Tuesday, July 31, 2012

Mencongkel Ingatan




Sejak film itu pertama kali dirilis, Luna sudah jatuh cinta pada isi ceritanya. Judulnya "Eternal Sunshine of the Spotless Mind". 

Dan sekarang, Luna begitu ingin melakoni apa yang ada di dalam film itu. Ia ingin mencongkel ingatan-ingatan buruk yang ada di kepalanya. 

Padahal ini bertentangan dengan apa yang dia percaya selama ini. Bahwa seseorang terdiri dari rangkaian ingatan-ingatan, baik-buruk, besar-kecil, yang membentuk seseorang jadi dirinya seperti sekarang. Utuh, penuh, seluruh. Tak ada yang bisa menghapus ingatan atau kenangan, bahkan yang terburuk sekali pun, karena itulah yang menjadikannya seseorang seperti saat ini. 

Tapi Luna tak ingin percaya itu. Dia merasa apa yang selama ini dipercaya, runtuh. Seketika. Sekarang ia berusaha keras mencongkel ingatan buruk supaya ia bisa melanjutkan hidupnya kembali. Betapa rindu ia bisa hidup normal. Tak didera perasaan gelisah, penuh curiga, penuh selidik, sekaligus lemas karena merasa tak dicintai.

Betul. Merasa tak dicintai. Ini adalah problem terberat Luna seumur hidupnya di bilangan 34 ini. Sejak masa pacaran dulu, dengan pacar nomor berapa pun, merasa tidak dicintai adalah momok. Itu bisa membuat Luna berang, lantas terisak, tapi kemudian meradang, lemas menanti bantuan, tapi kemudian menyergah. Dengan pacar keempatnya, dia putus lantaran soal ini. Luna merasa tidak dicintai dan tidak dibutuhkan, sementara dia sudah mati-matian mencintai dan menunjukkan kebutuhan dia akan si pacar nomor 4. 

Dan ini juga yang sedang menyerang Luna. Dia merasa tidak dicintai oleh suaminya. Suaminya yang dua bulan lalu mengaku telah selingkuh. Dan itu semua terjadi ketika Lina justru tengah merasa sangat tenang dan sangat nyaman dengan perkawinannya. Mereka punya rumah sendiri. Dikaruniai satu anak. Sama-sama bekerja di bidang yang sangat mereka sukai. Jarak dari kantor ke rumah memang jauh, seperti layaknya keluarga-keluarga urban lainnya. Tapi Lina merasa bahagia. Dia merasa utuh, penuh, seluruh.

Tapi di saat itu juga suaminya selingkuh. Selama 30 hari pertama, Luna tak henti mengutuki diri sendiri. Dia sibuk bertanya apa yang salah? Apakah karena dia membawa pekerjaan ke rumah? Apakah karena mereka jarang pergi berdua lagi? Apakah karena sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing? Atau karena sudah sejak lama Luna dan Bima hanya berbincang urusan domestik dan anak?

Ketika Bima menjawab tidak atas semua pertanyaan itu, Luna limbung. Dia tidak tahu apa yang bisa jadi pegangannya. Jika tidak ada yang salah dengan dirinya dan perkawinannya selama ini, kenapa Bima selingkuh? Ini pertanyaan yang tak kunjung terjawab, bahkan setelah lewat 30 hari. Dan Luna terus berhitung, sejak hari pertama. Bima terus menjawab 'tidak tahu' dan mencoba meyakinkan kalau masalahnya bukan ada pada Luna. 

'Lantas apa?' jerit Luna. Dia tak sanggup lagi berpikir. Dia ambil laptop Bima dan menelusuri satu per satu puluhan folder yang ada di laptop suaminya. Dia buka semua file, semua foto, dan semua apa pun yang mungkin berhubungan dengan orang itu. Sejak hari ke-10, Luna memutuskan untuk tidak lagi menyebut nama perempuan itu, dan hanya menyebutnya dengan 'orang itu'. Luna bahkan mengisi kolom "Search" di laptop dan mengetik nama 'orang itu' sekadar untuk mengecek.

Dan Luna puas dengan perolehan dia hari ini: semua foto yang ada wajah 'orang itu' sudah dihapus. Recycle bin pun dikosongkan. Rapi, tak ada jejak, tak ada sisa. Lantas dia menelusuri satu per satu folder musik, masih dalam laptop Bima. Dengan semangat yang sama membara, Luna menyisir seluruh lagu. Dia masih ingat  persis apa yang dilihatnya dalam email antara Bima, suaminya, dengan 'orang itu' - teman sekantornya, juga teman sekantor Luna. Mereka bertukar-tukaran lagu - layaknya anak SMP yang dilanda cinta. Dan Luna menghapus semua lagu dari folder yang ada dalam pertukaran email suaminya dan 'orang itu'. 

Luna menutup laptop Bima. Ia merasa sangat letih. Tapi paling tidak dia sudah mencongkel ingatan-ingatan buruk itu secara manual. 

