata. Sinetron Bawang Merah Bawang Putih. Menurut kawan yang bekerja di RCTI, angka rating melonjak tinggi ketika Bawang Putih disiksa ibu tiri. Satu tamparan, rating naik. Dua tamparan, rating melejit. Nah kalo begini, jelas dibaca Nielsen dan orang tivi dengan cara: "Penonton tivi Indonesia seneng acara tampar-tamparan dalam sinetron. Kita tambahin yuk tampar-tamparannya!" Ya gak sih? Logis dong. Lalu ada yang protes karena acara tampar-tamparan gak baik buat penonton. Jadi, acara ini gak representatif? Lalu, siapa nih yang menjadikan angka rating begitu tinggi? Bisa aja nih Nielsen nyari sampel rating!

Atas kegilaan-kegilaan yang ada, maka gw cuma bisa bilang kalo banyak orang sok tau. Orang TV sok tau. Penonton pun ada yang sok tau. Sementara Nielsen asik dagang. Hiehiehiehie, pegel dah lu. Sok tau bergulir jadi mengklaim. Mengklaim bergulir jadi berasa bener.

Sekarang coba kita mengkritisi keedanan ini. Orang TV atau PH atau siapapun yang berperan dalam membuat program, apa iya pernah nanya ke calon penonton "Hai kamu, kamu pingin nonton acara kayak apa?" Atau, jangan-jangan yang ditanya sama orang TV adalah pengiklan.. "Hai kamu, kamu pinginnya pasang iklan di acara tivi kayak apa sih?"

Atau si penonton yang protes. Kalo dia bilang, acara X berbahaya bagi generasi muda... ah situ sok tau aja kaliiii. Buktinya, yang ngomong toh 'orang tua', bukan si 'anak muda' yang terancam bahaya itu. Atau si 'anak muda' ini masih terlalu lugu untuk mengetahui bahwa acara X ini berbahaya? Atau ketika klaim ini mempertentangkan 'budaya Barat' dan 'budaya Timur', apakah lantas si pemrotes itu lebih tau tentang 'buruknya budaya Barat' dibandingin orang lain? Wah wah. Bukankah itu terdengar seperti klaim kembali?

Huhuhu, jadi pigimana iki?

Selamat menonton televisi! Jangan bengong ah, ntar kesambet lho...

dok: indosiar

Saturday, August 05, 2006

Reality TV: Realita Apa?



Reality TV mulai rame di Indonesia dari tahun 2003. Reality show, begitu kita menyebutnya, yang termasuk generasi awal adalah Spontan. Acara 30 menit yang isinya becandaan slapstick, ngerjain orang di tempat ramai, lalu rame-rame ngomong 'uhuy!' sambil tersenyum lebar-lebar menghadap kamera. Sejak itu, ramailah orang berbondong-bondong bikin reality show. Bisa bikin sendiri, niru, atau mengadaptasi reality show dari Amrik, mengingat acuan acara tivi kebanyakan dari sana.

Apa aja sih realita yang (katanya) ditampilkan oleh tontonan reality show?

Silih berganti, sub-genre reality show juga berubah. Bosen sama becandaan slapstick, gantilah ke reality show berbau selebriti. Mimpi Kali Ye termasuk salah satu reality show pertama yang melibatkan artis. Inget dong, isinya ya 'orang biasa' kepengen ketemu artis. Semakin gokil dan fanatik si fans, semakin mengharu biru lah tontonan itu. Apalagi selalu dibuat drama seolah-olah si artis gak bisa dateng. Kadang-kadang saya heran. Emangnya si calon peserta itu apa gak pernah nonton Mimpi Kali Ye apa ya, kok masih bisa ketipu sama trik kuno kayak gitu.

Masih terkait selebriti, kali ini reality show yang melihat sisi 'orang biasa' dari selebriti. Yang keingetan sama saya sekarang adalah Ketok Pintu, yang diputer pagi-pagi di TV7 (karena saya suka nonton sebelum ngojek ke kantor). Lucu ya reality show ini. 'Orang biasa' mendadak jadi artis, artis pengen diliat versi 'orang biasa'nya. Dunia kebulak-balik.

