Thursday, November 10, 2005
Apa Itu 'Film Nasional'?
Kalau kita mengacu pada film di Indonesia, mari coba kita lihat. Sherina dibikin Mira Lesmana, yang pernah sekolah di Australia. Untuk Rena digarap Riri Riza, yang mengambil kuliah S2-nya di Inggris. Arisan yang dibuat Nia Dinata, juga pasti ada lah ngaruhnya dari hasil sekolah dia di Amerika. Tentu nggak melulu latar belakang pendidikan (di luar negeri) yang harus jadi acuan di sini. Nah kalau Eiffel I'm in Love, latar belakang film itu sebagian adalah Paris, Perancis. Atau film-film jaman Catatan Si Boy dulu, banyak yang ber-setting Amerika.
Atau coba kita ambil film Hollywood. Misalnya Independence Day. Film yang bercerita tentang serangan alien ke Amerika Serikat (alias juga ke seluruh dunia itu) sangat kental nuansa 'patriotis'-nya. "Amrik banget deh," kurang lebih begitu. Tapi ternyata sutradaranya adalah orang Jerman. Nah lho. Patriotisme mana yang masuk ke dalam film itu, Amerika atau Jerman?
Ada banyak cara untuk melihat suatu film, mencoba memberi label apakah suatu film itu film nasional atau bukan. Pertama, apakah film ini dibuat dari industri dalam negeri alias domestik? Kedua, apa yang mau disampaikan dalam film ini? Ketiga, siapa yang mengkonsumsi. Keempat, dilihat dari segi 'kritis' yang 'mengharapkan' suatu film nasional adalah 'film berseni' (ah, apa pula itu 'berseni' toh?).
Lalu cara lain juga untuk melihat suatu 'film nasional' katanya adalah melihat dari national identity yang ada di dalam film tersebut. Lantas kemudian kita bertanya lagi dong, apa itu identitas nasional? Apa itu 'orang Indonesia'? Apakah orang yang tinggal dari Aceh sampai Papua itu adalah orang Indonesia? Atau mereka yang mengusung paham NKRI adalah orang Papua? Gimana dengan orang Indonesia yang tinggal di luar negeri, apakah mereka boleh juga menyebut diri sebagai 'orang Indonesia'?
Nah, datanglah Benedict Anderson dengan definisinya tentang nation as an imagined community. Sebagai sebuah komunitas yang punya secure and shared identity serta sense of belonging. Artinya, ini sama sekali tidak terbatas pada batas-batas geografis dan politis. Ya toh? Dan ini semakin sulit membuat definisi dari 'film nasional' itu sendiri. Karena tak mesti tinggal di wilayah geografis Indonesia untuk bisa menyebut diri sebagai orang Indonesia yang punya alur pikiran Indonesia, dsb.
Lalu, film yang dibuat oleh orang Indonesia yang sejak kecil tinggal di luar negeri lalu dia membuat film tentang Indonesia, apakah karyanya bisa dianggap 'film nasional'? Secara content, iya, tentang Indonesia. Tapi kalo diliat secara ekonomi, ini kan tidak dibuat di bawah kerangka industri domestik alias dalam negeri.
Definisi 'film nasional' sempat dilihat sebagai perlawanan terhadap film Hollywood. Ah masa iya selalu begitu? Rasanya enggak juga. Karena film-film Hollywood itu terhitung curi start, maka dia sudah mengukuhkan 'standar' tentang bagaimana itu narasi film yang bagus, bagaimana itu marketing film yang efektif dan bagaimana itu efek dramatisasi yang menawan. Konsep itu kemudian diimpor dari 'barat' ke 'timur' dan jadilah industri film di 'timur' terhegemoni dengan konsep film ala Hollywood. Dan ini membuat kita ketika menonton Eiffel I'm in Love ketika di adegan Sandy Aulia berlari-lari karena salah menunggu di bandara Soekarno-Hatta dan lantas bertubrukan dengan Samuel Rizal, seketika terlintas "Ah ini adegan Hollywood banget." Paling tidak di kepala saya sih terlintas pikiran itu.