Besok, dia akan menyisir smartphone Bima. Mencari jejak 'orang itu' di sana dan mencongkelnya secara paksa. Paling tidak ini lebih nyata ketimbang jawaban 'tak tahu' dari suaminya. 

Membunuh Sepi




Sore itu Marni kesepian. Dia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Menonton TV, bosan. Mendengarkan radio, malas. Dia sedang ingin sendiri. Dan meresapi kesepian yang membekapnya. Tapi ia bisa gila kalau tak melakukan apa-apa. Lantas ia mendekat ke lemari buku dan mulai merapikan buku-buku yang ada. Satu per satu buku diambil, lalu dilapnya dengan lap kering. Satu per satu. 

Sampai ia mengambil selembar amplop. Tertera di depannya: PT KAI. Marni semula enggan membuka amplop itu, tapi ia tahu ia tak kuasa menahan tangannya sendiri. Di dalamnya ada tiket kereta api. Sudah terpakai. Tanggalnya adalah 31 Maret 2012. Belum lama. Paling baru dua bulan silam. Ketika itu Marni pergi ke Bandung bersama Miskun, suaminya, dan Mantra, anak mereka. Merayakan ulang tahun Miskun dan ulang tahun perkawinan mereka yang kelima. 


Tapi melihat tiket itu membuat Marni teringat satu kalimat muram. Satu kalimat yang diucapkan Miskun malam itu. Kamar mereka gelap. Mantra sudah tidur lelap dari tadi. Tapi malam mendadak jadi neraka ketika kalimat itu terucap. Miskun tercekat sebelum bicara: "I cheated on you." Dan Miskun mencium perempuan jahanam itu tepat sehari sebelum kepergian mereka ke Bandung. Dan setelahnya mencium perempuan jahanam itu berkali-kali lagi. 


Marni mendadak tersengal. Susah payah ia menaruh amplop itu lagi. Marni ingin membuangnya jauh-jauh. Tapi sejauh apa pun ia membuang tiket dan amplop itu, ingatan itu sudah terpatri dalam kepala. Kalau ada operasi otak yang bisa mencongkel memori-memori buruk yang sudah dipilih dengan saksama, Marni bersedia mengantri. Sepanjang apa pun itu antrian, Marni mau. Dia tak sanggup lagi hidup dengan kelebatan-kelebatan ingatan buruk yang datang dan pergi tanpa permisi. Saat Marni hendak tidur. Saat Marni hendak mandi. Saat Marni hendak ke kantor. Saat Marni tengah masak di dapur. Saat apa pun. 


Sore itu sebetulnya Marni sedang tak ingin terluka, lagi. Dia hanya merasa kesepian, juga tersesat. Tapi mengambil amplop tiket kereta itu sungguh sebuah langkah yang maha salah. Sudah 30 hari ini Marni bersusah payah menata hidupnya lagi pasca kalimat laksana bom nuklir yang diucapkan Miskun, suaminya, tengah malam itu. Tengah malam yang mengubah keseluruhan hidup Marni. Juga Miskun.


***


Sore itu Miskun kesepian. Lagi-lagi Marni harus pergi ke luar kota. Miskun mengklaim dirinya sebagai suami yang pengertian dan mendorong istrinya mencapai bintang setinggi langit ketujuh. Kalau perlu, kedelapan. Tapi Miskun tak bisa menampik kesepian itu. Kesepian karena istrinya lagi-lagi mesti pergi. Dia tahu dia tak boleh mengungkapkan keberatan itu. Sekali bicara, maka istrinya bisa-bisa tidak akan berani lagi mencapai cita-citanya. Dan dia tidak sanggup mesti bertanggung jawab atas itu. 


Tapi dia kesepian. Dan kesepian, bagi Miskun, justru membuka pintu perandai-andaian. Perempuan berbibir tipis yang duduk di seberang mejanya mendadak jadi pengobat kesepian. Padahal bukan perempuan berbibir tipis itu yang membuatnya merasa kesepian. Miskun tak berani mengaku kesepian pada istrinya. Dia tak  mau istrinya merasa bersalah. 


Si perempuan berbibir tipis itu juga mendadak sering cerita padanya. Tentang keluarganya. Tentang laki-laki yang dijodohkan padanya. Tentang bapaknya yang baru meninggal. Tentang kucing-kucingnya. Tentang hal remeh temeh yang terjadi dalam hidupnya. Kadang Miskun tak berbincang apa pun dengan si perempuan berbibir tipis itu. Hanya berdua saja menemani Miskun yang sedang menghabiskan bekal makan siang yang dimasakkan Marni tadi pagi. 


Di rumah, Miskun tetap kesepian. Marni tengah begitu gempita menyiapkan kepergiannya. Miskun tak mau meredupkan semangat istrinya. Miskun percaya, dialah si suami yang suportif, yang mendukung istrinya pergi ke langit ketujuh. Kedelapan kalau perlu. Karenanya dia tak bisa bilang kalau dia kesepian. Meski dia betul-betul kesepian. 