Udah kelar reality show selebriti-'orang biasa', bergantilah jadi reality show kontes. Kebanyakan sih kontes nyanyi. Tentu saja semua orang ingat betul sama Akademi Fantasi Indosiar. Indosiar emang terkenal nekat buat acara-acara tivi yang sifatnya harian. Dulu, cerita silat digeber harian, sekarang giliran kontes-kontesan yang ditayangin dari hari ke hari. Sampe enek dah tuh tiap hari liat calon-calon bintang itu diasah (ceritanya) untuk jadi penyanyi ternama. Juga tentu saja ada Indonesian Idol, Kontes Dangdut Indonesia dan macem-macem kontes lainnya yang menyusul berikut.

Bosen sama kontes, kali ini giliran hantu-hantuan. Ada Paranoid yang nakut-nakutin orang, sampe kiai-kiai berjubah putih yang nguber hantu dan masukin ke dalam botol di Pemburu Hantu. Belum lagi sesi gambar hantu dengan mata tertutup, yang seringkali berwujud perempuan ala zaman Belanda gitu. Saya dan kakak saya pernah secara khusus mendedikasikan waktu untuk nonton dan terpingkal-pingkal sepanjang nonton acara ini. Edan sumpah Lativi ini, acara nguber hantu kok ya dibikin tayangan live.

Sekarang, tibalah giliran reality show amal. Sepanjang tahun 2005 aja paling enggak ada 22 reality show amal. Yang paling keinget orang palingan sih Uang Kaget di RCTI. Acara ini emang dasyat, bertahan dari akhir tahun 2004 sampai sekarang, perolehan rating bagus, pernah dapet Panasonic Award pula. Ketika saya bilang dasyat, maka ini berarti secara ekonomis. Soal penting enggaknya, ngaruh enggaknya acara ini buat yang nonton, itu lain perkara.

Oke, mari kita berhenti di sini sebentar.

Sekarang coba kita kembali sebentar ke kata 'reality'. Realitas, dalam bahasa Indonesia. Artinya: kenyataan. Acara semacam ini emang semena-mena dianggap merepresentasikan realitas karena 'tokoh' dalam acara ini bukan aktor atau artis yang belajar akting. Juga, katanya, gak ada skenario, naskah atau skrip. Namanya juga 'reality show', ya gak sih? Nama programnya kan menyiratkan 'keaslian' alias kenyataan.

"Real people, real action, real emotion," katanya begitu yang mau ditangkap sama reality show. Padahal, seperti kata Ratna Mahadi dari Antv, reality show tetep punya skrip. Dia sendiri menyebut konsep acara ini sebagai 'realita yang diarahkan'. Haha. So what's so real about reality show then?

Coba sekarang kita mengingat acara Spontan. Kalo AFI? Paranoid? Pemburu Hantu? Uang Kaget? Apa iya itu semua bener-bener berusaha menangkap realita?

Kalo saya jadi produser acara TV, pastinya saya sinting kalo bener-bener pengen menangkap realita as-it-is. Caranya gimana? Naro kamera di tengah pasar, lalu nangkep reaksi orang terhadap kamera itu? Widih, udah gila apa. Program kayak gitu mau dijual pigimana? Lalu kemudian dibuatlah sebuah skrip. Kamera ditaro di pasar, lalu enaknya ada kejadian apa yah yang ditangkap (sebagai sebuah realita) oleh kamera? Coba deh ngerjain orang, trus diliat gimana reaksinya, mungkin seru juga. Atau didatengin selebriti ke situ yang pura-pura jadi pedagang ikan? Hm, boleh juga.

It's a conducted reality after all, rite mate? Sebagai suatu bisnis dengan putaran uang yang begitu besar, tentu saja acara TV gak akan dibuat tanpa pertimbangan ekonomi. Dan dengan pertimbangan ekonomi itulah, terlalu berisiko kalo 'merelakan' kamera menangkap realita begitu aja, tanpa dipoles-poles dikit di sana sini.

Jadi, kalo kita nonton reality show, realita apa dong yang tengah kita tonton? Wong semuanya juga berdasarkan skenario, sesederhana apa pun skenario itu. Kalo reality show ternyata tetep melibatkan skenario, lalu apa bedanya dengan sinetron? Apa disebut 'reality show' jika tokoh ceritanya adalah 'orang biasa' dan bukan 'bintang sinetron'? Lalu kalo salah satu janji reality show adalah menangkap realita, apa bedanya reality show sama dokumenter? Hmm, jadi mirip juga dong sama segmen vox-pop di acara berita televisi?

