Tadi sore, secara tidak sengaja saya menonton ’Dibayar Lunas’, sebuah reality show di RCTI. Rupanya ini program baru, baru tayang sejak 9 Mei kemarin.
Dari judulnya saja, sudah bisa terbayangkan dengan jelas bagaimana plot cerita yang ditawarkan reality show tersebut. Bisa diduga, production house acara itu adalah Triwarsana, yang dimiliki oleh Helmi Yahya. Dia memang biangnya reality show sejak awal booming di stasiun televisi swasta di tahun 2005-an, kalau tidak salah.
Semua reality show yang melibatkan orang miskin itu kejam. Orang miskin jadi bulan-bulanan, dipermalukan karena mereka miskin, dan penonton diharapkan untuk sedih atau kasihan dengan kondisi mereka. Tak perlu ditampilkan di TV pun, hidup mereka mestinya sudah cukup susah. Tapi hidup jadi tambah susah lagi karena mereka ditempatkan sebagai obyek tontonan. Lebih tepatnya, obyek untuk dipermalukan karena mereka miskin.
Saya tidak perlu waktu lama untuk merasakan kekejaman reality show ’Dibayar Lunas’. Saya tidak tahu persoalan apa yang dialami oleh si perempuan miskin itu. Saya sudah bisa memahami konteks cerita begitu melihat rumah si perempuan berpakaian daster itu dan dua laki-laki bertubuh tegap dengan kaos warna hitam. Apalagi dengan raut muka si perempuan yang stres dan beberapa kali mengusap air mata, sementara si laki-laki (sok) kejam. Si perempuan pasti punya hutang, dan dua laki-laki itu adalah debt collector. Mudah ditebak.
Yang membuat saya langsung sewot adalah ketika salah satu debt collector itu mengancam akan mengambil anak si perempuan.
Mengambil anak?
Si debt collector bahkan melanjutkan dengan ’tawaran’, dia ’hanya’ akan mengambil salah satu anak dari dua anak yang dimiliki si perempuan. "Ibu kan punya dua anak, saya ambil satu saja," kurang lebih bagitu kata salah satu laki-laki. What a generous offer, eh?
Sinting.
Saya tidak tahu rasanya punya hutang besar dan didatangi oleh debt collector. Saya tidak tahu ancaman apa yang biasa dan bisa diajukan oleh seorang debt collector ketika menagih hutang. Yang saya tahu, reality show pasti semuanya rekayasa dan semaga-mata mempermainkan emosi si obyek saja. Reality show tidak pernah jadi ajang berbagi kasih atau bertindak filantropis, tapi semata-mata mempermalukan salah satu pihak. Dalam kasus 'Dibayar Lunas': orang miskin. Tidak lebih dari itu. Tapi ketika ancaman rekayasa itu adalah mengambil anak, ini sudah keterlaluan. Sangat keterlaluan.
Sebagai sebuah program pun, konsep yang ditawarkan sangat usang. Konsep yang sama persis sudah ada di program ’Uang Kaget’, yang juga tayang di RCTI dan juga diproduksi oleh Triwarsana. Begitu juga program se-genre lainnya, seperti 'Bedah Rumah', 'Lunas', 'Rejeki Nomplok', semuanya di tahun 2005.
Ini tulisan saya di tahun 2005, di blog ini. Sudah 4 tahun berlalu, ada 4x365 hari yang disediakan Tuhan untuk memikirkan konsep tontonan TV yang lebih berkualitas, tapi rupanya konsep yang ditawarkan sama usangnya, pun sama buruknya.
Banyak orang berkata, TV adalah seonggok kotak yang membodohi pemirsanya. Saya selalu punya hubungan love-hate-relationship dengan TV. Saya yakin, pemirsa bisa jauh lebih pintar daripada tontonan TV, selama kita menontonnya dengan waras. Saya juga masih ingin percaya bahwa kolega-kolega saya di dunia pertelevisian cukup punya otak dan hati ketika membuat sebuah program.
Saya khawatir, saya salah besar soal ini.