Saturday, August 12, 2006

Reality TV: Terharukah Anda?



Seorang teman menyampaikan kepada saya bagaimana reaksinya menonton salah satu program reality show amal di televisi.

Citra, kmrn malem gw nangis liat satu reality show, judulnya “Rejeki Nomplok”. Itu sekali2nya gw nangis krn acara tv di republik kampret ini. Jd ceritanya, si Peggy Melati Sukma kasih modal sebuah keluarga miskin buat jualan nasi (buka warung makan). Keluarga itu punya 2 anak: perempuan kelas 5 SD dan laki2 masih balita (yg tampak kurang gizi). Yg bikin gw nangis adalah ketika gw menatap mata anak perempuan itu..hiks..kesiyan banget klo anak sepinter dan senurut dia yg punya semangat tinggi hrs putus sekolah. Trus, jadinya anak itu dibiayai sekolahnya plus dikasih alat2 sekolah. Gw setuju dgn si Peggy yg kasih modal keluarga itu, krn insya Allah mereka jd empowered, self-reliant. Namun..hmmm..emang siy, sprt halnya reality show sejenis, ada bumbu tangis, wajah2 memelas & prihatin yg dijual..tapi ya gmn? tapi, tapi..apa ini berarti gw termakan reality show sejenis itu?
[diambil dari milis, nama disembunyikan, tulisan diedit seperlunya]

Apa Anda termasuk yang terharu kalau menonton program reality show di televisi? Mari kita persempit sedikit cakupannya: reality show amal. Apakah Anda terharu? Saya kok enggak ya.

Kenapa orang suka reality show macam begini? Kenapa pas Spontan, orang bisa kesel kalau dikerjainnya keterlaluan, lalu pas Harap-harap Cemas orang juga bisa kesel karena itu seperti menjajah wilayah pribadi seseorang? Bukankah Uang Kaget juga ngerjain seseorang dengan meminta orang tersebut menghabiskan uang 10 juta rupiah dalam waktu setengah jam? Bukankah Lunas juga menjajah wilayah pribadi seseorang dengan main masuk ke rumah orang dan meminta orang tersebut menjual barang-barang dalam rumahnya? Bukankah Bedah Rumah merenovasi rumah seseorang tanpa menkonsultasikannya pada pemilik rumah?

Kenapa kita menghujat reality show lain dan memuja reality show amal? Apa karena ada kata 'amal' di situ, lantas semuanya jadi baik-baik saja?

Seorang teman berkata, dia suka acara reality show amal karena yang dibantu adalah orang yang membutuhkan. Mereka yang dihadirkan dalam reality show amal melulu orang miskin, bagaimanapun 'miskin' itu didefinisikan. Banyak dari target (atau korban?) reality show amal ini punya rumah, entah itu ngontrak atau punya sendiri. Lho, kok itu miskin? Bukankah masih banyak orang yang tinggal di kolong jembatan? Banyak juga target reality show amal yang masih bisa jual televisi. Jadi, gimana 'orang miskin' itu didefinisikan? Siapa yang mendefinisikan 'orang miskin'?

Dalam kasus reality show amal ini, maka yang mendefinisikan 'miskin' adalah si pemilik program. Taruhlah produk-produk macam Uang Kaget, Lunas, Bedah Rumah dan sebagainya, maka yang mendefinisikan 'orang miskin' adalah Triwarsana selaku produser. Definisi 'miskin'-nya sendiri tak saklek betul. Kalau mau saklek, mungkin Triwarsana sebaiknya cari data angka penduduk miskin keluaran pemerintah (meskipun kesahihannya juga perlu dipertanyakan).