Miskun lantas mengajak Marni bercinta. Mereka bergumul malam itu. Marni tampak cantik malam itu. Tapi hati Miskun tetap tergantung entah ke mana, dan pikirannya entah ada di mana. Besoknya, Marni terbang. 


***


Sore itu Avi kesepian. Dia bosan dengan hidupnya yang begitu-begitu saja. Orangtunya sudah tak ada, tak ada lagi yang diajak berbincang. Di rumah, ia tinggal bersama adiknya, yang juga sibuk. Sebetulnya ada sepupunya yang cukup akrab dan kebetulan sekantor dengannya. Tapi ia tak suka pacar si sepupu dan memilih untuk berhenti berbincang dengan keduanya. Hidup Avi hanya kantor dan rumah, juga kucing-kucing jalanan yang dipeliharanya. 


Kakak adiknya melulu mencoba menjodohkannya dengan laki-laki. Entah sudah berapa laki-laki yang disodorkan padanya. Begitu juga sahabat perempuannya di kantor, berkali-kali mencoba mengenalkannya pada laki-laki. Dia pernah satu dua kali mencoba tapi sesudah itu malas. Avi memilih memendam diri pada pekerjaan kantor - dari bosnya yang sedang sibuk ikut kampanye politik. Ini sebetulnya bukan pekerjaan dia, tapi ya sudah, daripada dia kesepian, lebih baik dikerjakan saja. 


Avi bosan dengan hidupnya yang begitu-begitu saja. Hidup lurus tanpa belokan. Tapi ia terlalu malas untuk berbelok. Untuk melakukan hal-hal berbeda. Hidupnya stagnan saja. Lantas tiba-tiba Miskun mendatangi mejanya. Menatapnya lekat-lekat sembari berkata: "aku cinta padamu". Avi kaget bukan kepalang. Tak pernah sedikit pun ia mengira Miskun bakal melakukan itu semua. Miskun sudah punya istri. Dan Marni adalah sahabat dari sahabat perempuannya di kantor. Ketika Marni pergi ke luar kota bulan lalu, Marni memberi Avi sebentuk gantungan kunci. 


Tapi kata-kata Miskun membuat dia tak bisa berkedip. Ketika Miskun memanggilnya masuk ke ruang kerjanya, Avi tak menolak. Dia seperti terhipnotis kata-kata Miskun yang manis, dan tak diduga-duga datangnya. Selama ini dia hanya tahu Miskun suka kucing, itu saja. Dan Miskun pandai bergurau dan main ukulele. Tapi tanpa disadari, Avi sudah ada di ruangan Miskin. Dan Miskun menciumnya. Dan Avi membalasnya. Begitu juga keesokan harinya. Dan esoknya lagi. Dan esoknya lagi. Dan esoknya lagi, setelah Marni terbang ke luar kota. 


Sejak itu Avi tidak merasa kesepian lagi. Dia merasa punya teman bercerita. Sejak itu ia banyak tersenyum. Lantas bercerita tentang apa saja pada Miskun. Meski lebih sering tak punya bahan cerita dan berdiam-diaman saja. Avi tak ingin kehilangan perhatian Miskun. "Apakah Marni akan sakit jika tahu?" begitu tanya Avi. Tentu dia tahu jawabannya dengan persis. Karena Avi juga perempuan. Tapi Avi tidak ingin kehilangan perhatian Miskun. 



Lantas dia berkata,"Kalau kau bilang Marni, aku pergi."

***


Marni dan Miskun berpegangan tangan di depan penasihat perkawinan. Orang asing yang mereka mintai bantuan untuk memperbaiki kehidupan perkawinan mereka. Lebih tepatnya, ini keputusan Marni. Miskun tak mau. Ia merasa aneh melibatkan orang yang tak tahu menahu soal mereka sebagai solusi. Tapi Marni berkeras. Dia menangis ketika meminta Miskun ikut bersamanya - dan ia tak tega. Miskun masih cinta Marni - cintanya tak pernah hilang, sebetulnya. Hanya entah apa yang menyangkut di pikirannya ketika mendatangi Avi, menciumnya sekali, dua kali, tiga kali, empat kali dan entah berapa kali dalam satu setengah bulan terakhir ini. 


Marni melepaskan pegangan ketika ia sampai di cerita ini: bahwa ia tak tahan ketika melihat Miskun suaminya berkata di hadapannya kalau dia cinta pada Avi - yang saat itu ada di hadapan Marni. Runtuh semua sudah dunia yang selama ini dibangun Marni. Dunia jambon perkawinan yang selalu dipercayanya. Bahwa menikah adalah pencapaian terbesar dalam hubungan antara dua manusia - dan setelahnya usah lagi kau lara sendiri, usah lagi kau risau merasa tak dibutuhkan. 


