Seumur-umur gw gak pernah suka Empat Mata-nya Tukul. Biar kata Hil ngakak-ngakak kalo nonton itu, gw tetep aja melengos. Gak ada lucu-lucunya, menurut gw.
Tapi semalem pertahanan gw runtuh. Tukul lucu banget. Tapi kayaknya ini ditolong sama tamu Empat Mata semalam: Sumanto.
Sumpah, hillarious banget ngeliat gimana Tukul ketakutan sama Sumanto. Apalagi Sumanto itu kan tampangnya lempeng plus serem banget gitu. Jadilah Tukul betul-betul memperlihatkan muka ketakutan sepanjang acara. Tukul bahkan sempet beberapa kali menyebut,'Duh acaranya lama banget' hahaha.
Pertanyaan-pertanyaan awal dari 'laptop' udah ketara banget bikin Tukul lemes. Dia harus nanya gini ke Sumanto,'Mas Sumanto, sebelum ke sini, sudah makan? Makan apa?' Begitu Tukul mengajukan pertanyan itu, mukanya langsung berubah sepet, lalu dia berdiri dan jalan ke arah belakang panggung. Lalu dia teriak ke tim balik layar,'Mbok nanya jangan yang kayak gitu,' dengan muka panik tapi pasrah.
Lalu di sesi apa gitu, si perempuan figuran bilang ke Sumanto,'Gapapa ya Mas Sumanto, yang penting kan makan gak makan asal kumpul.' Sumanto meringis dan menyahut,'Oh kalo saya beda. Kumpul gak kumpul asal makan.'
Wakwaw. Langsung dah tu mukanya Tukul sepeettttt banget, hahahaha.
Yang ajaib tuh ketika Tukul nanya ke Sumanto soal kenapa dia memakain mayat manusia. Jawaban Sumanto emang gak terlalu jelas, blunder gitu deh. Tapi kurang lebih gini,'Saya makan itu kan buat naik haji. Tapi berhubung ketauan, jadinya gak naik haji.'
Makkkssuuudd lloooohhh...
Thursday, October 30, 2008
Tuesday, October 28, 2008
Pedofil, Tangkap Saja
Polisi Indonesia memang aneh. Ada pedofil yang terang-terangan muncul di berbagai media, berfoto dengan wajah bangga, tapi tak juga ditangkap.
Pedofil yang bangga akan kelakuan bejatnya itu adalah Pujiono Cahyo Widianto. Laki-laki usia 43 tahun, yang menikahi perempuan usia 12 tahun. Kelakuannya bejat, itu jelas. Yang lebih bejat lagi adalah fakta bahwa dia adalah seorang kyai, pemilik pondok pesantren. Kita jadi bertanya-tanya, apa gerangan yang dia ajarkan kepada para santrinya? Untuk meniru perbuatan pedofil dan mencari pembenaran atas nama agama?
Tak ada untungnya bagi perempuan usia 12 tahun yang baru lulus SD itu ketika menikah dengan Pujiono yang umurnya 43 tahun. Hak Lutfiana sebagai anak jelas terenggut. Masa depan Lutfiana masih sangat panjang untuk dirajut sendiri, tanpa ikatan perkawinan dengan orang yang lebih pantas menjadi bapaknya. Begitu dinikahi, Lutfiana memang langsung diangkat jadi Manajer PT Sinar Lendoh Terang, perusahaan kaligrafi dari kuningan milik Pujiono. Tapi ini juga bukan keberuntungan. Ini sama saja Lutfiana dijadikan pekerja anak, meskipun jabatannya adalah bos.
Ini adalah pelanggaran aturan yang terang benderang, ada di depan mata, tepat di bawah hidung polisi. Pujiono jelas melanggar UU Perkawinan, yang menyebut usia minimal bagi perempuan untuk menikah adalah 16 tahun. Pujiono juga melabrak UU Perlindungan Anak, karena melakukan kekerasan seksual terhadap anak-anak; juga mempekerjakan anak. Sanksi yang tersedia dari penjara 5 tahun sampai denda 100 juta rupiah. Ditambah lagi, Pujiono juga melanggar KUHP. Nah, kurang banyak apa pelanggaran hukum yang dilakukan Pujiono?