Dalam buku Reality TV: audiences and popular factual television (2005), Annette Hill bilang kalo "Reality TV is a catch-all category that includes a wide range of entertainment programmes about real people. Sometimes called popular factual television, reality TV is located in border of territories, between information and entertainment documentary and drama." See.. reality show emang ada di wilayah abu-abu. Ibarat masa remaja, masih terombang-ambing tuh jati dirinya (kiekiekeieke).

Jadi, kenapa dong teteup kekeuh disebut sebagai 'reality show' kalo kenyataannya yang ditangkap bukanlah realita, seperti yang dijanjikan? Hahaha.. nah lho nah lho! Pesan moralnya begini. Jangan percaya reality TV yang ngaku-ngaku menangkap realita. What's so real about that anyway?

dok: ioffer

Tuesday, May 02, 2006

Arianto

Pengantar:
Di Indonesia, Anda mungkin tak pernah mendengar nama Arianto. Kalau menyandingkan nama Arianto dengan neurofibroma atau tumor di wajah kanannya, apakah Anda lantas kenal dengan Ari? Tak apa. Ari hanyalah satu dari sekian banyak anak Indonesia yang punya cacat di wajahnya.

Pertemuan tak sengaja dengan Ari di London, membawa reporter KBR 68h Citra Prastuti berkenalan dengan Ari dan perjalanannya dari Jakarta ke London untuk mendapatkan operasi pengangkatan tumor seberat nyaris 1 kilogram dari wajah sebelah kanan Ari. Citra sempat berbincang dengan Ari dan hendak membaginya bersama Anda.




BAGIAN 1

Nama saya Ari. Untuk kehidupan yang tahun-tahun depan mungkin lebih cerah daripaa tahun-tahun kemarin. Mungkin bisa lebih baik daripada yang dulu.

Laki-laki muda itu baru berusia 20 tahun. Idolanya adalah penyanyi rap Eminem dan ia bergaya serupa Eminem. Dengan jaket dan celana training berbahan kaos warna putih dan gombrang, juga dengan gel yang membuat rambutnya jigrak, Ari menyelipkan earphone hitam di lubang telinganya. Lantas memastikan disc man-nya terselip rapi dalam kantong jaket.

Wajahnya sudah dipermak lewat operasi sebanyak lima kali. Kini tak ada lagi tumor seberat nyaris satu kilogram di sisi kanan wajahnya. Tumor itu membuat Ari bertahun-tahun seperti memiliki dua wajah yang terpisah.

Kedatangan Ari ke London akhir tahun lalu adalah yang kedua kali, menjalani operasi wajah di Rumah Sakit Chelsea and Westminster. Sehari-hari, Ari tinggal sendiri di kamarnya di Mary Ward House, di tengah kota London. Kamarnya kecil saja, tapi cukup nyaman dengan dinding kamar bercat warna kuning terang. Ada satu tempat tidur dan dihadapannya terletak TV 14 inchi, alat pemutar DVD serta Playstation

Di bawah jendela, Ari membuat kalender sendiri. Dari kertas polos warna putih yang dipotong persegi. Ari menulis tanggal serta nama hari di sana, dalam bahasa Inggris, bahasa yang masih asing bagi lidah dan telinga Ari. Di situ tertera 14, Friday. Hari terakhir Ari di London sebelum pulang ke Indonesia.

Mungkin lebih beda. Kalau waktu dulu kan penyakitnya masih ada, sekarang kan sudah agak berkurang.

Ari mengidap penyakit neurofibroma, penyakit yang berbentuk benjolan, seperti daging yang lembut, yang berasal dari jaringan saraf. Pertama kali Ari merasakan ada benjolan tersebut saat ia berusia 7 tahun, ketika ia masih tinggal bersama keluarganya di Desa Umbuljoyo, Lampung.

Kelihatannya bola mata yang hitam itu berubah putih. Ari tambah besar, katanya ada bintik-bintik di bagian muka. Lantas tambah umur, jadinya besar. Sudah berapa tahun ini penyakit Ari. Untuk mengingatnya susah juga. Bukannya gak mau, tapi susah untuk mengingat. Yang jelas dari mata terlihat putih semua. Dari pipi itu ke Kalau ganas, maka dia nambah umur tiap tahun. Ini membesarnya nggak setiap tahun, mungkin beberapa tahun.