Tapi, oh tunggu dulu. Miskin, memang satu faktor penting. Tapi faktor yang menentukan seseorang masuk di reality show amal atau tidak adalah profil si target. Tak sembarang orang miskin boleh masuk jadi target reality show amal. Dia miskin, tapi juga mesti punya profil positif di antara tetangga-tetangganya. Yang berhak mendapat uang dari acara Pulang Kampung, jelas bukan pengangguran yang ingin pulang kampung, tapi dia yang dianggap 'kurang beruntung' merantau di Jakarta. Narasi awal di Lunas pun jelas-jelas disebut, bahwa Lunas akan melunasi utang dia yang memiliki utang karena musibah, bukan karena dia main togel. Rumah Pak Soegito batal diperbaiki Bedah Rumah karena anak perempuan Pak Soegito sakit jiwa. Sakit jiwa si anak dianggap menodai profil Pak Soegito. Batallah itu rumah Pak Soegito direnovasi bak sulap bukan sihir.

Oke, sekarang kita punya si target. X dari Kampung Y, miskin tapi pekerja keras. Lalu tanpa angin tanpa hujan, datanglah segerombolan kru berkamera datang ke kediaman X. Suherman (Uang Kaget) berwajah sangat sangat kaget ketika didatangi Mr EM yang berkostum aneh untuk ukuran Jakarta. Mimin (Uang Kaget) mengernyitkan dahi sambil berdiri agak menjauh ketika Mr EM bertanya, "Bu Mimin kenal saya?" Sumanah (Lunas) bermuka masam ketika dua perempuan penagih hutang tiba-tiba meminta dia menjual jam dinding yang menempel di dinding rumahnya, hanya 40 hari setelah suaminya meninggal yang tak cuma menyisakan duka, tapi juga hutang di rumah sakit.

Apakah mereka diberi ruang untuk menyergah balik para kru berkamera? Apakah Sumanah diberi kesempatan untuk menginterogasi balik para penagih hutang yang hanya mengidentifikasi diri mereka sebagai "petugas dari kantor" semata? Suherman ketakutan karena mengira dia bakal diusir dan tak boleh lagi memperbaiki kompor di sana. Istrinya berwajah cemas dan berurai air mata ketika pertama kali bertemu dengan Mr EM.

Mungkin belum saatnya kita mengurai rasa haru. Nanti dulu. Air mata belum diperas, hati masih belum diiris-iris.

Lalu sampailah kita di sajian utama reality show amal. Kita, penonton, dibuat begitu tekun mengikuti apa yang akan dilakukan X dengan uang sebanyak itu. Mungkin kita pun ikut berseru di depan layar televisi, "Beli emas saja!" Mungkin kita ikut degdegan melihat Y yang terpingsan-pingsan karena harus terburu-buru membelanjakan uang 10 juta rupiah. Atau penasaran melihat isi rumah Z dan menerka barang apa yang sekiranya layak dijual. Perasaan penonton akan terus diombang-ambil selama 15 menit terakhir, yang penuh adegan mengharukan dan berurai air mata. Belum lagi di penghujung program, di mana bertaburan adegan cium tangan, isak tangis dan memeluk Mr EM, Peggy Melati Sukma, Mbak Lunas dan teman-teman pemandu acara lainnya.

Apakah di sini kita sudah boleh terharu? Saya lebih merasa sakit hati, ketimbang terharu.

Saya justru merasa mereka tengah 'dihukum' atas kondisi mereka. Mereka miskin, maka kita boleh menonton mereka. Mereka miskin, maka kita boleh mengintip isi rumah mereka. Mereka miskin, maka mereka boleh diminta (dan tak diberi kesempatan untuk menolak) melakukan apa saja atas nama amal. Mereka miskin dan menjadi tontonan karena mereka miskin.

Ketika Triwarsana 'berdalih' bahwa acara seperti ini dimaksudkan untuk menggugah empati penonton, maka saya ingin bertanya kembali. Empati apa? Empati untuk menolong? Atau empati untuk menonton mereka yang terengah-engah mengejar amal? Apa perasaan seperti itu layak disebut empati? Kalau memang empati untuk menolong yang ingin digarisbawahi produser, apa bentuknya? Saya sungguh tidak merasa sisi empati saya diketuk ketika saya menonton ini. Kalau ada yang merasa berempati, bolehlah saya diberitahu bagaimana rasanya itu.

