Waktu awal mengenal Mario Teguh lewat O'Channel, saya tidak suka.
Begitu juga ayah saya yang kerap bareng nonton TV. Dulu kami heran. Ini orang siapa sih, punya pengalaman kerja apa sih, sehingga bisa ngomong kayak gini. 'Jangan-jangan omong doang, bukan dari pengalaman,' begitu ayah saya menuding. Belum lagi ayah saya suka meniru cara Mario Teguh mengucapkan 'super' dengan agak dimonyong-monyongin.
Tapi kemudian saya beberapa kali mendapati ayah saya tenang-tenang menonton Mario Teguh di TV. Mungkin karena tidak ada tontonan lain yang menarik. Tapi ayah saya terlihat memperhatikan.
Lalu itu menular ke saya. Sekarang saya jadi senang menonton Mario Teguh. Berhubung saya manusia multi-tasking, saya perlakukan TV sebagai radio. Saya dengarkan, sambil mengerjakan hal lain. Paling sering, sembari membuat makanan untuk Senja.
Apa yang dia sampaikan sebetulnya hal-hal yang dialami sehari-hari, paling banyak soal relasi atasan-bawahan di kantor. Tapi dia bisa mengemasnya sedemikian rupa sehingga orang akan berpikir,'Iya ya...' sambil mengangguk-angguk. Seperti yang kerap saya lakukan.
Saya tetap tidak tahu apa latar belakang pendidikan Mario Teguh. Apa dia sebelum jadi so-called motivator. Tentu di dunia ini tidak ada dong orang yang meng-hire calon karyawan dengan posisi motivator. Tapi saya tetap menikmati Mario Teguh di televisi. Walau saya tidak pernah ingat kapan jadwal program tersebut. Walau saya tidak tahu apa nama acaranya. Walau telinga saya masih gatal setiap kali dia berkata 'Super'.
Ada satu paparan dia yang saya ingat betul sekarang. "Habis manis sepah dibuang itu biasa. Karena itu jadilah orang yang manisnya tak pernah habis."
Ah betul sekali itu.