Sejak itu, hidup mulai tak terlalu menyenangkan bagi Ari kecil. Ia harus menanggung tatapan jijik dari orang yang melihat dia, mesti menunduk saat orang melihatnya dengan pandangan aneh. Benjolan di sisi kanan wajah Ari tumbuh teramat besar, bahkan lebih besar dari ukuran kepalanya sendiri. Benjolan berat itu membuat leher Ari terancam patah akibat menanggung beban terlalu berat. Benjolan yang membuat Ari tampak berbeda.

Dulu pas lagi masih sekolah, ya sering ada anak-anak yang nggak suka. Mungkin ya menjauhi Ari. Gak pernah nyakitin (fisik) sih, tapi dengan kata-kata. Bukan dengan pukulan. Bilangnya, jangan deket anak itu, nanti ketularan atau apa gitu. Ada yang bilang, tapi ya biarin aja, nanti yang di atas kan lebih tau daripada Ari.

Ari memilih untuk menyimpan sendiri rasa sakit hatinya.

Gak banyak cerita juga Ari sama orang tua. Kalo ada apa-apa, Ari pikir saja sendiri untuk gimana kalau bisa biar tenang.

Ari lahir dan besar di kampung kecil di Lampung, bersama orangtua dan tiga adik perempuannya. Ibu dan Bapaknya adalah petani penggarap.

Di rumah juga bantu-bantu orangtua. Apa gitu. Pernah ikut mengarit padi, untuk apa saja yang disuruh atau dilakukan orangtua.

Ari hanya sekolah sampai di kelas 2 SD saja, lantaran tak ada biaya dan tak sanggup menghadapi tatap mata orang lain. Hingga kini, di usianya yang ke-20, Ari mengaku masih kesulitan membaca rangkaian tiga huruf sekaligus. Justru di London ia berkesempatan belajar baca tulis lebih baik.

Pak Wilbert. Tapi untuk menyatukan itu berpikirnya sangat susah. Kalau tiga disatukan itu susah, masih bingung.

Wilbert yang disebut Ari adalah orang yang mengajarkan baca tulis selama Ari tinggal di London. Laki-laki paruh baya ini adalah warga negara Belanda yang cakap berbahasa Indonesia setelah 30 tahun lebih tinggal di Jakarta. Laki-laki paruh baya ini yang sehar-hari mendampingi Ari ketika Ari sendirian melalui operasi-operasi penting bagi dirinya, di tengah negara berbahasa aneh bagi telinga Ari.

Ada sih sedihnya, pas lagi di rumah sakit, gak ada yang bisa nemenin gitu.
Orang Kedutaan juga jarang ngontak. (Mereka) nggak tahu kalau Ari sudah punya nomor telfon, tapi kalau itu, mereka nggak pernah ngontak kita. Cuma sekali dua kali saja. Cuma gitu saja. Mereka bilang ‘Kalau ada apa-apa bisa telfon saya di sini, nomor saya ini’. Tapi dikontak, mereka tidak datang. Ada Ibu Wilbert yang ngontak, tapi mereka nggak datang.

Sampai Ari pulang pertengahan Maret lalu, tak ada kontak lagi antara Ari dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia.

BAGIAN 2

‘Wajah adalah jendela hati’. Pakem inilah yang dipegang yayasan non-profit yang berbasis di London, Facing the World. Yayasan ini didirikan oleh dokter-dokter bedah ternama Inggris, yang khusus menangani kasus seperti Ari.

Ari bukan satu-satunya pasien yang pernah ditangani dokter-dokter yang tergabung dalam yayasan ini, meski ia satu-satunya yang berasal dari Indonesia. Ada Angela dari Honduras, Hadisa dari Kabul, Kalyani dari India, serta enam anak lainnya dari berbagai penjuru dunia.

Di Indonesia dua kali, eh tiga kali. Di sini dua kali. Total lima kali. Di Indonesia, bagian mata dan hidung. Mata diambil. Hidungnya, tadinya kan ada tulangnya, jadi gak ada. Di sini, operasinya bagian pipi, di sini ya semua. Dari pipi, mata, hidung.