Simsalabim! Semua berubah tanpa kendali orang tersebut. Seperti memain-mainkan pisang di hadapan monyet, yang sudah tentu bakal dikejar. Apa itu bisa disebut pemberdayaan? Pemberdayaan macam apa yang diberikan reality show? Bagi saya, target reality show itu dipermainkan dengan uang. Dan itu sungguh bukan pemberdayaan.

Ah saya bukannya menampik bahwa ada juga reality show memberi kail, bukan ikan. Saya senang Sekolah Gratis tak memberikan uang kontan, tapi memberikannya dalam bentuk tabungan. Saya senang Rejeki Nomplok memberikan modal untuk membuka warung. Tapi jangan lupa juga, Uang Kaget adalah reality show amal yang bertahan paling lama di televisi, dari akhir tahun 2004 sampai sekarang, pun meraih Panasonic Award 2005. Dengan konsep 'mengejar uang gampangan', acara inilah yang meraup rating dan audience share paling besar [mari kita asumsikan kita bisa percaya pada rating AC Nielsen].

Dan itulah yang kita saksikan dalam waktu 30 menit.

Louis Althusser menyebut,"Ideology 'acts' or 'functions' in such a way that it 'recruits' subjects among the individuals (it recruits them all), or 'transforms' the individuals into subjects (it transforms them all) by that very precise operation which I have called interpellation or hailing, and which can be imagined along the lines of the most commonplace everyday police (or other) hailing: 'Hey, you there!'" (1971: 160)

Kalau kita ibaratkan program reality show amal itu adalah si orang yang memanggil, siapa yang dipanggil oleh program macam ini? Who is being interpellated by these programmes?

Triwarsana menyebut bahwa target acara ini adalah laki-laki dan perempuan, dari rentang umur berapa pun, status sosial ekonomi mana pun. Target 'keluarga' memang target paling mudah bagi program televisi, demi menjamin raupan penonton yang cukup lumayan. Tapi apa iya, semua orang 'dipanggil' untuk menonton acara tersebut?

Helmy Yahya, dalam balutan kostum Mr EM, kerap bertanya kepada calon target, "Bapak/Ibu kenal saya?" Dalam beberapa program yang saya tonton, calon target selalu mengaku tak kenal. Mimin sempat menonton Uang Kaget beberapa kali, tapi ia tidak mengira bahwa laki-laki berjas hitam, bertopi tinggi, berjanggut-kumis palsu dan berkacamata hitam adalah si Mr EM dari Uang Kaget. Kalau kita anggap Mimin adalah bagian dari target 'keluarga' yang disasar oleh Triwarsana, maka mungkin harusnya Mimin kenal Mr EM. Tapi toh tidak begitu kejadiannya.

Saya duga, yang sebenarnya disasar oleh Triwarsana, atau produser program reality show mana pun, adalah middle class. Kelas menengah. Mereka yang tidak semiskin si target yang tengah ditolong. Mereka yang merasa bahwa memberikan uang, amal atau apa pun adalah hal yang bakal membuat dunia 'si miskin' berubah. Mereka yang memberikan 'imbalan' kepada mereka yang miskin dan berkelakuan positif. Ah, Helmy Yahya pun pernah berkata, "Golongan bawah, teruslah bermimpi."

Maaf kalau saya semena-mena. Saya merasa program reality show amal tak ubahnya acara kunjungan Soeharto (dulu) ke desa-desa. Bertemu dengan penduduk di desa setempat, berbincang sedikit dan tak berarti, lalu memberikan bantuan. Penduduk sumringah, Soeharto bahagia, TVRI pun menayangkannya ke penjuru negeri. Penonton bahagia, karena melihat penduduk tersebut 'ditolong'.

