Thursday, November 10, 2005
Apa Itu 'Film Nasional'?
Kalau kita mengacu pada film di Indonesia, mari coba kita lihat. Sherina dibikin Mira Lesmana, yang pernah sekolah di Australia. Untuk Rena digarap Riri Riza, yang mengambil kuliah S2-nya di Inggris. Arisan yang dibuat Nia Dinata, juga pasti ada lah ngaruhnya dari hasil sekolah dia di Amerika. Tentu nggak melulu latar belakang pendidikan (di luar negeri) yang harus jadi acuan di sini. Nah kalau Eiffel I'm in Love, latar belakang film itu sebagian adalah Paris, Perancis. Atau film-film jaman Catatan Si Boy dulu, banyak yang ber-setting Amerika.
Atau coba kita ambil film Hollywood. Misalnya Independence Day. Film yang bercerita tentang serangan alien ke Amerika Serikat (alias juga ke seluruh dunia itu) sangat kental nuansa 'patriotis'-nya. "Amrik banget deh," kurang lebih begitu. Tapi ternyata sutradaranya adalah orang Jerman. Nah lho. Patriotisme mana yang masuk ke dalam film itu, Amerika atau Jerman?
Ada banyak cara untuk melihat suatu film, mencoba memberi label apakah suatu film itu film nasional atau bukan. Pertama, apakah film ini dibuat dari industri dalam negeri alias domestik? Kedua, apa yang mau disampaikan dalam film ini? Ketiga, siapa yang mengkonsumsi. Keempat, dilihat dari segi 'kritis' yang 'mengharapkan' suatu film nasional adalah 'film berseni' (ah, apa pula itu 'berseni' toh?).
Lalu cara lain juga untuk melihat suatu 'film nasional' katanya adalah melihat dari national identity yang ada di dalam film tersebut. Lantas kemudian kita bertanya lagi dong, apa itu identitas nasional? Apa itu 'orang Indonesia'? Apakah orang yang tinggal dari Aceh sampai Papua itu adalah orang Indonesia? Atau mereka yang mengusung paham NKRI adalah orang Papua? Gimana dengan orang Indonesia yang tinggal di luar negeri, apakah mereka boleh juga menyebut diri sebagai 'orang Indonesia'?
Nah, datanglah Benedict Anderson dengan definisinya tentang nation as an imagined community. Sebagai sebuah komunitas yang punya secure and shared identity serta sense of belonging. Artinya, ini sama sekali tidak terbatas pada batas-batas geografis dan politis. Ya toh? Dan ini semakin sulit membuat definisi dari 'film nasional' itu sendiri. Karena tak mesti tinggal di wilayah geografis Indonesia untuk bisa menyebut diri sebagai orang Indonesia yang punya alur pikiran Indonesia, dsb.
Lalu, film yang dibuat oleh orang Indonesia yang sejak kecil tinggal di luar negeri lalu dia membuat film tentang Indonesia, apakah karyanya bisa dianggap 'film nasional'? Secara content, iya, tentang Indonesia. Tapi kalo diliat secara ekonomi, ini kan tidak dibuat di bawah kerangka industri domestik alias dalam negeri.
Definisi 'film nasional' sempat dilihat sebagai perlawanan terhadap film Hollywood. Ah masa iya selalu begitu? Rasanya enggak juga. Karena film-film Hollywood itu terhitung curi start, maka dia sudah mengukuhkan 'standar' tentang bagaimana itu narasi film yang bagus, bagaimana itu marketing film yang efektif dan bagaimana itu efek dramatisasi yang menawan. Konsep itu kemudian diimpor dari 'barat' ke 'timur' dan jadilah industri film di 'timur' terhegemoni dengan konsep film ala Hollywood. Dan ini membuat kita ketika menonton Eiffel I'm in Love ketika di adegan Sandy Aulia berlari-lari karena salah menunggu di bandara Soekarno-Hatta dan lantas bertubrukan dengan Samuel Rizal, seketika terlintas "Ah ini adegan Hollywood banget." Paling tidak di kepala saya sih terlintas pikiran itu.
