Monday, May 09, 2005

Perempuan-perempuan Joe

Mula-mula saya pikir perempuan-perempuan yang ada di tayangan reality TV Joe Millionaire Indonesia itu pasti perempuan bodoh. Jelas bodoh, karena mereka mau saja disuruh tampil di depan televisi (yang artinya ada di hadapan puluhan juta pasang mata di seluruh Indonesia) dan memperebutkan satu laki-laki yang milyuner bohongan.

Mula-mula juga saya kasihan sama mereka, karena terperangkap dalam konsep-konsep buatan manusia dalam rangka memperebutkan sesuatu. Perempuan tercantik lah yang akan dipilih, sementara yang kurang cantik, maka pulang lah kau dengan tangan hampa. Sang laki-laki pun punya kesempatan yang sangat mewah, untuk bisa menentukan siapa yang bertahan dan siapa yang pulang setiap pekan, dengan kesadaran nyata bahwa dia sejatinya bukanlah orang kaya.



Lalu saya bicara dengan perempuan-perempuan itu.

Tary kehilangan pekerjaannya karena tak kunjung tereliminasi dalam tayangan itu. Sandra bolos dari pekerjaannya sebagai model atas seijin agensinya untuk ikut memperebutkan Joe cap Madura alias Marlon. Dinar menangis sesegukan karena harus berpisah dengan ibunya selama satu bulan syuting di Bali. Ketika ditanya, semua sepakat berkata bahwa ini semata-mata pengalaman yang ‘kenapa nggak dicoba?’ Lalu kemudian tentu saja ada uangnya. Kalau tidak, mengapa harus mengorbankan segala hal yang sudah dimiliki di dunia nyata? Yang lain tak mau mengaku berapa uang yang dikantonginya. Cuma Tary yang menyebut pasti : 100 juta rupiah.

Jumlah itu tak sedikit bagi Tary yang sehari-harinya bekerja sebagai pegawai swasta di sebuah perusahaan milik Aburizal Bakrie. Bagi Sandra dan Dinar yang sehari-harinya bekerja sebagai model, uang ini juga bukan sesuatu yang bisa mereka peroleh dalam satu kali kesempatan. Tapi kesempatan bersama Joe Millionaire Indonesia ini adalah sesuatu yang mewah : berkesempatan ke Bali, gratis, bisa mendapat perhiasan dan hadiah-hadiah menarik per minggunya, juga bisa ‘bersaing’ memperebutkan Marlon.

Perempuan-perempuan ini berkeras : mereka sadar penuh bahwa ini adalah permainan. Di awal kontrak memang tak pernah disebut apa nama program reality show ini. Mereka hanya diberitahu kalau akan muncul dalam ‘big tv date’, tanpa menyebut judul tayangannya. Begitu sampai di Bali, barulah mereka menebak-nebak acara apa gerangan yang tengah mereka ikuti. Dari saat Marlon turun dari helikopter dalam episode pertama, Tary sudah yakin, “Ini pasti acara seperti For Love or Money atau Joe Millionaire. Saya kan nonton acara-acara seperti ini.”

Paling tidak saya sudah diyakinkan dalam satu poin : mereka ikut ini semua dengan kesadaran penuh.

Begitu program Joe Millionaire Indonesia ini muncul di RCTI pertengahan Maret lalu, langsung muncul kritik di sana-sini. Kebanyakan protes seputar ketidaksetaraan relasi antara perempuan dan laki-laki yang jelas-jelas muncul di sana : 20 perempuan memperebutkan satu laki-laki, milyuner bohongan pula. Acara ini tentu saja bukan ide orisinil pemuda-pemudi bangsa yang telah menyingsingkan lengan baju, karena ini aseli mencontek. Artinya, penonton Indonesia juga sudah pernah melihat versi asli tayangan seperti ini. Ragamnya pun banyak, ada The Bachelor/Bachelorette, ada For Love or Money dan ada juga Joe Millionaire. Bukan barang baru. Tapi begitu diadaptasi ke Indonesia, kenapa jadi begitu menyakitkan?

Ini adalah permainan. Saya sadar, perempuan-perempuan itu juga sadar, Naratama sang sutradara pun berharap begitu. Pastinya. “Penonton Indonesia sudah cukup pandai untuk memahami bahwa ini adalah permainan,” alasan macam ini yang pastinya dikedepankan. Saya bukannya tidak setuju dengan argumentasi itu. Toh, saya tidak dalam posisi membodohi penonton, karena saya juga penonton televisi (yang aktif memindah saluran dengan kekuatan remote di tangan, tentunya). Tapi frase ini sangat rentan. Frase ini sama rentannya dengan argumentasi para pembuat sinetron : “Kita hanya menyesuaikan dengan selera penonton Indonesia.”



