Pengantar:
Di Indonesia, Anda mungkin tak pernah mendengar nama Arianto. Kalau menyandingkan nama Arianto dengan neurofibroma atau tumor di wajah kanannya, apakah Anda lantas kenal dengan Ari? Tak apa. Ari hanyalah satu dari sekian banyak anak Indonesia yang punya cacat di wajahnya.
Pertemuan tak sengaja dengan Ari di London, membawa reporter KBR 68h Citra Prastuti berkenalan dengan Ari dan perjalanannya dari Jakarta ke London untuk mendapatkan operasi pengangkatan tumor seberat nyaris 1 kilogram dari wajah sebelah kanan Ari. Citra sempat berbincang dengan Ari dan hendak membaginya bersama Anda.
BAGIAN 1
Nama saya Ari. Untuk kehidupan yang tahun-tahun depan mungkin lebih cerah daripaa tahun-tahun kemarin. Mungkin bisa lebih baik daripada yang dulu.
Laki-laki muda itu baru berusia 20 tahun. Idolanya adalah penyanyi rap Eminem dan ia bergaya serupa Eminem. Dengan jaket dan celana training berbahan kaos warna putih dan gombrang, juga dengan gel yang membuat rambutnya jigrak, Ari menyelipkan earphone hitam di lubang telinganya. Lantas memastikan disc man-nya terselip rapi dalam kantong jaket.
Wajahnya sudah dipermak lewat operasi sebanyak lima kali. Kini tak ada lagi tumor seberat nyaris satu kilogram di sisi kanan wajahnya. Tumor itu membuat Ari bertahun-tahun seperti memiliki dua wajah yang terpisah.
Kedatangan Ari ke London akhir tahun lalu adalah yang kedua kali, menjalani operasi wajah di Rumah Sakit Chelsea and Westminster. Sehari-hari, Ari tinggal sendiri di kamarnya di Mary Ward House, di tengah kota London. Kamarnya kecil saja, tapi cukup nyaman dengan dinding kamar bercat warna kuning terang. Ada satu tempat tidur dan dihadapannya terletak TV 14 inchi, alat pemutar DVD serta Playstation
Di bawah jendela, Ari membuat kalender sendiri. Dari kertas polos warna putih yang dipotong persegi. Ari menulis tanggal serta nama hari di sana, dalam bahasa Inggris, bahasa yang masih asing bagi lidah dan telinga Ari. Di situ tertera 14, Friday. Hari terakhir Ari di London sebelum pulang ke Indonesia.
Mungkin lebih beda. Kalau waktu dulu kan penyakitnya masih ada, sekarang kan sudah agak berkurang.
Ari mengidap penyakit neurofibroma, penyakit yang berbentuk benjolan, seperti daging yang lembut, yang berasal dari jaringan saraf. Pertama kali Ari merasakan ada benjolan tersebut saat ia berusia 7 tahun, ketika ia masih tinggal bersama keluarganya di Desa Umbuljoyo, Lampung.
Kelihatannya bola mata yang hitam itu berubah putih. Ari tambah besar, katanya ada bintik-bintik di bagian muka. Lantas tambah umur, jadinya besar. Sudah berapa tahun ini penyakit Ari. Untuk mengingatnya susah juga. Bukannya gak mau, tapi susah untuk mengingat. Yang jelas dari mata terlihat putih semua. Dari pipi itu ke Kalau ganas, maka dia nambah umur tiap tahun. Ini membesarnya nggak setiap tahun, mungkin beberapa tahun.
Sejak itu, hidup mulai tak terlalu menyenangkan bagi Ari kecil. Ia harus menanggung tatapan jijik dari orang yang melihat dia, mesti menunduk saat orang melihatnya dengan pandangan aneh. Benjolan di sisi kanan wajah Ari tumbuh teramat besar, bahkan lebih besar dari ukuran kepalanya sendiri. Benjolan berat itu membuat leher Ari terancam patah akibat menanggung beban terlalu berat. Benjolan yang membuat Ari tampak berbeda.