Penasihat perkawinan itu menaruh pensilnya sejenak. Lantas menatap Miskun seraya berkata,"Bapak harus memilih." Miskun tercekat. Mendadak ia tak tahu apa yang harus dia pilih. Apakah harus memilih cinta yang meledak-ledak yang dirasakannya ketika bersama Avi atau memilih Marni, istrinya, ibu dari anaknya, sebagai pilihan paling rasional yang harusnya segera diucapkan. Lidahnya kelu. Mukanya pias. Tangannya dingin. Jantungnya berdegup lima kali lebih cepat. 


Dan Marni memandangnya lekat-lekat. Tak percaya pandangan matanya, bahwa pertanyaan begitu sederhana rupanya begitu sulit untuk dijawab suaminya. Dia tak tahu mana yang harus disiapkannya lebih dulu. Menyampaikan kalau ibu-bapak tak bisa lagi bersatu untuk Mantra, anak mereka yang baru berusia 4 tahun, atau menata lagi kehidupan perkawinan mereka. Entah dengan apalagi yang masih tersisa. 


Marni kesepian dan terluka. Miskun kesepian dan terluka. Dan Avi, tak ada yang memikirkan ketika dia terluka. Itu ganjaran yang harus ditanggung Avi seumur hidup. Akibat menyambut cinta Miskun yang sudah beristri dan berkhianat terhadap pertemanannya dengan Marni. Avi kesepian, dan tidak ada yang peduli. Karena itu adalah ganjaran bagi perempuan ketiga. Perempuan jahanam yang berbibir tipis itu. 


Miskun tercekat, Emak benar selama ini. Kesepian itu temannya setan. Dan tak ada setan yang tak menawarkan keasikan. Meski dia tahu persis keasikan itu hanya sesaat saja sifatnya. Meski untuk itu dia harus didera kesakitan hampir setiap pagi ketika bangun pagi dengan Marni di sisinya, karena dia tahu siangnya dia pasti berkeinginan untuk mencium Avi. Dia tahu itu salah, tapi kenikmatan itu rasanya tak ingin disudahi. 


Marni tercekat. Di rak buku ini ada silet berkarat. Dia ingin melesap dengan kesepiannya. Untuk kali ini, dia tidak ingin menjadi orang yang mudah menyerah. Dia sungguh-sungguh ingin menyerah karena bayangan hidupnya runtuh sama sekali. Dia ingin melesap dengan kesepiannya. 

Wednesday, March 16, 2011

Bom Utan Kayu: I Was There

Ini bukan merujuk ke tulisan yang seringkali ada di tempat wisata atau toilet umum. ‘There’ yang saya maksud adalah Komunitas Utan Kayu, ketika ledakan itu terjadi.

Saya baru saja sampai rumah, tapi saya masih ingat betul ketika sore tadi saya terjengkang dari posisi jongkok persis di baw

**

Pagi, paket diterima di resepsionis. Bentuknya kotak, bersampul cokelat, ditujukan kepada Ulil Absar Abdhalla, salah satu pendiri Jaringan Islam Liberal, JIL. Siangnya, paket dibuka staf JIL. Dari situ baru ketahuan, itu buku bukan sembarang buku. Di dalamnya ada kabel, jam dan batere. Satpam langsung dikontak, polisi langsung dihubungi.

Kabar sampai ke redaksi KBR68H di lantai dua, beda gedung dengan JIL. Sebuah pesan singkat lewat Vypress chat membawa kabar serupa. Ada paket diduga bom untuk Ulil. Kami masih sempat bercanda,”Ah itu mungkin kotak kabel punyanya Kang Kur,” celetuk seorang teman sembari menyebut nama salah satu staf bagian Umum.

Kami menerima kabar itu cenderung biasa saja. Tanpa tergesa, Koordinator Reporter Doddy Rosadi meminta salah satu reporter untuk ke bawah dan mengecek. Rony Rahmata yah garis polisi.ang ke sana, membawa Marantz dan kamera. Begitu kembali ke lantai 2, dia menyerahkan kamera kepada saya.

Dalam foto, tampak paket itu. Sebuah buku tebal, bersampul warna merah. Juga surat yang menyertainya. Pengirimnya adalah Drs Sulaiman Azhar, Lc, tak jelas apa itu ‘Lc’. Tertera juga alamat dan nomor telfon selulernya. Di dalam surat, ditulis kalau penulis minta Ulil untuk menuliskan kata pengantar untuk bukunya. Begini judul bukunya, saya tulis persis,”Mereka harus di bunuh karena dosa-dosa mereka terhadap Islam dan Kaum Muslimin.” Dari penulisan ini sih ketara kalau penulisnya tidak paham penulisan Bahasa Indonesia yang baik hoho #plak

Setelah menerima foto dan surat itu, saya menulis berita dan menguploadnya ke website KBR68H. Lantas saya ke bawah, membawa HP dan kamera. Niatnya mulia, mau motret dan nge-twit.