Lantas ada kategorisasi lain, berjudul cultural identity of national cinema. Isinya adalah apa yang disampaikan dalam film, cara pandang serta gaya narasi serta representasi yang digunakan dalam film tersebut. Ah, ini makin sulit lagi mendefinisikan film nasional. Indonesia saja punya budaya yang begitu beragam, mana yang disebut sebagai 'budaya Indonesia'? Lantas kalaupun ada konsep 'budaya Indonesia' maka pastilah itu propaganda dari pemerintah (NKRI, budaya timur, atau apalah itu namanya). Lantas kalaupun kita terima apa itu 'budaya Indonesia' artinya dalam film nasional ada internal cultural colonialism. Idih, gak asik banget gak sih. Kita dijajah sama film sendiri tentang makna nasionalisme. Yang kebayang, langsung film G30S/PKI yang wajib ditonton jaman dulu (damn, itu penulisan PKI aja juga fait-a-compli serta propaganda luar biasa toh?). Dari kategori ini lantas disimpulkan lagi bahwa film nasional tidak serta merta merefleksikan identitas diri dan budaya yang sifatnya homogen. Setuju.
Atau ada juga kategori inward-looking dan outward-looking. Yang pertama adalah dengan memperhatikan kondisi ekonomi, sosial dan politik di negara masing-masing. Yang kedua maksudnya adalah mencari identitas film nasional dengan membandingkan dengan film negara lain. Misalnya, ketika kita lihat film Full Monty maka itu kita anggap film "Inggris banget". Lalu kita memecahnya jadi beberapa identifikasi (mengapa kita menganggapnya 'Inggris banget' gitu) dan membandingkannya dengan film Indonesia. "Saya cakep karena kamu jelek" gitu deh gampangnya, hihihi.
Andrew Higson menyampaikan tiga wanti-wanti yang bisa dipakai untuk melihat apa itu film nasional. Pertama, sirkulasi film. Kedua, bagaimana penonton 'menggunakan' film tersebut. Ketiga, hubungan antara sirkulasi film dengan kemungkinan mencapai penonton yang berbeda. Nah lho, yang ketiga ini emang rada ribet. Karena bisa dilihat dari intellectual discourse, yaitu film nasional adalah film yang 'berkesenian' dan populist discourse, yang melihat film nasional sebagai hiburan massal yang mendaur ulang mitos-mitos yang populer di tengah masyarakat. Ah ini kok makin ribet lagi. Setuju gak?
NAH, kebingungan mendefinisikan film nasional tidak berhenti di sini saudara-saudara. Kenapa? Karena argumentasi yang dari tadi diajukan Andrew Higson itu seolah mengklaim bahwa 'identitas nasional' adalah sesuatu yang udah saklek dan terbentuk matang. Padahal, kalau lagi-lagi mengacu pada Benedict Anderson dengan imagined community-nya, coba, gimana kita mendefinisikan 'identitas nasional'. Ini kan masih on-going process juga, karena identitas nasional itu selalu berproses. Gitu bukan?
Nah hal lain yang luput diperhatikan Andrew Higson di tulisan pertamanya tentang inward-looking dan outward-looking. Asumsi itu ternyata dianggap problematik (anjrit, 80-an banget.. 'problematik') karena (1) seolah-olah identitas nasional itu sudah jadi dan matang (2) karena sulit betul menegaskan 'batas nasional' karena dunia ini sudah menjadi oh begitu global dan transnasional. Betul kan?
Ngehe-nya, di tulisan kedua Higson ini (yang isinya kurang lebih 'koreksi' atas tulisan pertamanya yang dibuat 10 tahun silam), Higson malah mempertanyakan kembali pertanyaannya. "Penting gak sih mendefinisikan apa itu 'film nasional'?" Dwoooh. Kayak Olin aja nih di film 30 Hari Mencari Cinta... huhuhuhu. Trus dari tadi ngapain kita ngomongin soal kategori-kategori dan ways to define 'national cinema'?? Plis deeehh...
Higson mengakhiri tulisannya dengan kesimpulan bahwa it is inappropriate to assume that cinema and film culture are bound by the limits of the nation-state. Juga bahwa to make assumptions about national specificity is to beg too many questions.
It doesn't seem useful to me to think through cultural diversity and cultural specificity in solely national terms : to argue for a national cinema is not necessarily the best way to achieve either cultural diversity or cultural specificity.
Ngarti? Jadi ngapain capek-capek nulis segala macem cara mendefinisikan 'film nasional' kalau ternyata "tidak penting untuk membicarakan apa itu 'film nasional'"? Huaaaaaa...
