Saturday, August 05, 2006

Reality TV: Realita Apa?



Reality TV mulai rame di Indonesia dari tahun 2003. Reality show, begitu kita menyebutnya, yang termasuk generasi awal adalah Spontan. Acara 30 menit yang isinya becandaan slapstick, ngerjain orang di tempat ramai, lalu rame-rame ngomong 'uhuy!' sambil tersenyum lebar-lebar menghadap kamera. Sejak itu, ramailah orang berbondong-bondong bikin reality show. Bisa bikin sendiri, niru, atau mengadaptasi reality show dari Amrik, mengingat acuan acara tivi kebanyakan dari sana.

Apa aja sih realita yang (katanya) ditampilkan oleh tontonan reality show?

Silih berganti, sub-genre reality show juga berubah. Bosen sama becandaan slapstick, gantilah ke reality show berbau selebriti. Mimpi Kali Ye termasuk salah satu reality show pertama yang melibatkan artis. Inget dong, isinya ya 'orang biasa' kepengen ketemu artis. Semakin gokil dan fanatik si fans, semakin mengharu biru lah tontonan itu. Apalagi selalu dibuat drama seolah-olah si artis gak bisa dateng. Kadang-kadang saya heran. Emangnya si calon peserta itu apa gak pernah nonton Mimpi Kali Ye apa ya, kok masih bisa ketipu sama trik kuno kayak gitu.

Masih terkait selebriti, kali ini reality show yang melihat sisi 'orang biasa' dari selebriti. Yang keingetan sama saya sekarang adalah Ketok Pintu, yang diputer pagi-pagi di TV7 (karena saya suka nonton sebelum ngojek ke kantor). Lucu ya reality show ini. 'Orang biasa' mendadak jadi artis, artis pengen diliat versi 'orang biasa'nya. Dunia kebulak-balik.

Udah kelar reality show selebriti-'orang biasa', bergantilah jadi reality show kontes. Kebanyakan sih kontes nyanyi. Tentu saja semua orang ingat betul sama Akademi Fantasi Indosiar. Indosiar emang terkenal nekat buat acara-acara tivi yang sifatnya harian. Dulu, cerita silat digeber harian, sekarang giliran kontes-kontesan yang ditayangin dari hari ke hari. Sampe enek dah tuh tiap hari liat calon-calon bintang itu diasah (ceritanya) untuk jadi penyanyi ternama. Juga tentu saja ada Indonesian Idol, Kontes Dangdut Indonesia dan macem-macem kontes lainnya yang menyusul berikut.

Bosen sama kontes, kali ini giliran hantu-hantuan. Ada Paranoid yang nakut-nakutin orang, sampe kiai-kiai berjubah putih yang nguber hantu dan masukin ke dalam botol di Pemburu Hantu. Belum lagi sesi gambar hantu dengan mata tertutup, yang seringkali berwujud perempuan ala zaman Belanda gitu. Saya dan kakak saya pernah secara khusus mendedikasikan waktu untuk nonton dan terpingkal-pingkal sepanjang nonton acara ini. Edan sumpah Lativi ini, acara nguber hantu kok ya dibikin tayangan live.

Sekarang, tibalah giliran reality show amal. Sepanjang tahun 2005 aja paling enggak ada 22 reality show amal. Yang paling keinget orang palingan sih Uang Kaget di RCTI. Acara ini emang dasyat, bertahan dari akhir tahun 2004 sampai sekarang, perolehan rating bagus, pernah dapet Panasonic Award pula. Ketika saya bilang dasyat, maka ini berarti secara ekonomis. Soal penting enggaknya, ngaruh enggaknya acara ini buat yang nonton, itu lain perkara.

Oke, mari kita berhenti di sini sebentar.