Lantas ada kategorisasi lain, berjudul cultural identity of national cinema. Isinya adalah apa yang disampaikan dalam film, cara pandang serta gaya narasi serta representasi yang digunakan dalam film tersebut. Ah, ini makin sulit lagi mendefinisikan film nasional. Indonesia saja punya budaya yang begitu beragam, mana yang disebut sebagai 'budaya Indonesia'? Lantas kalaupun ada konsep 'budaya Indonesia' maka pastilah itu propaganda dari pemerintah (NKRI, budaya timur, atau apalah itu namanya). Lantas kalaupun kita terima apa itu 'budaya Indonesia' artinya dalam film nasional ada internal cultural colonialism. Idih, gak asik banget gak sih. Kita dijajah sama film sendiri tentang makna nasionalisme. Yang kebayang, langsung film G30S/PKI yang wajib ditonton jaman dulu (damn, itu penulisan PKI aja juga fait-a-compli serta propaganda luar biasa toh?). Dari kategori ini lantas disimpulkan lagi bahwa film nasional tidak serta merta merefleksikan identitas diri dan budaya yang sifatnya homogen. Setuju.
Atau ada juga kategori inward-looking dan outward-looking. Yang pertama adalah dengan memperhatikan kondisi ekonomi, sosial dan politik di negara masing-masing. Yang kedua maksudnya adalah mencari identitas film nasional dengan membandingkan dengan film negara lain. Misalnya, ketika kita lihat film Full Monty maka itu kita anggap film "Inggris banget". Lalu kita memecahnya jadi beberapa identifikasi (mengapa kita menganggapnya 'Inggris banget' gitu) dan membandingkannya dengan film Indonesia. "Saya cakep karena kamu jelek" gitu deh gampangnya, hihihi.
Andrew Higson menyampaikan tiga wanti-wanti yang bisa dipakai untuk melihat apa itu film nasional. Pertama, sirkulasi film. Kedua, bagaimana penonton 'menggunakan' film tersebut. Ketiga, hubungan antara sirkulasi film dengan kemungkinan mencapai penonton yang berbeda. Nah lho, yang ketiga ini emang rada ribet. Karena bisa dilihat dari intellectual discourse, yaitu film nasional adalah film yang 'berkesenian' dan populist discourse, yang melihat film nasional sebagai hiburan massal yang mendaur ulang mitos-mitos yang populer di tengah masyarakat. Ah ini kok makin ribet lagi. Setuju gak?
NAH, kebingungan mendefinisikan film nasional tidak berhenti di sini saudara-saudara. Kenapa? Karena argumentasi yang dari tadi diajukan Andrew Higson itu seolah mengklaim bahwa 'identitas nasional' adalah sesuatu yang udah saklek dan terbentuk matang. Padahal, kalau lagi-lagi mengacu pada Benedict Anderson dengan imagined community-nya, coba, gimana kita mendefinisikan 'identitas nasional'. Ini kan masih on-going process juga, karena identitas nasional itu selalu berproses. Gitu bukan?
Nah hal lain yang luput diperhatikan Andrew Higson di tulisan pertamanya tentang inward-looking dan outward-looking. Asumsi itu ternyata dianggap problematik (anjrit, 80-an banget.. 'problematik') karena (1) seolah-olah identitas nasional itu sudah jadi dan matang (2) karena sulit betul menegaskan 'batas nasional' karena dunia ini sudah menjadi oh begitu global dan transnasional. Betul kan?
Ngehe-nya, di tulisan kedua Higson ini (yang isinya kurang lebih 'koreksi' atas tulisan pertamanya yang dibuat 10 tahun silam), Higson malah mempertanyakan kembali pertanyaannya. "Penting gak sih mendefinisikan apa itu 'film nasional'?" Dwoooh. Kayak Olin aja nih di film 30 Hari Mencari Cinta... huhuhuhu. Trus dari tadi ngapain kita ngomongin soal kategori-kategori dan ways to define 'national cinema'?? Plis deeehh...