[Terinspirasi Andrew Higson dalam "The Concept of National Cinema" (1989) dan "The Limiting Imagination of National Cinema" (2000)]
dok: sinemaindonesia
Saturday, November 05, 2005
Lebaran
Lebaran di London, Inggris, tak seperti di Jakarta atau kota-kota lain di Indonesia, yang ditandai dengan hari libur plus cuti bersama. Di sana, kehidupan bergulir seperti biasa. Jalanan tetap macet, orang-orang tetap bekerja dan tidak ada hari libur. Reporter 68h, Citra Prastuti, saat ini tengah berada di London untuk melanjutkan studinya. Bagaimana dia dan juga warga Indonesia lainnya di kota tersebut merayakan Lebaran, jauh dari kampung halaman? Berikut laporan Citra Prastuti dari London.
Kalau kemarin pagi saya ada di Jakarta, saya pasti sudah dibangunkan dengan gemuruh takbir dan beduk yang bertalu-talu. Tapi pukul 7 pagi di London kemarin sama seperti pagi-pagi lainnya. Dingin mulai menusuk di hari-hari awal musim gugur. Jangan terlalu berharap kehangatan suasana Lebaran di sini.
Di kota London, diperkirakan ada satu juta umat Muslim yang tinggal di sini. Kalau ditotal dari berbagai penjuru Inggris Raya, kira-kira ada sekitar dua juta umat Muslim yang datang dari berbagai belahan dunia. Kalau kita bergerak menuju daerah pemukiman Muslim, barulah terasa nuansa hari raya. Orang-orang tampak keluar rumah dengan pakaian yang lebih istimewa. Tak sekadar baju kerja atau sekolah yang mereka pakai sehari-hari.
London Central Mosque, mesjid terbesar di London, menunjukkan kemeriahan itu.
Ratusan orang tumpah ruah di mesjid yang rampung dibangun tahun 1978 silam ini. Berbagai macam bentuk rupa manusia ada di sana, dengan beragam warna dan atribut diri, semuanya memancarkan kegembiraan hari raya. Mesjid yang dirancang Sir Frederick Gibberd ini sanggup menampung 1800 jemaat, dengan ornamen khas Islam dengan dominasi warna biru di balik kubah besar berwarna emas.
Warga Indonesia yang tinggal di London dan sekitarnya lebih memilih melaksanakan shalat Idul Fitri di kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia, di Grosvernor Square. Kantor KBRI London ini letaknya berdekatan dengan kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat, di kawasan cukup elit, tak jauh dari tempat belanja nan hiruk pikuk, Oxford Street. Meski kantor diliburkan untuk urusan visa dan sebagainya, suasana di dalam sungguh riuh. Celetukan bahasa Indonesia mulai ramai terdengar di sana sini, bercampur tuturan bahasa Inggris yang fasih dari anak-anak kecil.
Bagi Rizki Fona, ini adalah lebaran kedua tanpa keluarga. Sejak Februari lalu, Kiki, panggilan akrabnya, melanjutkan studi S1-nya di London Metropolitan University. Perempuan berkacamata ini kangen betul berlebaran di rumahnya.
(Gimana rasanya lebaran dua kali tanpa keluarga?) Bete sih sebenernya… sebenernya sih bete.
Bagi Kiki, Lebaran juga berarti keriaan berburu makan gratis.
Biasanya, seperti kayak di Jakarta sih. Shalat Ied dulu pagi-pagi. Kalau yang mahasiswa biasanya hunting makanan gratis di Mawar Restoran di Edgware, lalu siangnya kita ngumpul di rumah dutanya, makan siang bareng.
Mawar, yang disebut-sebut Kiki, adalah nama sebuah restoran yang menyajikan makanan Malaysia, yang rasanya mirip dengan masakan Indonesia. Setiap Lebaran, restoran ini mengkhususkan diri menyajikan makanan gratis, demi bersama-sama merayakan hari raya.
Kalau Kiki rindu rumah, Aidinal Al Rashid justru lebih sulit berhitung berapa kali bisa berlebaran di kampung halamannya, Makassar, Sulawesi Selatan. Ia sudah nyaris 30 tahun tinggal di London bersama keluarganya dan kini bekerja di British Council. Aidi, yang juga Ketua Federasi Pencak Silat Inggris Raya, mengaku selalu menyempatkan diri cuti saat Lebaran. Suasana lebaran dari tahun ke tahun, bagi Aidi, terasa makin semarak.