Dulu pas lagi masih sekolah, ya sering ada anak-anak yang nggak suka. Mungkin ya menjauhi Ari. Gak pernah nyakitin (fisik) sih, tapi dengan kata-kata. Bukan dengan pukulan. Bilangnya, jangan deket anak itu, nanti ketularan atau apa gitu. Ada yang bilang, tapi ya biarin aja, nanti yang di atas kan lebih tau daripada Ari.
Ari memilih untuk menyimpan sendiri rasa sakit hatinya.
Gak banyak cerita juga Ari sama orang tua. Kalo ada apa-apa, Ari pikir saja sendiri untuk gimana kalau bisa biar tenang.
Ari lahir dan besar di kampung kecil di Lampung, bersama orangtua dan tiga adik perempuannya. Ibu dan Bapaknya adalah petani penggarap.
Di rumah juga bantu-bantu orangtua. Apa gitu. Pernah ikut mengarit padi, untuk apa saja yang disuruh atau dilakukan orangtua.
Ari hanya sekolah sampai di kelas 2 SD saja, lantaran tak ada biaya dan tak sanggup menghadapi tatap mata orang lain. Hingga kini, di usianya yang ke-20, Ari mengaku masih kesulitan membaca rangkaian tiga huruf sekaligus. Justru di London ia berkesempatan belajar baca tulis lebih baik.
Pak Wilbert. Tapi untuk menyatukan itu berpikirnya sangat susah. Kalau tiga disatukan itu susah, masih bingung.
Wilbert yang disebut Ari adalah orang yang mengajarkan baca tulis selama Ari tinggal di London. Laki-laki paruh baya ini adalah warga negara Belanda yang cakap berbahasa Indonesia setelah 30 tahun lebih tinggal di Jakarta. Laki-laki paruh baya ini yang sehar-hari mendampingi Ari ketika Ari sendirian melalui operasi-operasi penting bagi dirinya, di tengah negara berbahasa aneh bagi telinga Ari.
Ada sih sedihnya, pas lagi di rumah sakit, gak ada yang bisa nemenin gitu.
Orang Kedutaan juga jarang ngontak. (Mereka) nggak tahu kalau Ari sudah punya nomor telfon, tapi kalau itu, mereka nggak pernah ngontak kita. Cuma sekali dua kali saja. Cuma gitu saja. Mereka bilang ‘Kalau ada apa-apa bisa telfon saya di sini, nomor saya ini’. Tapi dikontak, mereka tidak datang. Ada Ibu Wilbert yang ngontak, tapi mereka nggak datang.
Sampai Ari pulang pertengahan Maret lalu, tak ada kontak lagi antara Ari dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia.
BAGIAN 2
‘Wajah adalah jendela hati’. Pakem inilah yang dipegang yayasan non-profit yang berbasis di London, Facing the World. Yayasan ini didirikan oleh dokter-dokter bedah ternama Inggris, yang khusus menangani kasus seperti Ari.
Ari bukan satu-satunya pasien yang pernah ditangani dokter-dokter yang tergabung dalam yayasan ini, meski ia satu-satunya yang berasal dari Indonesia. Ada Angela dari Honduras, Hadisa dari Kabul, Kalyani dari India, serta enam anak lainnya dari berbagai penjuru dunia.
Di Indonesia dua kali, eh tiga kali. Di sini dua kali. Total lima kali. Di Indonesia, bagian mata dan hidung. Mata diambil. Hidungnya, tadinya kan ada tulangnya, jadi gak ada. Di sini, operasinya bagian pipi, di sini ya semua. Dari pipi, mata, hidung.
Ari beruntung bisa memperoleh operasi gratis untuk memperbaiki struktur wajahnya. Tiga kali ia dioperasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, sampai akhirnya dokter di tanah air menyerah. Peralatan serta kemampuan kedokteran yang tersedia ternyata tak mampu membuat Ari tampak seperti anak lainnya. Normal.