Higson mengakhiri tulisannya dengan kesimpulan bahwa it is inappropriate to assume that cinema and film culture are bound by the limits of the nation-state. Juga bahwa to make assumptions about national specificity is to beg too many questions.
It doesn't seem useful to me to think through cultural diversity and cultural specificity in solely national terms : to argue for a national cinema is not necessarily the best way to achieve either cultural diversity or cultural specificity.
Ngarti? Jadi ngapain capek-capek nulis segala macem cara mendefinisikan 'film nasional' kalau ternyata "tidak penting untuk membicarakan apa itu 'film nasional'"? Huaaaaaa...
[Terinspirasi Andrew Higson dalam "The Concept of National Cinema" (1989) dan "The Limiting Imagination of National Cinema" (2000)]
dok: sinemaindonesia
Saturday, November 05, 2005
Lebaran
Lebaran di London, Inggris, tak seperti di Jakarta atau kota-kota lain di Indonesia, yang ditandai dengan hari libur plus cuti bersama. Di sana, kehidupan bergulir seperti biasa. Jalanan tetap macet, orang-orang tetap bekerja dan tidak ada hari libur. Reporter 68h, Citra Prastuti, saat ini tengah berada di London untuk melanjutkan studinya. Bagaimana dia dan juga warga Indonesia lainnya di kota tersebut merayakan Lebaran, jauh dari kampung halaman? Berikut laporan Citra Prastuti dari London.
Kalau kemarin pagi saya ada di Jakarta, saya pasti sudah dibangunkan dengan gemuruh takbir dan beduk yang bertalu-talu. Tapi pukul 7 pagi di London kemarin sama seperti pagi-pagi lainnya. Dingin mulai menusuk di hari-hari awal musim gugur. Jangan terlalu berharap kehangatan suasana Lebaran di sini.
Di kota London, diperkirakan ada satu juta umat Muslim yang tinggal di sini. Kalau ditotal dari berbagai penjuru Inggris Raya, kira-kira ada sekitar dua juta umat Muslim yang datang dari berbagai belahan dunia. Kalau kita bergerak menuju daerah pemukiman Muslim, barulah terasa nuansa hari raya. Orang-orang tampak keluar rumah dengan pakaian yang lebih istimewa. Tak sekadar baju kerja atau sekolah yang mereka pakai sehari-hari.
London Central Mosque, mesjid terbesar di London, menunjukkan kemeriahan itu.
Ratusan orang tumpah ruah di mesjid yang rampung dibangun tahun 1978 silam ini. Berbagai macam bentuk rupa manusia ada di sana, dengan beragam warna dan atribut diri, semuanya memancarkan kegembiraan hari raya. Mesjid yang dirancang Sir Frederick Gibberd ini sanggup menampung 1800 jemaat, dengan ornamen khas Islam dengan dominasi warna biru di balik kubah besar berwarna emas.
Warga Indonesia yang tinggal di London dan sekitarnya lebih memilih melaksanakan shalat Idul Fitri di kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia, di Grosvernor Square. Kantor KBRI London ini letaknya berdekatan dengan kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat, di kawasan cukup elit, tak jauh dari tempat belanja nan hiruk pikuk, Oxford Street. Meski kantor diliburkan untuk urusan visa dan sebagainya, suasana di dalam sungguh riuh. Celetukan bahasa Indonesia mulai ramai terdengar di sana sini, bercampur tuturan bahasa Inggris yang fasih dari anak-anak kecil.
Bagi Rizki Fona, ini adalah lebaran kedua tanpa keluarga. Sejak Februari lalu, Kiki, panggilan akrabnya, melanjutkan studi S1-nya di London Metropolitan University. Perempuan berkacamata ini kangen betul berlebaran di rumahnya.