Sampai di bawah, rupanya sudah ramai, banyak wartawan lain dan polisi. Bertegur sapa dengan kawan lama yang sudah lama tak jumpa. Lantas mendekat ke arah polisi. Garis polisi dipasang, saya mendekat. Saya jongkok supaya bisa memotret tanpa halangan garis melintang warna kuning. Tangan kanan kamera, tangan kiri HP, supaya bisa langsung upload ke Facebook, hehe.

Persis di bawah garis polisi, saya bisa melihat jelas apa yang dilakukan polisi. Tiga polisi mengelilingi buku yang sudah ditaruh di pelataran belakang Kedai Tempo. Satu polisi dengan jaket, membuka buku, sembari orang lain menyiramkan air lewat selang. Pada saat itu, saya terheran-heran,”Apa emang gini ya cara menaklukkan bom, dengan menyiram air? Kok tradisional sekali.”

Ketika paket dibuka, salah satu polisi agak mundur,”Ada kabelnya!” kata dia. Satu polisi lagi menyebut,”Ada handphone!”

Sesaat kemudian, dwaarrrrr..

Saya terjengkang. Yang bisa saya lihat hanya asap abu-abu. Kuping pengang seketika.

Suaranya sangat kencang, untuk saya yang berjarak sekitar 1 meter dari ledakan, persis di bawah garis polisi. Saya beruntung ledakannya hanya sebegitu, sehingga efeknya hanya saya terjengkang. Bukan seperti si pak polisi berjaket yang membuka paket itu; tangan kirinya terluka parah.

Saat itu saya sadar, saya begitu gegabah ada begitu dekat dengan benda-yang-ternyata-betulan-bom itu.

Saat ledakan terjadi, program Buletin Sore KBR68H tengah mengudara. Seketika saya telfon Ade Wahyudi, Manajer Program KBR68H. “Gw yang live! Gw yang live!” jerit saya.

***

Ini bukan kali pertama teror datang ke Komunitas Utan Kayu. Pada 2005, kami diancam bakal diserang kelompok yang tak suka pada JIL, juga KBR68H yang punya program ‘Agama dan Toleransi’. Penyerbu urung datang, mungkin keburu jiper melihat penjagaan polisi dan Banser NU di sepanjang Jalan Utan Kayu. Saat itu saya jadi salah satu penyiar, yang meminta siapa pun yang mendukung kebebasan berekspresi untuk datang dan memberikan dukungan kepada kami di Utan Kayu.

Sementara tadi, saya laporan live untuk Buletin Sore serta memotret untuk website dan Twitter KBR68H. Saya puas lahir batin bisa mengoreksi TVOne yang salah menyebut nama kantor kami menjadi Radio 68H (yang betul itu KBR68H ya, bukan KBRH atau KRH atau kesalahan lainnya). Juga mengoreksi TVOne yang menyebut kami dimiliki oleh JIL. Itu salah besar.

Kami bertetangga di Komunitas Utan Kayu. Di sini ada banyak kantor, mulai dari KBR68H, Green Radio, Tempo TV, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), School for Broadcast Media (SBM), Jaringan Islam Liberal (JIL), Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan Toko Buku Kalam. Sebelum teater pindah ke Salihara, ada juga Teater Utan Kayu dan Galeri Lontar.

Kami adalah institusi yang berbeda, dengan misi yang sama: memperjuangkan kebebasan berekspresi. Karenanya teror macam begini tak bakal mempan. Karenanya saya sungguh berdebar begitu mendengar kata-kata Direktur KBR68H Santoso saat mengawali konferensi pers di Kedai Tempo,”Kami mengutuk keras tindakan ini. Tindakan ini tidak akan membuat kami keder.”

Keder, pemilihan kata yang menarik kaan.. :) Tapi Mas Tosca benar, kami tidak keder.

Dalam twit kesembilannya, Goenawan Mohamad menulis: “Sejak mula kami di KUK sadar: selalu ada bahaya dlm ikhtiar utk membangun kemerdekaan berpikir dan bersuara.”

Saya senang menjadi bagian dari Komunitas Utan Kayu. Bangganya tak terkira. Dan saya senang bukan kepalang, bisa ada di sini, di dua momen bersejarah Komunitas Utan Kayu memperjuangkan kebebasan berekpresi. Mengutip Ging Ginanjar di Twitter beberapa menit lalu,”Dalam keadaan seperti ini, kita semua adalah orang Utan Kayu 68H.”

Utan Kayu, 15 Maret 2011.

PS: Terima kasih untuk teman dan keluarga yang telah menelfon saya. Juga semua teman yang mampir lagi ke KBR68H, termasuk membawakan makanan. Terima kasih untuk polisi yang sampai saya pulang tadi masih berjaga-jaga dan besok siap mengabsen karyawan. Saya tetap gembira kok, meski tampaknya harus periksa ke THT hihihi.

PS2: Trims ya Lele buat videonya, we were that close :)

Monday, May 17, 2010

Transgender

Kemarin di Rossy (Global TV) tema yang diangkat adalah soal transgender.