Ah, feodal betul rasanya. Unsur feodal dalam program reality show buat saya jelas-jelas dipertunjukkan di penghujung program. Ketika Mr EM dengan tenang mengajukan tangannya untuk dicium oleh si target yang sudah membeli barang anu itu. Ketika pemandu acara bertangis-tangisan dengan si target; dengan si pemandu acara yang 'didandani' dan si target yang sekadarnya.

Perbedaan kelas seolah dirawat betul di sini. Kau yang miskin, berbaju jelek lah, nanti ditolong. Tapi kau mesti berkelakuan baik, kalau tak baik maka tak akan ditolong. Lalu si pemandu acara pun dipoles demi kepentingan televisi. Mr EM dengan konstumnya, Mbak Lunas dengan setelah putih-putihnya. Dan perbedaan kelas yang dipertontonkan di program reality show ini sungguh tidak menyisakan kesan simpati atau empati. Yang tersisa justru perasaan nyaman ketika menonton mereka yang terengah-engah mengejar amal. "Kita tak semiskin dia." "Dia tak seberuntung kita." Perasaan nyaman kita, si kelas menengah.

Lantas apa itu semua pantas membuat kita merasa terharu? Bahkan menulis ini pun sudah cukup untuk membuat saya sakit hati.

6 comments:

Pipit said...

Setuju!

Acara amal ini menggunakan kemiskinan untuk menciptakan perasaan beruntung bagi yang lainnya, atau malah kapital bagi si pemilik acara.

Acara seperti ini bukannya untuk menimbulkan empati atau menggugah yang lain untuk beramal, tapi malah mematikan empati yang langgeng. Empati hanya akan muncul selama acara berlangsung, banjir air mata dsb. Selesai acara, selesai juga perasaan empati tersebut, yang tinggal adalah kelegaan karena tahu bahwa mereka yang 'miskin' sudah ditolong jadi saya si penonton tidak perlu merasa kasihan lagi ke mereka yang miskin, dan kesadaran untuk menolong dan beramal pun semakin terkubur.

Satu lagi yang sangat saya sesalkan adalah butanya penonton akan perbedaan kelas yang sangat menonjol di masyarakat. Perbedaan mencolok hanya membuat si penonton terbuai akan 'beruntung'nya si target amal, tanpa mempersoalkan atau mempertanyakan kenapa ada perbedaan yang sangat menyolok tersebut yang notabene telah menciptakan para 'orang miskin'.

Maaf kalau komentarnya jadi kepanjangan. Tapi topiknya sangat menarik, dan saya tetep tunggu thesisnya. :)

Anonymous said...

keren banget tulisannnya...
kebuka bener pikiran aku. emang tuh, seolah-olah yang miskin berada di telapak kaki kita sehingga bisa di eksploitasi. dosa tau...........

Anonymous said...

wahh pengamat teve... keren banget tulisannya... saya pernah juga nulis, tapi tidak sebagus dirimu, hehehe...

pippilotta said...

hai aulia! maca ciy keyen.. *gr banget* huhuhu.. bener nih? huhuhu.. gapapa ya kalo gw gr, huehuehuheu..

Anonymous said...

Hitting your health and fitness aim is indeed a chance. By using our recommendations, you may be on the right track to hitting that fitness target you thought was out of your get to. So what are you waiting around for? Stand up and acquire moving and have a measure closer to reaching your ultimate goal.Wish To Enhance Your Home? We Are Able To Help [url=http://www.x21w12w21.info]Vi7765ity[/url]

Anonymous said...

Les nombreux brrnrrfices d'une technologie Wi-fi Product oreillette Wi-fi se rrrvrrle rrtre durante fait une excellente technologie qui offre environnant les nombreux avantages avec des brrnrrfices dans le but de ces utilisateurs. Casque st茅r茅o Wireless bluetooth cual l'on house united nations dispositif que vous avez simplement besoin nufactured music through dre marche cher pour le savoir. Ce package oreillette st茅r茅o Bluetooth se rrrvrrle rrtre distinctive aux autres. et voici pourquoi.
11 rewards through improvements intended for final family home elect