(Gimana rasanya lebaran dua kali tanpa keluarga?) Bete sih sebenernya… sebenernya sih bete.
Bagi Kiki, Lebaran juga berarti keriaan berburu makan gratis.
Biasanya, seperti kayak di Jakarta sih. Shalat Ied dulu pagi-pagi. Kalau yang mahasiswa biasanya hunting makanan gratis di Mawar Restoran di Edgware, lalu siangnya kita ngumpul di rumah dutanya, makan siang bareng.
Mawar, yang disebut-sebut Kiki, adalah nama sebuah restoran yang menyajikan makanan Malaysia, yang rasanya mirip dengan masakan Indonesia. Setiap Lebaran, restoran ini mengkhususkan diri menyajikan makanan gratis, demi bersama-sama merayakan hari raya.
Kalau Kiki rindu rumah, Aidinal Al Rashid justru lebih sulit berhitung berapa kali bisa berlebaran di kampung halamannya, Makassar, Sulawesi Selatan. Ia sudah nyaris 30 tahun tinggal di London bersama keluarganya dan kini bekerja di British Council. Aidi, yang juga Ketua Federasi Pencak Silat Inggris Raya, mengaku selalu menyempatkan diri cuti saat Lebaran. Suasana lebaran dari tahun ke tahun, bagi Aidi, terasa makin semarak.
Kalau lebaran itu tambah lama tambah meriah kayaknya. Waktu saya pertama datang, 30 tahun yang lalu, umat Islam di Inggris ini belum terlalu banyak. Sejak jaman reformasi ini, KBRI ini sudah jauh lebih terbuka. (Jaman dulu memangnya?) Jaman dulu itu KBRI itu agak sedikit angker. Maklum saja, jaman Orde Baru dulu, masyarakat biasa kadang-kadang nggak terlalu ditanggap, kecuali bos-bos lah, atau anak-anak bos…
Ah, tak usah risau. Suasana halal bihalal, berkumpul bersama kerabat seperti layaknya Lebaran di rumah sendiri, tetap bisa dilakukan di London. Bahkan warga Indonesia yang tinggal di luar kota London, banyak yang mengkhususkan diri untuk melancong demi berlebaran dengan kerabat dan teman dekat di sini. Termasuk jika harus berkelana naik kereta minimal satu jam lamanya.
Bagi mahasiswa, banyak yang memilih bolos. Sementara mereka yang sudah bekerja, harus mengajukan cuti dahulu kalau mau berlebaran dengan tenang.
Walaupun banyak orang Islam di Inggris Raya ini, Idul Fitri bukan tanggal merah. Jadi kayak saya dan teman-teman yang kerja terpaksa ambil cuti untuk merayakan. (pernakah ada dorongan untuk menjadikan lebaran sebagai hari libur?) Kayaknya belum pernah ya. Pernah ada dari masyarakat umumnya, masyarakat Islam di Inggris, yang mulai berpikir bahwa kita memberikan kontribusi ekonomi dan politik yang mulai besar, terutama ekonomi ya. Sedangkan kita itu nggak diakui hari besar kita. Nah, sementara ini dari pemerintah sikapnya itu, oh ya bisa aja ambil cuti sehari, dikasih special leave, tergantung instansi masing-masing. Tapi belum sampai di tahap dijadikan tanggal merah, itu belum.
Lalu di manakah tempat bagi mereka yang merindu dan ingin menikmati sajian makanan lebaran khas Indonesia? Wisma Nusantaralah tempatnya.
Tempat halal bihalal ini bernama Wisma Nusantara. Lokasinya di daerah East Finchley, berjarak sekitar 20 menit dari pusat kota London, jika perjalanan ditempuh dengan menggunakan kereta bawah tanah. Dari stasiun kereta, masih harus berjalan lagi sekitar 15 menit, di tengah deru angin musim gugur yang mulai menusuk tulang.