Perjalanan Ari memang cukup lama sebelum akhirnya berkesempatan dioperasi di London. Sebelumnya, ia sempat muncul di dua stasiun televisi swasta untuk mendapatkan sumbangan demi operasi wajahnya. Lantas ia hijrah ke Jakarta dan ditampung di Yayasan Sinar Pelangi, sebelum akhirnya terbang ke Inggris.
Waktu itu.. kok bisa? Ari pikir, ah mungkin nggak bisa. Ari tunggu terus, ada panggilan dari sini. Lantas 2004 berangkat pertama kali ke London.
April 2004, Ari tiba di London dan sebulan setelahnya mendapat operasi pertama. Operasi yang dilakukan 15 dokter bedah ini berhasil mengangkat satu kilogram tumor dari wajah Ari. Untuk pertama kalinya, mata, hidung dan mulut Ari ada dalam kondisi agak sejajar.
Satu setengah tahun kemudian, tepatnya bulan Desember 2005, Ari kembali ke London untuk menjalani operasi lanjutan. Kali ini, operasi diarahkan pada bagian dagu, bibir serta mengganti tulang hidung yang hancur akibat desakan tumor. Dengan hidung barunya, kini Ari bisa bernafas lewat kedua lubang hidungnya serta bisa makan dan berbicara dengan lebih baik lagi.
Ya lebih sama kayak yang kiri. Lebih sama. Tapi ya nggak sama 100 persen, tapi agak ke bawah sedikit. Tapi ya sudah. Kalo sudah kayak gini mau diapain lagi.(Kalau boleh minta operasi lagi?) Katanya sih mau dioperasi lagi, kurang tahu sih.
Kalo dipegang, ya masih ada rasanya. Meskipun sarafnya udah mati. Rasanya kayak kulit biasa.
Kini Arianto punya wajah baru.
BAGIAN 3
Ada senengnya, ada sedihnya juga. Jauh. Mungkin kalau jauh dari orangtua itu sudah terbiasa, tapi kalau ini terlalu jauh. Untuk kontak saja sulit.
Ari memang sering tinggal berjauhan dengan orangtuanya. Sejak ia hijrah ke Jakarta dan tinggal di Yayasan Sinar Pelangi, hanya beberapa kali saja ia menghubungi rumah. Maklum, di rumahnya tak ada telfon, sehingga ia hanya bisa menyampaikan kabar lewat temannya. Di yayasan, Ari mulai menjalin kekariban dengan teman-teman senasib di yayasan. Sama-sama cacat.
Karena tempatnya itu kan yang ada cuma anak-anak itu saja. Ya mungkin lebih aman juga. Tapi ya tergantung. Kalo ada orang yang baru datang dari mana dan lihat anak-anak yang lain juga, mmm beda. Kirain cuma Ari saja yang cacat, tahunya pas Ari lihat di yayasan, lebih banyak dari yang Ari kira.
Tahun 2004 dan 2005, ia dua kali ke London untuk waktu yang lama dan nyaris tak bisa menghubungi sanak saudara di rumah. Sinyal buruk, begitu kata Ari. Lagipula, telfon selular yang selalu disangkutkan Ari di kerah kaosnya itu baru didapatnya beberapa bulan lalu. Diberikan oleh dokter yang merawatnya.
Di London, Ari tinggal di sebuah tempat penginapan bernama Mary Ward House. Kamar Ari terletak di bawah tanah. Kamarnya berukuran sedang. Ari lantas menunjuk televisi 14 inchi, DVD player dan playstation yang ada di kamarnya. Dibeliin pemilik rumah, begitu penjelasan singkat Ari.
Selama di London, Ari lebih banyak menghabiskan waktu sendirian. Berjalan-jalan sendirian, turun naik bus menuju rumah sakit tempat ia dirawat dan dioperasi.
Kontrol, periksa gimana keadaannya. Di-scanning, periksa darah. Lantas untuk beberapa minggu langsung operasi.
Banyak orang menyebut orang Inggris itu dingin dan tak ramah. Tapi kesan itu tak melintas di benak Ari. Bagi dia, orang-orang Inggris justru ramah, tak seperti orang Indonesia.