Sekarang coba kita kembali sebentar ke kata 'reality'. Realitas, dalam bahasa Indonesia. Artinya: kenyataan. Acara semacam ini emang semena-mena dianggap merepresentasikan realitas karena 'tokoh' dalam acara ini bukan aktor atau artis yang belajar akting. Juga, katanya, gak ada skenario, naskah atau skrip. Namanya juga 'reality show', ya gak sih? Nama programnya kan menyiratkan 'keaslian' alias kenyataan.

"Real people, real action, real emotion," katanya begitu yang mau ditangkap sama reality show. Padahal, seperti kata Ratna Mahadi dari Antv, reality show tetep punya skrip. Dia sendiri menyebut konsep acara ini sebagai 'realita yang diarahkan'. Haha. So what's so real about reality show then?

Coba sekarang kita mengingat acara Spontan. Kalo AFI? Paranoid? Pemburu Hantu? Uang Kaget? Apa iya itu semua bener-bener berusaha menangkap realita?

Kalo saya jadi produser acara TV, pastinya saya sinting kalo bener-bener pengen menangkap realita as-it-is. Caranya gimana? Naro kamera di tengah pasar, lalu nangkep reaksi orang terhadap kamera itu? Widih, udah gila apa. Program kayak gitu mau dijual pigimana? Lalu kemudian dibuatlah sebuah skrip. Kamera ditaro di pasar, lalu enaknya ada kejadian apa yah yang ditangkap (sebagai sebuah realita) oleh kamera? Coba deh ngerjain orang, trus diliat gimana reaksinya, mungkin seru juga. Atau didatengin selebriti ke situ yang pura-pura jadi pedagang ikan? Hm, boleh juga.

It's a conducted reality after all, rite mate? Sebagai suatu bisnis dengan putaran uang yang begitu besar, tentu saja acara TV gak akan dibuat tanpa pertimbangan ekonomi. Dan dengan pertimbangan ekonomi itulah, terlalu berisiko kalo 'merelakan' kamera menangkap realita begitu aja, tanpa dipoles-poles dikit di sana sini.

Jadi, kalo kita nonton reality show, realita apa dong yang tengah kita tonton? Wong semuanya juga berdasarkan skenario, sesederhana apa pun skenario itu. Kalo reality show ternyata tetep melibatkan skenario, lalu apa bedanya dengan sinetron? Apa disebut 'reality show' jika tokoh ceritanya adalah 'orang biasa' dan bukan 'bintang sinetron'? Lalu kalo salah satu janji reality show adalah menangkap realita, apa bedanya reality show sama dokumenter? Hmm, jadi mirip juga dong sama segmen vox-pop di acara berita televisi?

Dalam buku Reality TV: audiences and popular factual television (2005), Annette Hill bilang kalo "Reality TV is a catch-all category that includes a wide range of entertainment programmes about real people. Sometimes called popular factual television, reality TV is located in border of territories, between information and entertainment documentary and drama." See.. reality show emang ada di wilayah abu-abu. Ibarat masa remaja, masih terombang-ambing tuh jati dirinya (kiekiekeieke).

Jadi, kenapa dong teteup kekeuh disebut sebagai 'reality show' kalo kenyataannya yang ditangkap bukanlah realita, seperti yang dijanjikan? Hahaha.. nah lho nah lho! Pesan moralnya begini. Jangan percaya reality TV yang ngaku-ngaku menangkap realita. What's so real about that anyway?

dok: ioffer

2 comments:

Unknown said...

eh cit, mosok katanya nangis di reality shownya helmi itu diarahin ama sutradara. ih gak real banget gak sih? eh tapi budaya manipulasi orang laen lewat media massa mah realitas kan? iya kan? eh iya gak sih?

mohon maaf kalo komentarnya rada sotoy, saya awam sekali soalnya sama masalah ini.

pippilotta said...

hihihi, jadi yang nyata dari media adalah manipulasi dwongs, kekekek.. saik dah!

nah elu ikutan ngarahin 'peserta'-nya nangis-nangis gak? atau jangan-jangan elu syuting sambil tangis-tangisan? kekekek..