Wisma ini adalah rumah dinas duta besar Indonesia untuk Inggris. Setelah Juwono Sudarsono didaulat menjadi Menteri Pertahanan, posisi duta besar sampai sekarang masih kosong. Menurut staf KBRI, Marty Natalegawa, sebagai pengganti Juwono, baru akan datang setelah Lebaran nanti.
Rumah berbata merah ini berukuran besar, terletak di daerah perumahan yang terbilang tampak lengang. Di daerah ini juga, penyanyi Mick Jagger dan George Michael pernah bertempat tinggal. Untuk menambah luas arena halal bihalal, di bagian belakang rumah ditambah lagi dengan tenda tertutup berwarna putih yang terdiri dari dua bagian, satu di tengah dan satu di kiri.
Dan di sini, suasana jauh lebih ramai lagi.
Makanan yang disajikan juga mengundang selera. Paling tidak, memuaskan rindu pada masakan Indonesia terhitung sulit dimasak sendiri. Ada opor ayam, rendang, kentang kering, serta gulai nangka dan kerupuk. Lalu di meja camilan, ada bajigur, minuman bersoda, juga kue lumpur dan pastel. Bayangkan kalau makanan seperti itu harus dimasak sendirian di dapur asrama…
Othniel Lande termasuk warga perantauan yang tak bisa ikut bertemu kawan-kawan setanah air di Wisma Nusantara. Ia tak bisa cuti Lebaran. Sebagai penjaga malam di kantor KBRI, ia mesti masuk, menggantikan teman kerjanya yang lebih dahulu cuti. Artinya, ia harus melewatkan sepanjang hari Lebaran kemarin berjaga di kantor KBRI seorang diri. Pun, jauh dari keluarga di Jakarta.
Temen saya itu satu pulang. (sendirian dong pak?) Iya nih, saya ambil alih sementara jadinya. (wah jadi dubes sementara dong pak?) Hahahaha.
Selamat Lebaran semuanya.
Citra Prastuti, London, Inggris.
[Radio 68h, November 2005]
Monday, May 09, 2005
Perempuan-perempuan Joe
Mula-mula juga saya kasihan sama mereka, karena terperangkap dalam konsep-konsep buatan manusia dalam rangka memperebutkan sesuatu. Perempuan tercantik lah yang akan dipilih, sementara yang kurang cantik, maka pulang lah kau dengan tangan hampa. Sang laki-laki pun punya kesempatan yang sangat mewah, untuk bisa menentukan siapa yang bertahan dan siapa yang pulang setiap pekan, dengan kesadaran nyata bahwa dia sejatinya bukanlah orang kaya.
Lalu saya bicara dengan perempuan-perempuan itu.
Tary kehilangan pekerjaannya karena tak kunjung tereliminasi dalam tayangan itu. Sandra bolos dari pekerjaannya sebagai model atas seijin agensinya untuk ikut memperebutkan Joe cap Madura alias Marlon. Dinar menangis sesegukan karena harus berpisah dengan ibunya selama satu bulan syuting di Bali. Ketika ditanya, semua sepakat berkata bahwa ini semata-mata pengalaman yang ‘kenapa nggak dicoba?’ Lalu kemudian tentu saja ada uangnya. Kalau tidak, mengapa harus mengorbankan segala hal yang sudah dimiliki di dunia nyata? Yang lain tak mau mengaku berapa uang yang dikantonginya. Cuma Tary yang menyebut pasti : 100 juta rupiah.
Jumlah itu tak sedikit bagi Tary yang sehari-harinya bekerja sebagai pegawai swasta di sebuah perusahaan milik Aburizal Bakrie. Bagi Sandra dan Dinar yang sehari-harinya bekerja sebagai model, uang ini juga bukan sesuatu yang bisa mereka peroleh dalam satu kali kesempatan. Tapi kesempatan bersama Joe Millionaire Indonesia ini adalah sesuatu yang mewah : berkesempatan ke Bali, gratis, bisa mendapat perhiasan dan hadiah-hadiah menarik per minggunya, juga bisa ‘bersaing’ memperebutkan Marlon.