Lalu, kita kembali ke perempuan-perempuan ini. Apakah mereka bersungguh-sungguh ketika memperjuangkan perhatian Joe?

Perempuan-perempuan yang saya tanya ternyata serius betul memperlakukan ini sebagai sebuah permainan : “Kami hanya melakukan yang terbaik dengan menjadi diri sendiri.” Ini ibarat permainan tiap 17 Agustus, saat kita beradu cepat makan kerupuk atau lomba balap karung. Namun pialanya bukan lagi trofi besar berwarna kuning, tapi seorang laki-laki. Jangan lupa, layaknya permainan, juga ada persaingan di dalamnya. Ada saja perempuan-perempuan yang mengungkapkan keirian mereka terhadap satu sama lain. Yang saya ingat betul, Tere jelas-jelas memperlihatkan itu kepada Nelly, ketika Marlon hanya mengajak Nelly naik ke atas gajah. Saya lantas berpikir, apakah mereka tidak merasa ridiculous ketika harus melakoni lomba itu?

Tapi kalau saya jadi mereka, saya mungkin juga akan bermain sebaik mungkin supaya tidak tereliminasi. Ini momen tepat untuk memperkaya diri sendiri. Apalagi untuk orang seperti Tary yang dipecat dari pekerjaannya karena terlalu lama bolos kerja untuk syuting. Tiap pekan, ada bayaran yang menanti. Juga ada kalung, gelang dari Goldmart, sebagai salah satu sponsor. Berkesempatan pakai baju-baju bagus, didandanin, experiencing to be ‘someone else’, dibayar pula. I might as well do as they did : do my best. Haha!

Sebagai sebuah tontonan, apalagi dibesut oleh seorang Naratama yang bukan orang baru di dunia televisi, tentu dia tak kan menyerah pada argumennya sendiri : tak ada skenario. Skenario toh dibangun berdasarkan karakter. Dan tim produksi lah yang menentukan karakter perempuan macam apa yang dimainkan di tayangan Joe Millionaire Indonesia kali ini. Karakter yang saya anggap cukup membantu arahan ‘skenario’ adalah Tere dan Meidy. Tere, karena memperlihatkan rasa iri secara cukup jelas. Meidy, sebagai karakter antagonis sejati sepanjang program berjalan, sampai dia tereliminasi. Karakter yang lain, yah sekedarnya saja lah. Ada rasa-rasa iri sedikit yang agak muncul, tapi perempuan-perempuan itu berusaha diplomatis.

Meidy adalah satu-satunya karakter antagonis di sini. Jebolan (alias DO) FISIP UI ini terlihat beberapa kali menghina teman-temannya sesama kandidat pacar Joe, sebagai ‘badut-badut Joe’. Ajaib juga mendapati pernyataan seperti ini muncul, karena toh dia ada di dalam program yang sama. Beda kalau pernyataan itu keluar dari kita yang menonton di luar layar kaca. Tapi hei, ente kan ada di di situ juga, terlibat dalam kegilaan itu… Apa tak terpikir acaranya bakal segila ini?

Satu poin lagi yang disasar 'pecinta' Joe Millionaire Indonesia, termasuk saya, adalah soal ‘penting gak sih acara ini?’. Ingatkah Anda pada kalimat ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’? Lalu di mana letak kalimat bombastis ini pada tayangan satu jam di Minggu malam dan satu jam di Rabu malam ini?

Sandra, Tary dan Dinar yakin bahwa ada sisi edukatif dalam tayangan ini. Mereka menyebut sejumlah contoh pertemuan mereka dengan Larasati, Miss Singapore, dan pakar-pakar macam itu lainnya di salah satu hari-hari syuting mereka di Bali. Kalau dilihat dari kacamata itu, mungkin itu berguna bagi mereka, sebagai pelakon calon pacar Joe. Tapi buat penonton? Sisi edukasi apa yang tersisa bagi mereka?

Joe Millionaire Indonesia adalah kontroversi sesaat. Diskusi yang digelar wartawan-wartawan hiburan beberapa waktu lalu sebetulnya juga sudah bisa ditebak arahnya, siapa berargumentasi seperti apa.