Ari beruntung bisa memperoleh operasi gratis untuk memperbaiki struktur wajahnya. Tiga kali ia dioperasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, sampai akhirnya dokter di tanah air menyerah. Peralatan serta kemampuan kedokteran yang tersedia ternyata tak mampu membuat Ari tampak seperti anak lainnya. Normal.

Perjalanan Ari memang cukup lama sebelum akhirnya berkesempatan dioperasi di London. Sebelumnya, ia sempat muncul di dua stasiun televisi swasta untuk mendapatkan sumbangan demi operasi wajahnya. Lantas ia hijrah ke Jakarta dan ditampung di Yayasan Sinar Pelangi, sebelum akhirnya terbang ke Inggris.

Waktu itu.. kok bisa? Ari pikir, ah mungkin nggak bisa. Ari tunggu terus, ada panggilan dari sini. Lantas 2004 berangkat pertama kali ke London.

April 2004, Ari tiba di London dan sebulan setelahnya mendapat operasi pertama. Operasi yang dilakukan 15 dokter bedah ini berhasil mengangkat satu kilogram tumor dari wajah Ari. Untuk pertama kalinya, mata, hidung dan mulut Ari ada dalam kondisi agak sejajar.

Satu setengah tahun kemudian, tepatnya bulan Desember 2005, Ari kembali ke London untuk menjalani operasi lanjutan. Kali ini, operasi diarahkan pada bagian dagu, bibir serta mengganti tulang hidung yang hancur akibat desakan tumor. Dengan hidung barunya, kini Ari bisa bernafas lewat kedua lubang hidungnya serta bisa makan dan berbicara dengan lebih baik lagi.

Ya lebih sama kayak yang kiri. Lebih sama. Tapi ya nggak sama 100 persen, tapi agak ke bawah sedikit. Tapi ya sudah. Kalo sudah kayak gini mau diapain lagi.(Kalau boleh minta operasi lagi?) Katanya sih mau dioperasi lagi, kurang tahu sih.
Kalo dipegang, ya masih ada rasanya. Meskipun sarafnya udah mati. Rasanya kayak kulit biasa.

Kini Arianto punya wajah baru.



BAGIAN 3

Ada senengnya, ada sedihnya juga. Jauh. Mungkin kalau jauh dari orangtua itu sudah terbiasa, tapi kalau ini terlalu jauh. Untuk kontak saja sulit.

Ari memang sering tinggal berjauhan dengan orangtuanya. Sejak ia hijrah ke Jakarta dan tinggal di Yayasan Sinar Pelangi, hanya beberapa kali saja ia menghubungi rumah. Maklum, di rumahnya tak ada telfon, sehingga ia hanya bisa menyampaikan kabar lewat temannya. Di yayasan, Ari mulai menjalin kekariban dengan teman-teman senasib di yayasan. Sama-sama cacat.

Karena tempatnya itu kan yang ada cuma anak-anak itu saja. Ya mungkin lebih aman juga. Tapi ya tergantung. Kalo ada orang yang baru datang dari mana dan lihat anak-anak yang lain juga, mmm beda. Kirain cuma Ari saja yang cacat, tahunya pas Ari lihat di yayasan, lebih banyak dari yang Ari kira.

Tahun 2004 dan 2005, ia dua kali ke London untuk waktu yang lama dan nyaris tak bisa menghubungi sanak saudara di rumah. Sinyal buruk, begitu kata Ari. Lagipula, telfon selular yang selalu disangkutkan Ari di kerah kaosnya itu baru didapatnya beberapa bulan lalu. Diberikan oleh dokter yang merawatnya.

Di London, Ari tinggal di sebuah tempat penginapan bernama Mary Ward House. Kamar Ari terletak di bawah tanah. Kamarnya berukuran sedang. Ari lantas menunjuk televisi 14 inchi, DVD player dan playstation yang ada di kamarnya. Dibeliin pemilik rumah, begitu penjelasan singkat Ari.

Selama di London, Ari lebih banyak menghabiskan waktu sendirian. Berjalan-jalan sendirian, turun naik bus menuju rumah sakit tempat ia dirawat dan dioperasi.