Perempuan-perempuan ini berkeras : mereka sadar penuh bahwa ini adalah permainan. Di awal kontrak memang tak pernah disebut apa nama program reality show ini. Mereka hanya diberitahu kalau akan muncul dalam ‘big tv date’, tanpa menyebut judul tayangannya. Begitu sampai di Bali, barulah mereka menebak-nebak acara apa gerangan yang tengah mereka ikuti. Dari saat Marlon turun dari helikopter dalam episode pertama, Tary sudah yakin, “Ini pasti acara seperti For Love or Money atau Joe Millionaire. Saya kan nonton acara-acara seperti ini.”
Paling tidak saya sudah diyakinkan dalam satu poin : mereka ikut ini semua dengan kesadaran penuh.
Begitu program Joe Millionaire Indonesia ini muncul di RCTI pertengahan Maret lalu, langsung muncul kritik di sana-sini. Kebanyakan protes seputar ketidaksetaraan relasi antara perempuan dan laki-laki yang jelas-jelas muncul di sana : 20 perempuan memperebutkan satu laki-laki, milyuner bohongan pula. Acara ini tentu saja bukan ide orisinil pemuda-pemudi bangsa yang telah menyingsingkan lengan baju, karena ini aseli mencontek. Artinya, penonton Indonesia juga sudah pernah melihat versi asli tayangan seperti ini. Ragamnya pun banyak, ada The Bachelor/Bachelorette, ada For Love or Money dan ada juga Joe Millionaire. Bukan barang baru. Tapi begitu diadaptasi ke Indonesia, kenapa jadi begitu menyakitkan?
Ini adalah permainan. Saya sadar, perempuan-perempuan itu juga sadar, Naratama sang sutradara pun berharap begitu. Pastinya. “Penonton Indonesia sudah cukup pandai untuk memahami bahwa ini adalah permainan,” alasan macam ini yang pastinya dikedepankan. Saya bukannya tidak setuju dengan argumentasi itu. Toh, saya tidak dalam posisi membodohi penonton, karena saya juga penonton televisi (yang aktif memindah saluran dengan kekuatan remote di tangan, tentunya). Tapi frase ini sangat rentan. Frase ini sama rentannya dengan argumentasi para pembuat sinetron : “Kita hanya menyesuaikan dengan selera penonton Indonesia.”
Lalu, kita kembali ke perempuan-perempuan ini. Apakah mereka bersungguh-sungguh ketika memperjuangkan perhatian Joe?
Perempuan-perempuan yang saya tanya ternyata serius betul memperlakukan ini sebagai sebuah permainan : “Kami hanya melakukan yang terbaik dengan menjadi diri sendiri.” Ini ibarat permainan tiap 17 Agustus, saat kita beradu cepat makan kerupuk atau lomba balap karung. Namun pialanya bukan lagi trofi besar berwarna kuning, tapi seorang laki-laki. Jangan lupa, layaknya permainan, juga ada persaingan di dalamnya. Ada saja perempuan-perempuan yang mengungkapkan keirian mereka terhadap satu sama lain. Yang saya ingat betul, Tere jelas-jelas memperlihatkan itu kepada Nelly, ketika Marlon hanya mengajak Nelly naik ke atas gajah. Saya lantas berpikir, apakah mereka tidak merasa ridiculous ketika harus melakoni lomba itu?
Tapi kalau saya jadi mereka, saya mungkin juga akan bermain sebaik mungkin supaya tidak tereliminasi. Ini momen tepat untuk memperkaya diri sendiri. Apalagi untuk orang seperti Tary yang dipecat dari pekerjaannya karena terlalu lama bolos kerja untuk syuting. Tiap pekan, ada bayaran yang menanti. Juga ada kalung, gelang dari Goldmart, sebagai salah satu sponsor. Berkesempatan pakai baju-baju bagus, didandanin, experiencing to be ‘someone else’, dibayar pula. I might as well do as they did : do my best. Haha!