Ujung dari kontroversi, bagi sebuah program televisi, sama jelasnya, yaitu kenaikan rating. Dan itu sudah dibuktikan oleh Naratama. Ibu Naratama giat berhitung, acara yang digarap anaknya meraup iklan yang terus bertambah tiap pekannya. Sandra, Tary dan Dinar tak pernah menyangka bahwa acara mereka bakal dibenci sekaligus ditunggu. RCTI tentu tenang-tenang saja di belakang meja, karena program kontroversial sama dengan rating tinggi sama dengan uang banyak. So, what’s to worry?

Dinar masih rajin mengirim SMS kepada saya, supaya tak lupa menonton Joe Millionaire Indonesia, di hari Rabu dan Minggu. Malam ini, kata Dinar, tak ada yang dieliminasi.

Wah, benar begitu?

Saya akan menonton Joe Millionaire Indonesia malam ini. Seperti juga Minggu-Minggu malam sebelumnya di pukul 22 WIB. Ibu saya sampai enek karena semakin saya nonton, semakin saya mengerang. Saya tidak suka tontonan itu. Tapi saya harus paham betul apa yang saya tidak suka.

Saya kesyel, karena itu saya menonton.

dok: cybertainment, nova

Saturday, May 07, 2005

Kreativitas Lima Ribu Perak

Yang namanya ide, pastilah mahal harganya. Apalagi kreativitas. Orang dituntut untuk berpikir out of the box untuk menghasilkan sesuatu yang brilian. Tidak semua orang, mestinya, punya kemampuan kreatif yang tinggi. Dan untuk itu, kreativitas, juga ide, mesti dihargai secara pantas dan layak.

Tapi kalau sebuah kreativitas, gagasan, ide hanya dihargai Rp 5 ribu per lembarnya, apa jadinya? Dan itulah saudara-saudara, harga dari selembar skrip sinetron yang setiap jam-nya kita tonton di televisi Indonesia, di saluran mana pun.

Kalau kita baca cerita tentang penulis-penulis muda untuk sinetron, sepertinya yang muncul hanya yang bagus-bagus saja. Secara uang, mereka bisa kaya raya, tinggal di apartemen, dihargai tinggi dan lain-lain. Itu mungkin untuk mereka yang sudah punya ‘nama’ di kalangan sinetron. Tapi buat yang baru memulai? Ya Rp 5 ribu itu.

Saya sempat ditawari untuk menulis skrip sinetron untuk sebuah rumah produksi berinisial MD (ah, nggak inisial banget sih!). Saya tidak tahu berapa bukaan harga pertama sebagai calon penulis yang tidak punya pengalaman apa pun di bidang tulis menulis sinetron. Kemampuan menulis, jelas ada, tapi tidak untuk sinetron, yang for God sake, sungguh-sungguh saya benci. Saya ingin menjajal emosi dan kemampuan saya saja ketika mengajukan diri untuk pekerjaan itu : sanggupkah saya mengerjakan sesuatu yang saya benci?

Tentu saja di tawaran pertama itu saya tidak sungguh-sungguh diserahi tanggung jawab untuk menulis keseluruhan skenario. Ah, siapa lah saya ini di hadapan mereka. Saya akan menjadi asisten co-writer. Jadi ternyata begitu cara kerja di sinetron : ada writer yang punya gagasan besar tentang sinopsis suatu sinetron, lalu ada co-writer yang memecah gagasan itu per episode dan per scene, lalu ada seorang saya, alias asisten co-writer, yang memecah adegan per scene itu dalam dialog. Sebetulnya, judul “asisten co-writer” itu hanya karangan saya saja, karena saya tidak tahu nama resmi pekerjaan ini.

Mula-mula saya diberi tes dulu oleh penyelia. Ini adalah jabatan di antara writer dan co-writer, untuk memastikan supaya gagasan sang writer ini diterjemahkan secara tepat ke dalam episode dan scene. Oleh si penyelia ini, saya diberi gambaran tentang sebuah situasi. Misalnya seperti ini. Ani itu orang jahat dan Ina itu orang baik. Mereka berdua adalah saudara tiri, tinggal satu rumah, dengan ibu tiri – yaitu ibunya si Ani jahat – dan ayah kandung yang lemah (layaknya laki-laki tak berkepribadian di sinetron itu). Ina baik ini pacaran dengan laki-laki ganteng dan kaya raya bernama Budi. Lalu tiba-tiba Budi ini lupa ingatan dan ‘diracuni’ pikirannya oleh Ani jahat bahwa yang jahat sesungguhnya adalah Ina. Lalu saya diminta menggambarkan dialog antara Ina baik dan Budi, ketika Ina berupaya meyakinkan Budi yang lupa ingatan itu bahwa mereka masih pacaran.