Kontrol, periksa gimana keadaannya. Di-scanning, periksa darah. Lantas untuk beberapa minggu langsung operasi.

Banyak orang menyebut orang Inggris itu dingin dan tak ramah. Tapi kesan itu tak melintas di benak Ari. Bagi dia, orang-orang Inggris justru ramah, tak seperti orang Indonesia.

Orang sini biasa aja. Malah di sini lebih, orangnya lebih ramah. Lebih enak. Kayaknya kalau kita tau bahasanya, lebih kita bisa berteman lebih dekat.
Ya. Kalo di Indonesia kan orang-orang yang belum tau kan… Nah kalo di sini kan orang-orangnya tahu (kalau) ini kenapa. Kalau di Indonesia kan efeknya lain. Ada yang efeknya jijik atau gimana gitu.

Di koper Ari, sudah tersimpan baik-baik kenangan akan Inggris. Sekotak coklat untuk oleh-oleh teman-teman di yayasan, selembar kaos tim sepakbola Inggris, selembar kaos kesebelasan Fulham (baca: Fulem) lengkap dengan tandatangan seluruh pemainnya serta kenangan tiga kali menonton bola langsung dari stadion, tak hanya di layar kaca saja.

Ari menutup koper, siap pulang. Kalender buatan Ari di kamar menunjukkan angka 14 dan hari Jumat. Hari terakhir Ari di London.


BAGIAN 4

Keterampilan, ada sih. Tapi belum terlalu bisa untuk bikin sendiri karena belum tau banyak. Mungkin harus belajar dulu untuk bikin sesuatu, mainan apa gitu yang dari kayu.

Sebelum mahir bertukang, Ari sudah mengasah kemampuan montirnya. Ia mengaku bisa memperbaiki sepeda motor bebek dari berbagai merk. Setelah rampung operasi yang membuat wajahnya tampak lebih baik, Ari mulai memikirkan kemungkinan bekerja.

Sesudah operasi, bisa sedikit bekerja. Soalnya kalau anak cacat kan kalau di Indonesia kan untuk cari kerja itu sangat-sangat sulit. Sangat sulitnya itu kita mau kerja apa. Soalnya kalau di Indonesia kan lihat Ari saja ih gimana gitu. Kayak orang jijik. Buang ludah.

Dulu, Ari merasa tak berguna sebagai manusia ketika wajahnya belum dioperasi. Tapi kini, ia mulai bisa merencanakan masa depannya. Sepulangnya ke kampung halaman kelak, ia berencana hendak mengumpulkan teman-teman masa kecilnya serta mengajak mereka membuka usaha bengkel motor bersama.

Mungkin ada beberapa teman di kampung yang bisa ngajak kompromi, gimana. Misalnya buka bisnis bareng dia. Bisa Ari telfon dan kontak ke London untuk minta bantuan, bahwa Ari butuh peralatan ini gitu. Kontak lah. Dokter pernah bilang, kalau bisa, apa yang bisa Ari perbuat, dia bisa membantu dari sini.

Meski sudah punya rencana untuk masa depannya kelak, Ari enggan menyebutnya ‘cita-cita’. Bagi Ari, cita-cita itu milik anak-anak.

Belum ada sih. Menulis saja belum begitu, untuk cita-cita.. belum kepikiran untuk cita-cita. Kalau kita, kalau masih kecil, cita-cita itu masih bisa diharapkan. Untuk Ari.. untuk berpikir yang lebih tinggi itu sulit.

Apalagi memikirkan soal pasangan…

Untuk naksir cewek, belum belum begitu penting untuk hidup Ari. Yang penting sekarang kesembuhan dulu. Kalau sudah sembuh mikirin yang apa kek apa.

Bagi Ari, yang lebih penting sekarang adalah dia sudah tampak ‘berbeda’, alias semakin mirip dengan anak-anak lainnya. Anak-anak normal. Sehingga Ari bisa mendapatkan kembali kehidupan normalnya.

Mungkin lebih penting normal ya. Untuk kehidupan nanti, gimana ya. Kalo gini terus kan gak bisa juga untuk bekerja atau apa. Untuk berpikir.

Dan untuk itu, Ari tahu ia tak boleh berputus asa.

Reportase Citra Prastuti, dari London.

[Radio 68h, Mei 2005]