Ini kali pertama tamu di Rossy gak sebanyak biasanya. Hanya 2. Biasanya lebih 5 orang ditamapilkan dalam acara tersebut, sehingga tiap orang hanya kebagian satu-dua pertanyaan dan tidak bisa dieksplorasi lebih.

Saya menganggap diri saya punya keberpihakan terhadap kelompok LGBT. Paling enggak, saya nggak punya phobia terhadap mereka. Saya kira Rossy juga semestinya begitu. Angle yang dia angkat dari para waria alias transgender ini adalah sisi positifnya.

Tapi tetap, ada yang mengganggu.

Di segmen pertama, Rossy mewawancarai Dea -- yang dulu bernama Agus, lantas operasi kelamin, yang kemudian disahkan pengadilan setempat. Dea cukup terbuka bercerita. Tapi yang mengganggu justru pertanyaan dari Rossy. Di ujung segmen, sebelum beralih ke iklan, Rossy bertanya,'Sadarkah kamu betapa kamu telah menghancurkan hati orangtua kamu dengan menjadi begini?'

Ah. Dan kata 'menghancurkan' dipakai berkali-kali. Baik kepada Dea, atau kepada Merlyn, tamu waria berikutnya.

Buat saya, itu pertanyaan yang memojokkan. Akan jauh lebih elegan rasanya jika Rossy bertanya,'Bagaimana perasaan orangtua kamu?'. Jikalau betul hati ortu Dea dan Merlyn ini hancur, biarlah itu datang dari mereka. Bukan dari Rossy yang adalah pihak ketiga, yang adalah orang asing.

Saya nggak tau, seperti apa rasanya jadi waria. Saya nggak tau bagaimana rasanya hidup tertekan dengan 'tubuh yang salah'. Saya memang sebal dengan perut bergelambir saya, tapi saya bisa menyalahkan diri saya untuk itu. Saya nggak tau gimana rasanya harus hidup dengan cibiran orang, kiri kanan depan belakang, setiap hari.

Saya juga nggak tau, gimana rasanya jadi waria, yang lagi di TV, lantas dianggap menghancurkan hati orangtua saya. Tapi kalau saya dapat pertanyaan itu, rasanya saya akan sebal. Saya akan merasa dipojokkan.

Saturday, May 30, 2009

Reality Show yang Mengerikan

Tadi sore, secara tidak sengaja saya menonton ’Dibayar Lunas’, sebuah reality show di RCTI. Rupanya ini program baru, baru tayang sejak 9 Mei kemarin.

Dari judulnya saja, sudah bisa terbayangkan dengan jelas bagaimana plot cerita yang ditawarkan reality show tersebut. Bisa diduga, production house acara itu adalah Triwarsana, yang dimiliki oleh Helmi Yahya. Dia memang biangnya reality show sejak awal booming di stasiun televisi swasta di tahun 2005-an, kalau tidak salah.

Semua reality show yang melibatkan orang miskin itu kejam. Orang miskin jadi bulan-bulanan, dipermalukan karena mereka miskin, dan penonton diharapkan untuk sedih atau kasihan dengan kondisi mereka. Tak perlu ditampilkan di TV pun, hidup mereka mestinya sudah cukup susah. Tapi hidup jadi tambah susah lagi karena mereka ditempatkan sebagai obyek tontonan. Lebih tepatnya, obyek untuk dipermalukan karena mereka miskin.

Saya tidak perlu waktu lama untuk merasakan kekejaman reality show ’Dibayar Lunas’. Saya tidak tahu persoalan apa yang dialami oleh si perempuan miskin itu. Saya sudah bisa memahami konteks cerita begitu melihat rumah si perempuan berpakaian daster itu dan dua laki-laki bertubuh tegap dengan kaos warna hitam. Apalagi dengan raut muka si perempuan yang stres dan beberapa kali mengusap air mata, sementara si laki-laki (sok) kejam. Si perempuan pasti punya hutang, dan dua laki-laki itu adalah debt collector. Mudah ditebak.

Yang membuat saya langsung sewot adalah ketika salah satu debt collector itu mengancam akan mengambil anak si perempuan.

Mengambil anak?

Si debt collector bahkan melanjutkan dengan ’tawaran’, dia ’hanya’ akan mengambil salah satu anak dari dua anak yang dimiliki si perempuan. "Ibu kan punya dua anak, saya ambil satu saja," kurang lebih bagitu kata salah satu laki-laki. What a generous offer, eh?

Sinting.

Saya tidak tahu rasanya punya hutang besar dan didatangi oleh debt collector. Saya tidak tahu ancaman apa yang biasa dan bisa diajukan oleh seorang debt collector ketika menagih hutang. Yang saya tahu, reality show pasti semuanya rekayasa dan semaga-mata mempermainkan emosi si obyek saja. Reality show tidak pernah jadi ajang berbagi kasih atau bertindak filantropis, tapi semata-mata mempermalukan salah satu pihak. Dalam kasus 'Dibayar Lunas': orang miskin. Tidak lebih dari itu. Tapi ketika ancaman rekayasa itu adalah mengambil anak, ini sudah keterlaluan. Sangat keterlaluan.

