Saya baru saja sampai rumah, tapi saya masih ingat betul ketika sore tadi saya terjengkang dari posisi jongkok persis di baw
**
Pagi, paket diterima di resepsionis. Bentuknya kotak, bersampul cokelat, ditujukan kepada Ulil Absar Abdhalla, salah satu pendiri Jaringan Islam Liberal, JIL. Siangnya, paket dibuka staf JIL. Dari situ baru ketahuan, itu buku bukan sembarang buku. Di dalamnya ada kabel, jam dan batere. Satpam langsung dikontak, polisi langsung dihubungi.
Kabar sampai ke redaksi KBR68H di lantai dua, beda gedung dengan JIL. Sebuah pesan singkat lewat Vypress chat membawa kabar serupa. Ada paket diduga bom untuk Ulil. Kami masih sempat bercanda,”Ah itu mungkin kotak kabel punyanya Kang Kur,” celetuk seorang teman sembari menyebut nama salah satu staf bagian Umum.
Kami menerima kabar itu cenderung biasa saja. Tanpa tergesa, Koordinator Reporter Doddy Rosadi meminta salah satu reporter untuk ke bawah dan mengecek. Rony Rahmata yah garis polisi.ang ke sana, membawa Marantz dan kamera. Begitu kembali ke lantai 2, dia menyerahkan kamera kepada saya.
Dalam foto, tampak paket itu. Sebuah buku tebal, bersampul warna merah. Juga surat yang menyertainya. Pengirimnya adalah Drs Sulaiman Azhar, Lc, tak jelas apa itu ‘Lc’. Tertera juga alamat dan nomor telfon selulernya. Di dalam surat, ditulis kalau penulis minta Ulil untuk menuliskan kata pengantar untuk bukunya. Begini judul bukunya, saya tulis persis,”Mereka harus di bunuh karena dosa-dosa mereka terhadap Islam dan Kaum Muslimin.” Dari penulisan ini sih ketara kalau penulisnya tidak paham penulisan Bahasa Indonesia yang baik hoho #plak
Setelah menerima foto dan surat itu, saya menulis berita dan menguploadnya ke website KBR68H. Lantas saya ke bawah, membawa HP dan kamera. Niatnya mulia, mau motret dan nge-twit.
Sampai di bawah, rupanya sudah ramai, banyak wartawan lain dan polisi. Bertegur sapa dengan kawan lama yang sudah lama tak jumpa. Lantas mendekat ke arah polisi. Garis polisi dipasang, saya mendekat. Saya jongkok supaya bisa memotret tanpa halangan garis melintang warna kuning. Tangan kanan kamera, tangan kiri HP, supaya bisa langsung upload ke Facebook, hehe.
Persis di bawah garis polisi, saya bisa melihat jelas apa yang dilakukan polisi. Tiga polisi mengelilingi buku yang sudah ditaruh di pelataran belakang Kedai Tempo. Satu polisi dengan jaket, membuka buku, sembari orang lain menyiramkan air lewat selang. Pada saat itu, saya terheran-heran,”Apa emang gini ya cara menaklukkan bom, dengan menyiram air? Kok tradisional sekali.”
Ketika paket dibuka, salah satu polisi agak mundur,”Ada kabelnya!” kata dia. Satu polisi lagi menyebut,”Ada handphone!”
Sesaat kemudian, dwaarrrrr..
Saya terjengkang. Yang bisa saya lihat hanya asap abu-abu. Kuping pengang seketika.
Suaranya sangat kencang, untuk saya yang berjarak sekitar 1 meter dari ledakan, persis di bawah garis polisi. Saya beruntung ledakannya hanya sebegitu, sehingga efeknya hanya saya terjengkang. Bukan seperti si pak polisi berjaket yang membuka paket itu; tangan kirinya terluka parah.
Saat itu saya sadar, saya begitu gegabah ada begitu dekat dengan benda-yang-ternyata-betulan-bom itu.
Saat ledakan terjadi, program Buletin Sore KBR68H tengah mengudara. Seketika saya telfon Ade Wahyudi, Manajer Program KBR68H. “Gw yang live! Gw yang live!” jerit saya.
***
Ini bukan kali pertama teror datang ke Komunitas Utan Kayu. Pada 2005, kami diancam bakal diserang kelompok yang tak suka pada JIL, juga KBR68H yang punya program ‘Agama dan Toleransi’. Penyerbu urung datang, mungkin keburu jiper melihat penjagaan polisi dan Banser NU di sepanjang Jalan Utan Kayu. Saat itu saya jadi salah satu penyiar, yang meminta siapa pun yang mendukung kebebasan berekspresi untuk datang dan memberikan dukungan kepada kami di Utan Kayu.
Sementara tadi, saya laporan live untuk Buletin Sore serta memotret untuk website dan Twitter KBR68H. Saya puas lahir batin bisa mengoreksi TVOne yang salah menyebut nama kantor kami menjadi Radio 68H (yang betul itu KBR68H ya, bukan KBRH atau KRH atau kesalahan lainnya). Juga mengoreksi TVOne yang menyebut kami dimiliki oleh JIL. Itu salah besar.
Kami bertetangga di Komunitas Utan Kayu. Di sini ada banyak kantor, mulai dari KBR68H, Green Radio, Tempo TV, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), School for Broadcast Media (SBM), Jaringan Islam Liberal (JIL), Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan Toko Buku Kalam. Sebelum teater pindah ke Salihara, ada juga Teater Utan Kayu dan Galeri Lontar.
Kami adalah institusi yang berbeda, dengan misi yang sama: memperjuangkan kebebasan berekspresi. Karenanya teror macam begini tak bakal mempan. Karenanya saya sungguh berdebar begitu mendengar kata-kata Direktur KBR68H Santoso saat mengawali konferensi pers di Kedai Tempo,”Kami mengutuk keras tindakan ini. Tindakan ini tidak akan membuat kami keder.”
Keder, pemilihan kata yang menarik kaan.. :) Tapi Mas Tosca benar, kami tidak keder.
Dalam twit kesembilannya, Goenawan Mohamad menulis: “Sejak mula kami di KUK sadar: selalu ada bahaya dlm ikhtiar utk membangun kemerdekaan berpikir dan bersuara.”
Saya senang menjadi bagian dari Komunitas Utan Kayu. Bangganya tak terkira. Dan saya senang bukan kepalang, bisa ada di sini, di dua momen bersejarah Komunitas Utan Kayu memperjuangkan kebebasan berekpresi. Mengutip Ging Ginanjar di Twitter beberapa menit lalu,”Dalam keadaan seperti ini, kita semua adalah orang Utan Kayu 68H.”
Utan Kayu, 15 Maret 2011.
PS: Terima kasih untuk teman dan keluarga yang telah menelfon saya. Juga semua teman yang mampir lagi ke KBR68H, termasuk membawakan makanan. Terima kasih untuk polisi yang sampai saya pulang tadi masih berjaga-jaga dan besok siap mengabsen karyawan. Saya tetap gembira kok, meski tampaknya harus periksa ke THT hihihi.
PS2: Trims ya Lele buat videonya, we were that close :)