Ah, ini mah cincay!

Lalu mulailah saya menulis. Oya, sebelum saya lupa, saya menulis keseluruhan dialog itu nantinya dalam bahasa Inggris. Kenapa? Karena saya akan bekerja untuk seorang writer dari India. Hm, well, sinetron kita kan memang dikuasai ‘mafia’ keluarga India, toh?

Tak lama setelah saya serahkan hasilnya ke penyelia, dia datang kembali dengan wajah bahagia : We like it. Saya langsung pasang wajah bahagia, tersipu malu dan ekspresi aduh-gak-nyangka-dipuji-padahal-kan-ini-baru-pertama-kali-lho. Padahal ya nggak merasa dipuji juga. Ya ampun, ini sinetron gitu! Kenapa juga mesti bangga?

Setelah lulus dari penyelia, barulah saya bertemu dengan si writer. Laki-laki, 40an tahun, sudah punya satu anak usia SD. Si penyelia ini adalah istri si writer. India juga. Lalu kita mulai bicara-bicara uang di apartemennya di kawasan Senen, Jakarta Pusat.

Tiga episode pertama, dibayar Rp 250 ribu/episode. Tiga puluh episode berikutnya, dibayar Rp 350 ribu/episode. Setelah itu, bayarannya meningkat menjadi Rp 500 ribu/episode.

Saya mengangguk saja. Oke. Di kepala saya cuma satu hal : jajal saja dulu, jangan pikirin duitnya! Tapi sadar tidak sadar, saya segera meraih telfon selular saya. Memencet angka 8 yang lama, lalu keluar ‘calculator’. 250000 : 50 = 5000. Astaga! Saya mendekatkan layar telfon untuk meyakinkan diri bahwa saya menghitung jumlah angka nol dengan tepat. Iya, benar. Lima ribu. Satu episode terdiri dari kira-kira 50 halaman. Yah, minimal 40 halaman lah : font ukuran 12, spasi 1,5. Hitung saja dengan angka maksimal, 50 halaman. Lalu ini artinya, satu halaman hanya dihargai Rp 5 ribu!

That’s way too low!

Ok, jangan panik, jangan parno. Coba kita lihat sisi terangnya (manaaaa?). Ini adalah pengalaman baru, patut dicoba, seberapa pun saya benci pada sinetron. Siapa tahu saya bisa menyalurkan ide-ide logis saya supaya di masa yang akan datang, sinetron Indonesia bisa lebih masuk akal, wajar, mendekati kenyataan dan lain-lain.

“Basically, we are doing what we don’t believe.”

Begitu kata si penyelia, istri dari writer India yang menguji kemampuan gw menulis dialog itu. Hm, oke. Paling tidak, ternyata mereka sadar kalau yang mereka tulis itu sungguh mengada-ada. Saya pikir tadinya mereka ibarat anak autis, yang sibuk dengan dunianya sendiri, yang sibuk percaya bahwa ‘selera penonton’ yang mereka anut itu sejatinya hanya ilusi saja. Ah ternyata mereka sadar juga. Tapi kalau sadar, kenapa tetap begitu-begitu saja sinetron kita?

Nah, berbekal anggukan kepala itu, saya menjadwalkan pertemuan berikutnya : untuk mendapat briefing soal sinetron yang akan segera digarap dan saya buatkan dialognya. Sampai di titik ini, saya masih berbesar hati. Saya masih dengan semangat besar (yah, nggak besar-besar banget sih) untuk menjajal sesuatu yang baru, seraya menitipkan harapan pada sinetron Indonesia.

Lalu sampailah saya pada keterpurukan begitu tahu sinetron apa yang akan saya garap. Tadinya saya sudah menyiapkan diri untuk berbagai sinetron anak sekolah, orang sangat baik versus orang sangat jahat, pengkhianatan, percintaan, perselingkuhan, intrik antar keluarga pebisnis dan sebangsanya. Saya langsung garuk-garuk kepala begitu tahu gagasan sinetron yang akan segera ditulis ini.

Gatotkaca versus Dajjal.

Oh yeeeaaaaahhhh?!