Sebagai sebuah program pun, konsep yang ditawarkan sangat usang. Konsep yang sama persis sudah ada di program ’Uang Kaget’, yang juga tayang di RCTI dan juga diproduksi oleh Triwarsana. Begitu juga program se-genre lainnya, seperti 'Bedah Rumah', 'Lunas', 'Rejeki Nomplok', semuanya di tahun 2005.

Ini tulisan saya di tahun 2005, di blog ini. Sudah 4 tahun berlalu, ada 4x365 hari yang disediakan Tuhan untuk memikirkan konsep tontonan TV yang lebih berkualitas, tapi rupanya konsep yang ditawarkan sama usangnya, pun sama buruknya.

Banyak orang berkata, TV adalah seonggok kotak yang membodohi pemirsanya. Saya selalu punya hubungan love-hate-relationship dengan TV. Saya yakin, pemirsa bisa jauh lebih pintar daripada tontonan TV, selama kita menontonnya dengan waras. Saya juga masih ingin percaya bahwa kolega-kolega saya di dunia pertelevisian cukup punya otak dan hati ketika membuat sebuah program.

Saya khawatir, saya salah besar soal ini.

Thursday, April 02, 2009

Tantangan

Beberapa silam, gw berbincang dengan teman di kantor soal kebosanan. Kalau sudah bosan, kerja apa pun jadi malas. Padahal kinerja buruk, kita juga yang ketempuhan. Kerja jadi gak asik, teman kerja jadi gak asik juga kerja bareng kita, dan sebagainya.

Kalo kata Mario Teguh, kita harus memantaskan diri untuk apa yang ingin kita dapat.

Itu yang tengah gw lakukan. Gw hanya berusaha sebaik-baiknya memantaskan diri untuk apa yang ingin gw dapat. Gw ingin dapat dinamika kerjaan? Gw putus rantai kebosanan di kerjaan gw. Gw ingin senang-senang? Gw liat Facebook atau update blog dulu.

Gw harus selalu menemukan tantangan baru. Kalo enggak, gw hanya akan jadi robot.

Karenanya gw sungguh senang bisa terlibat dalam sebuah proyek besar pengerjaan buku tentang radio. Ini sungguh wilayah baru buat gw, yang menunggu untuk gw selami dalam-dalam. Gw sudah melakoni setahun penuh baca buku-belajar-nulis ketika di Inggris dan kini gw akan menjalaninya lagi. Tapi kali ini sembari kerja; bukannya diliburkan dari kantor.

Ini tantangan luar biasa besar. Dan gw teramat bangga bisa terlibat dalam proyek besar ini.

It's an honor, Sir.

Wednesday, March 04, 2009

Uang Haram

Dalam waktu berdekatan, jurnalis KBR68H menerima uang dari Komisi Pemilihan Umum dan Sekretariat Wakil Presiden. KBR68H diundang untuk ikut liputan ke luar kota bersama dua institusi Negara ini. Begitu pulang, diberi sangu. Uang ditaruh dalam amplop lantas diberikan kepada setiap wartawan yang ikut meliput, termasuk jurnalis KBR68H.

Kebijakan kami di media ini jelas, terang benderang dan tanpa ampun. Kami menolak amplop, suap, uang sogokan atau apa pun namanya, dengan alasan apa pun. Kami punya integritas yang cukup tinggi untuk tidak mau menerima uang dari pihak ketiga. Biarlah yang memberi uang dan gaji adalah media tempat kami bekerja, bukan narasumber sebagai sumber informasi.

Pikiran macam begini rupanya masih hidup di zaman sekarang, ketika usia reformasi sudah lebih satu dasawarsa. Bahwa jurnalis harus diberi uang supaya menulis yang bagus-bagus, bahwa jurnalis bisa dikendalikan lewat fulus. Yang menyedihkan, institusi Negara yang melakukan itu bukan saja di tingkat ecek-ecek tapi juga tingkat tinggi, seperti KPU. KPU mestinya lebih mengalokasikan uang untuk sosialisasi Pemilu, ketimbang menganggarkan uang bagi wartawan. Ketika KBR68H hendak mengembalikan uang pun, ditolak. Alasannya, sudah terlanjur dianggarkan.

Ini yang mesti diubah. Tak ada perlunya menganggarkan dana khusus bagi wartawan karena melakukan liputan. Itu sudah tugasnya. Seperti tukang sapu tugasnya menyapu, seperti Presiden tugasnya memimpin Negara. Semua sesuai porsi dan akan diberi uang imbalan berupa gaji oleh tempatnya bekerja. Bukan oleh pihak ketiga.