Orang sini biasa aja. Malah di sini lebih, orangnya lebih ramah. Lebih enak. Kayaknya kalau kita tau bahasanya, lebih kita bisa berteman lebih dekat.
Ya. Kalo di Indonesia kan orang-orang yang belum tau kan… Nah kalo di sini kan orang-orangnya tahu (kalau) ini kenapa. Kalau di Indonesia kan efeknya lain. Ada yang efeknya jijik atau gimana gitu.
Di koper Ari, sudah tersimpan baik-baik kenangan akan Inggris. Sekotak coklat untuk oleh-oleh teman-teman di yayasan, selembar kaos tim sepakbola Inggris, selembar kaos kesebelasan Fulham (baca: Fulem) lengkap dengan tandatangan seluruh pemainnya serta kenangan tiga kali menonton bola langsung dari stadion, tak hanya di layar kaca saja.
Ari menutup koper, siap pulang. Kalender buatan Ari di kamar menunjukkan angka 14 dan hari Jumat. Hari terakhir Ari di London.
BAGIAN 4
Keterampilan, ada sih. Tapi belum terlalu bisa untuk bikin sendiri karena belum tau banyak. Mungkin harus belajar dulu untuk bikin sesuatu, mainan apa gitu yang dari kayu.
Sebelum mahir bertukang, Ari sudah mengasah kemampuan montirnya. Ia mengaku bisa memperbaiki sepeda motor bebek dari berbagai merk. Setelah rampung operasi yang membuat wajahnya tampak lebih baik, Ari mulai memikirkan kemungkinan bekerja.
Sesudah operasi, bisa sedikit bekerja. Soalnya kalau anak cacat kan kalau di Indonesia kan untuk cari kerja itu sangat-sangat sulit. Sangat sulitnya itu kita mau kerja apa. Soalnya kalau di Indonesia kan lihat Ari saja ih gimana gitu. Kayak orang jijik. Buang ludah.
Dulu, Ari merasa tak berguna sebagai manusia ketika wajahnya belum dioperasi. Tapi kini, ia mulai bisa merencanakan masa depannya. Sepulangnya ke kampung halaman kelak, ia berencana hendak mengumpulkan teman-teman masa kecilnya serta mengajak mereka membuka usaha bengkel motor bersama.
Mungkin ada beberapa teman di kampung yang bisa ngajak kompromi, gimana. Misalnya buka bisnis bareng dia. Bisa Ari telfon dan kontak ke London untuk minta bantuan, bahwa Ari butuh peralatan ini gitu. Kontak lah. Dokter pernah bilang, kalau bisa, apa yang bisa Ari perbuat, dia bisa membantu dari sini.
Meski sudah punya rencana untuk masa depannya kelak, Ari enggan menyebutnya ‘cita-cita’. Bagi Ari, cita-cita itu milik anak-anak.
Belum ada sih. Menulis saja belum begitu, untuk cita-cita.. belum kepikiran untuk cita-cita. Kalau kita, kalau masih kecil, cita-cita itu masih bisa diharapkan. Untuk Ari.. untuk berpikir yang lebih tinggi itu sulit.
Apalagi memikirkan soal pasangan…
Untuk naksir cewek, belum belum begitu penting untuk hidup Ari. Yang penting sekarang kesembuhan dulu. Kalau sudah sembuh mikirin yang apa kek apa.
Bagi Ari, yang lebih penting sekarang adalah dia sudah tampak ‘berbeda’, alias semakin mirip dengan anak-anak lainnya. Anak-anak normal. Sehingga Ari bisa mendapatkan kembali kehidupan normalnya.
Mungkin lebih penting normal ya. Untuk kehidupan nanti, gimana ya. Kalo gini terus kan gak bisa juga untuk bekerja atau apa. Untuk berpikir.
Dan untuk itu, Ari tahu ia tak boleh berputus asa.
Reportase Citra Prastuti, dari London.
[Radio 68h, Mei 2005]
1 comment:
Halaah, dikira komentar apaan; ternyata comment spam!
Post a Comment