Bertahan, bertahan, bertahan… ini pengalaman baru… dicoba saja dulu.. kalau tidak dicoba, mana tahu bisa atau tidaknya.. You have to know what you hate… hayo bertahan, bertahan, bertahan…

Lalu si co-writer ini menjelaskan panjang lebar tentang episode pertama dan kedua yang sudah digarap sebelumnya. Saya berusaha memasang mimik serius selagi mendengarkan dia, menahan diri untuk tidak ketelepasan berekspresi menghina. Setelah menjabarkan episode satu dan dua, lalu kita mulai membicarakan episode ketiga, yang akan saya garap dialognya itu.

Dan dia meminta saya untuk mencatat adegan per scene. MENCATAT? Apa tidak bisa saya hanya ambil print-out, saya baca-baca, saya tanya yang tidak saya mengerti, lalu salaman dan pulang? Oh tidak bisa. Karena si co-writer baru menyelesaikan rincian per scene itu kira-kira beberapa jam yang lalu, sehingga itu semua masih dalam bentuk coretan kasar, tulisan tangan jelek yang sama sekali tidak mudah dimengerti. Argh. Tapi lagi-lagi dengan kerangka bertahan-cobalah-ini-pengalaman-baru, saya mencatat. Total ada 30 scene yang harus saya catat. Berlembar-lembar notes saya habis sudah.

Sepanjang perjalanan mencatat, saya merasa didera begitu banyak penderitaan. Yang paling kronis tentu saja karena saya harus mengerjakan sesuatu yang saya benci dan siapa lah saya untuk bisa mengubah kegilaan sinetron ini menjadi lebih waras.

“Haha, elo tau lah penonton Indonesia kayak apa, kita kasih yang gampang-gampang aja!” begitu ucap co-writer-nya. Ringan. Seolah tak pernah kenal frase monumental seperti ‘mencerdaskan bangsa’.

Penderitaan lain adalah karena saya tidak siap dengan cerita silat. Saya paling tidak berminat dengan cerita silat, berkelahi atau semacamnya. Apalagi untuk konsumsi sinetron Indonesia, kok pastinya bakal bodor banget gitu. Terbersit juga rasa curang, karena kalau cerita silat, mestinya tidak banyak dialognya toh? Masa iya ‘ciaaaat’ pun harus dibuatkan dialognya?

Dengan bergulirnya cerita, saya mulai menyadari betapa banyaknya dialog yang harus saya buat. Apalagi karena lawan si Gatotkaca ini adalah Dajjal, maka ada banyak juga petuah-petuah agama yang mesti saya masukkan dalam dialog. Agama saya sih memang Islam, tapi pengetahuannya tiarap. Coba saja tanya saya tentang hari besar Islam, mana pun itu, saya pasti terbengong-bengong, tak bisa menjawab.

Bertahan, bertahan, bertahan… tapi… LIMA RIBU PER LEMBAR?

Pikiran saya tak bisa lepas dari frase itu.

250000 : 50 = 5000

Lima ribu rupiah saja per lembar untuk segala kegilaan yang harus saya tuangkan dalam dialog-dialog bodoh sinetron Indonesia.

Ajaibnya, dengan kesadaran penuh macam itu pun, saya masih butuh berhari-hari untuk memutuskan apakah saya akan mengambil pekerjaan ini atau tidak. Butuh berjuta-juta kali telfon penuh gundah gelisah untuk meyakinkan diri bahwa tidak apa-apa bagi saya untuk melepas kesempatan menulis komersil yang satu ini. Butuh puluhan ribu rupiah bagi saya untuk menelfon sana sini mencari penguatan bahwa saya dibayar teramat murah untuk menulis dialog, apalagi dalam bahasa Inggris, untuk sinetron itu.

Pada akhirnya, saya memutuskan untuk tidak mengambil pekerjaan ini karena tiga hal : uangnya kecil, waktunya tidak sempat, dan co-writer. Entah mengapa, saya kontan benci dengan co-writer sinetron ini karena ucapan ringannya itu. Ini pastinya semata-mata kebetulan belaka saja. Kebetulan karena dia memverbalkan pikiran itu, sebuah pikiran yang saya duga keras ada di kepala setiap penulis sinetron: berikan saja yang mudah-mudah kepada penonton Indonesia. Titik.

Point of no return banget. Sekali bodoh, tetap bodoh.

Akhirnya saya SMS saja si writer India itu : I’m very sorry. I can’t continue working with you.

Saya memang pengecut soal ini, tak sanggup bicara langsung. Bahkan ketika kebencian saya begitu menggunung, saya memilih SMS.