Kini yang kita lihat di media malah Pujiono terkekeh-kekeh. Tak sedikit pun terlihat malu, karena ada banyak aturan hukum yang dilanggar. Pujiono mencoba berkelit dengan alasan pernikahan dilakukan tanpa paksaan dan disetujui orangtua si perempuan yang di bawah umur itu. Dia juga mengajukan dalih agama sebagai pembenaran atas perkawinan tersebut. Lantas apa polisi bisa diam saja dengan pembenaran tak logis macam begini? Ini jelas pelanggaran hukum, dan Indonesia menganut hukum sekuler, bukan hukum agama.
Yang juga bikin pusing kepala adalah pengakuan Pujiono bahwa dia menyukai anak-anak kecil. Kalau disuruh memilih menikah dengan anak kuliahan atau anak kecil, ia jelas-jelas memilih anak kecil. Bukankah ini pengakuan diri secara terbuka sebagai pedofil?
Kasus kekerasan terhadap anak bukanlah delik aduan. Tak perlu dialog macam-macam, tak perlu mencoba memahami, apalagi mengesahkan pembenaran atas nama agama yang dilakukan Pujiono.
Pedofil ya harus ditangkap, bukan dibiarkan.
Pedofil yang bangga akan kelakuan bejatnya itu adalah Pujiono Cahyo Widianto. Laki-laki usia 43 tahun, yang menikahi perempuan usia 12 tahun. Kelakuannya bejat, itu jelas. Yang lebih bejat lagi adalah fakta bahwa dia adalah seorang kyai, pemilik pondok pesantren. Kita jadi bertanya-tanya, apa gerangan yang dia ajarkan kepada para santrinya? Untuk meniru perbuatan pedofil dan mencari pembenaran atas nama agama?
Tak ada untungnya bagi perempuan usia 12 tahun yang baru lulus SD itu ketika menikah dengan Pujiono yang umurnya 43 tahun. Hak Lutfiana sebagai anak jelas terenggut. Masa depan Lutfiana masih sangat panjang untuk dirajut sendiri, tanpa ikatan perkawinan dengan orang yang lebih pantas menjadi bapaknya. Begitu dinikahi, Lutfiana memang langsung diangkat jadi Manajer PT Sinar Lendoh Terang, perusahaan kaligrafi dari kuningan milik Pujiono. Tapi ini juga bukan keberuntungan. Ini sama saja Lutfiana dijadikan pekerja anak, meskipun jabatannya adalah bos.
Ini adalah pelanggaran aturan yang terang benderang, ada di depan mata, tepat di bawah hidung polisi. Pujiono jelas melanggar UU Perkawinan, yang menyebut usia minimal bagi perempuan untuk menikah adalah 16 tahun. Pujiono juga melabrak UU Perlindungan Anak, karena melakukan kekerasan seksual terhadap anak-anak; juga mempekerjakan anak. Sanksi yang tersedia dari penjara 5 tahun sampai denda 100 juta rupiah. Ditambah lagi, Pujiono juga melanggar KUHP. Nah, kurang banyak apa pelanggaran hukum yang dilakukan Pujiono?
Kini yang kita lihat di media malah Pujiono terkekeh-kekeh. Tak sedikit pun terlihat malu, karena ada banyak aturan hukum yang dilanggar. Pujiono mencoba berkelit dengan alasan pernikahan dilakukan tanpa paksaan dan disetujui orangtua si perempuan yang di bawah umur itu. Dia juga mengajukan dalih agama sebagai pembenaran atas perkawinan tersebut. Lantas apa polisi bisa diam saja dengan pembenaran tak logis macam begini? Ini jelas pelanggaran hukum, dan Indonesia menganut hukum sekuler, bukan hukum agama.
Yang juga bikin pusing kepala adalah pengakuan Pujiono bahwa dia menyukai anak-anak kecil. Kalau disuruh memilih menikah dengan anak kuliahan atau anak kecil, ia jelas-jelas memilih anak kecil. Bukankah ini pengakuan diri secara terbuka sebagai pedofil?
Kasus kekerasan terhadap anak bukanlah delik aduan. Tak perlu dialog macam-macam, tak perlu mencoba memahami, apalagi mengesahkan pembenaran atas nama agama yang dilakukan Pujiono.
Pedofil ya harus ditangkap, bukan dibiarkan.
Subscribe to:
Posts (Atom)