Kalau lebaran itu tambah lama tambah meriah kayaknya. Waktu saya pertama datang, 30 tahun yang lalu, umat Islam di Inggris ini belum terlalu banyak. Sejak jaman reformasi ini, KBRI ini sudah jauh lebih terbuka. (Jaman dulu memangnya?) Jaman dulu itu KBRI itu agak sedikit angker. Maklum saja, jaman Orde Baru dulu, masyarakat biasa kadang-kadang nggak terlalu ditanggap, kecuali bos-bos lah, atau anak-anak bos…
Ah, tak usah risau. Suasana halal bihalal, berkumpul bersama kerabat seperti layaknya Lebaran di rumah sendiri, tetap bisa dilakukan di London. Bahkan warga Indonesia yang tinggal di luar kota London, banyak yang mengkhususkan diri untuk melancong demi berlebaran dengan kerabat dan teman dekat di sini. Termasuk jika harus berkelana naik kereta minimal satu jam lamanya.
Bagi mahasiswa, banyak yang memilih bolos. Sementara mereka yang sudah bekerja, harus mengajukan cuti dahulu kalau mau berlebaran dengan tenang.
Walaupun banyak orang Islam di Inggris Raya ini, Idul Fitri bukan tanggal merah. Jadi kayak saya dan teman-teman yang kerja terpaksa ambil cuti untuk merayakan. (pernakah ada dorongan untuk menjadikan lebaran sebagai hari libur?) Kayaknya belum pernah ya. Pernah ada dari masyarakat umumnya, masyarakat Islam di Inggris, yang mulai berpikir bahwa kita memberikan kontribusi ekonomi dan politik yang mulai besar, terutama ekonomi ya. Sedangkan kita itu nggak diakui hari besar kita. Nah, sementara ini dari pemerintah sikapnya itu, oh ya bisa aja ambil cuti sehari, dikasih special leave, tergantung instansi masing-masing. Tapi belum sampai di tahap dijadikan tanggal merah, itu belum.
Lalu di manakah tempat bagi mereka yang merindu dan ingin menikmati sajian makanan lebaran khas Indonesia? Wisma Nusantaralah tempatnya.
Tempat halal bihalal ini bernama Wisma Nusantara. Lokasinya di daerah East Finchley, berjarak sekitar 20 menit dari pusat kota London, jika perjalanan ditempuh dengan menggunakan kereta bawah tanah. Dari stasiun kereta, masih harus berjalan lagi sekitar 15 menit, di tengah deru angin musim gugur yang mulai menusuk tulang.
Wisma ini adalah rumah dinas duta besar Indonesia untuk Inggris. Setelah Juwono Sudarsono didaulat menjadi Menteri Pertahanan, posisi duta besar sampai sekarang masih kosong. Menurut staf KBRI, Marty Natalegawa, sebagai pengganti Juwono, baru akan datang setelah Lebaran nanti.
Rumah berbata merah ini berukuran besar, terletak di daerah perumahan yang terbilang tampak lengang. Di daerah ini juga, penyanyi Mick Jagger dan George Michael pernah bertempat tinggal. Untuk menambah luas arena halal bihalal, di bagian belakang rumah ditambah lagi dengan tenda tertutup berwarna putih yang terdiri dari dua bagian, satu di tengah dan satu di kiri.
Dan di sini, suasana jauh lebih ramai lagi.
Makanan yang disajikan juga mengundang selera. Paling tidak, memuaskan rindu pada masakan Indonesia terhitung sulit dimasak sendiri. Ada opor ayam, rendang, kentang kering, serta gulai nangka dan kerupuk. Lalu di meja camilan, ada bajigur, minuman bersoda, juga kue lumpur dan pastel. Bayangkan kalau makanan seperti itu harus dimasak sendirian di dapur asrama…
Othniel Lande termasuk warga perantauan yang tak bisa ikut bertemu kawan-kawan setanah air di Wisma Nusantara. Ia tak bisa cuti Lebaran. Sebagai penjaga malam di kantor KBRI, ia mesti masuk, menggantikan teman kerjanya yang lebih dahulu cuti. Artinya, ia harus melewatkan sepanjang hari Lebaran kemarin berjaga di kantor KBRI seorang diri. Pun, jauh dari keluarga di Jakarta.
Temen saya itu satu pulang. (sendirian dong pak?) Iya nih, saya ambil alih sementara jadinya. (wah jadi dubes sementara dong pak?) Hahahaha.
Selamat Lebaran semuanya.
Citra Prastuti, London, Inggris.
[Radio 68h, November 2005]