Kalau mau memberi fasilitas prima kepada wartawan, bukan uang jawabannya. Membuka akses informasi seluas-luasnya adalah harta tak ternilai bagi pekerjaan jurnalistik. Narasumber bisa dihubungi dan memberikan informasi sesuai kompetensinya. Tak ada pembatasan wilayah atau akses liputan, dengan birokrasi yang tidak ribet. Kemudahan mendapatkan informasi demi kepentingan publik, itu yang terpenting bagi tugas wartawan sebagai pewarta berita.

Tapi harus diakui pula, budaya amplop ada dan nyata di kalangan wartawan Indonesia. Ada permintaan, ada pemberian; begitu juga sebaliknya. Tanpa diminta, kerap kali narasumber, instansi, departemen, perusahaan swasta atau siapa pun memberikan uang kepada wartawan. Kalau kita menghapuskan prasangka, mungkin ini maksudnya sekadar menjaga hubungan baik. Tapi percayalah, ada seribu jalan ke Roma, ada seribu pula jalan untuk menjaga hubungan baik selain uang.

Di KBR68H, sudah ada korban terjungkal akibat amplop dan duit. Kami tidak kenal ampun dan pandang bulu dalam upaya memberantas amplop. Kami pastikan, uang yang sempat mampir pasti dikembalikan.

Maaf, kami tidak terima amplop.


[Tajuk KBR68H, 4 Maret 2009]

Wednesday, January 28, 2009

Sulitnya Menentukan Prioritas

Tak punya uang, mengeluh. Punya uang, malah tak bisa menentukan prioritas. Inilah yang dialami Pemerintah Kota Bekasi. RAPBD Bekasi mengalokasikan uang 2,8 miliar rupiah untuk uang saku tamu walikota dan wakil walikota. Kata Sekda Bekasi, pengalokasian dana ini sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah tentang dana khusus kepala daerah.

Mungkin Pemkot Bekasi menyamakan pengelolaan pemerintahan daerah dengan menjaga silaturahmi keluarga. Kalau ada keluarga datang jauh-jauh dari kampong halaman, maka begitu si sanak saudara ini pulang akan dibekali uang. Barangkali prinsip ini yang dipegang ketika menyusun RAPBD. Yang bakal dapat uang saku pun bukan orang miskin, karena mereka yang namanya ada dalam daftar adalah pejabat dinas, anggota dewan, tokoh masyarakat, pengurus partai politik, ulama dan wartawan.

Tentu saja, pemerintahan tak bisa bisa dikelola seperti menjaga silaturahmi keluarga. Uang yang dikelola pun tidak berasal dari kantong pribadi, tapi dari uang rakyat. Pajak ditarik untuk pembangunan, bukan untuk disia-siakan dan masuk ke kantong orang yang tak kekurangan materi. Jalan bolong menanti untuk dibenahi, kemacetan menunggu diurai, anak miskin memendam keinginan sekolah gratis, sementara para orangtua membutuhkan berobat gratis.

Itu yang harusnya jadi prioritas. Bukan uang saku buat tamu walikota.

Cobalah meniru apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Bulan ini mereka melansir program berobat gratis, dan Juli mendatang, akan ada program sekolah gratis. Ini jelas program yang mengedepankan rakyat, berusaha memenuhi apa yang paling dibutuhkan oleh masyarakat. Jangan lupa, pemerintah adalah pelayan, bukan bos yang direstui untuk buang-buang uang.

Mari kita kalkulasikan uang 2,8 miliar yang disediakan pemerintah Kota Bekasi ke program Jamkesmas, program kesehatan gratis bagi masyarakat miskin. kita kalkulasikan ke program kesehatan buat masyarakat miskin lewat program Jamkesmas. Pemerintah menetapkan premi per orang sebesar Rp 5 ribu per bulan. Artinya dalam setahun, setiap orang mendapat alokasi dana Rp 60 ribu. Dana 2,8 miliar yang dialokasikan Pemkot Bekasi untuk uang saku sebetulnya bisa untuk biaya kesehatan 46 ribu orang selama setahun. Jumlah ini pasti lebih besar dibandingkan total tamu yang bakal mengunjungi walikota dan wakil walikota Bekasi dalam setahun.

Ini pun sesuai dengan aspirasi warga Bekasi, paling tidak mereka yang masuk ke situs pemerintah Kota Bekasi. Di rubrik Polling atau Jajak Pendapat, masalah yang dianggap mendesak dan harus segera diselesaikan adalah pendidikan dan kesehatan. Jadi, sebetulnya tak ada hal yang menyulitkan dalam membuat prioritas. Pemerintah adalah pelayan warga, jadi adalah keniscayaan untuk mengutamakan kepentingan warga.

Satu lagi. Tolong hapus nama wartawan dalam daftar penerima uang dari pemerintah. Kami memang akan bertamu, tapi kami tak butuh uang gelap seperti itu.

[Tajuk KBR68H, 28 Januari 2009]