Sebagai sebuah tontonan, apalagi dibesut oleh seorang Naratama yang bukan orang baru di dunia televisi, tentu dia tak kan menyerah pada argumennya sendiri : tak ada skenario. Skenario toh dibangun berdasarkan karakter. Dan tim produksi lah yang menentukan karakter perempuan macam apa yang dimainkan di tayangan Joe Millionaire Indonesia kali ini. Karakter yang saya anggap cukup membantu arahan ‘skenario’ adalah Tere dan Meidy. Tere, karena memperlihatkan rasa iri secara cukup jelas. Meidy, sebagai karakter antagonis sejati sepanjang program berjalan, sampai dia tereliminasi. Karakter yang lain, yah sekedarnya saja lah. Ada rasa-rasa iri sedikit yang agak muncul, tapi perempuan-perempuan itu berusaha diplomatis.
Meidy adalah satu-satunya karakter antagonis di sini. Jebolan (alias DO) FISIP UI ini terlihat beberapa kali menghina teman-temannya sesama kandidat pacar Joe, sebagai ‘badut-badut Joe’. Ajaib juga mendapati pernyataan seperti ini muncul, karena toh dia ada di dalam program yang sama. Beda kalau pernyataan itu keluar dari kita yang menonton di luar layar kaca. Tapi hei, ente kan ada di di situ juga, terlibat dalam kegilaan itu… Apa tak terpikir acaranya bakal segila ini?
Satu poin lagi yang disasar 'pecinta' Joe Millionaire Indonesia, termasuk saya, adalah soal ‘penting gak sih acara ini?’. Ingatkah Anda pada kalimat ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’? Lalu di mana letak kalimat bombastis ini pada tayangan satu jam di Minggu malam dan satu jam di Rabu malam ini?
Sandra, Tary dan Dinar yakin bahwa ada sisi edukatif dalam tayangan ini. Mereka menyebut sejumlah contoh pertemuan mereka dengan Larasati, Miss Singapore, dan pakar-pakar macam itu lainnya di salah satu hari-hari syuting mereka di Bali. Kalau dilihat dari kacamata itu, mungkin itu berguna bagi mereka, sebagai pelakon calon pacar Joe. Tapi buat penonton? Sisi edukasi apa yang tersisa bagi mereka?
Joe Millionaire Indonesia adalah kontroversi sesaat. Diskusi yang digelar wartawan-wartawan hiburan beberapa waktu lalu sebetulnya juga sudah bisa ditebak arahnya, siapa berargumentasi seperti apa.
Ujung dari kontroversi, bagi sebuah program televisi, sama jelasnya, yaitu kenaikan rating. Dan itu sudah dibuktikan oleh Naratama. Ibu Naratama giat berhitung, acara yang digarap anaknya meraup iklan yang terus bertambah tiap pekannya. Sandra, Tary dan Dinar tak pernah menyangka bahwa acara mereka bakal dibenci sekaligus ditunggu. RCTI tentu tenang-tenang saja di belakang meja, karena program kontroversial sama dengan rating tinggi sama dengan uang banyak. So, what’s to worry?
Dinar masih rajin mengirim SMS kepada saya, supaya tak lupa menonton Joe Millionaire Indonesia, di hari Rabu dan Minggu. Malam ini, kata Dinar, tak ada yang dieliminasi.
Wah, benar begitu?
Saya akan menonton Joe Millionaire Indonesia malam ini. Seperti juga Minggu-Minggu malam sebelumnya di pukul 22 WIB. Ibu saya sampai enek karena semakin saya nonton, semakin saya mengerang. Saya tidak suka tontonan itu. Tapi saya harus paham betul apa yang saya tidak suka.
Saya kesyel, karena itu saya menonton.
dok: cybertainment, nova
Saturday, May 07, 2005
Kreativitas Lima Ribu Perak
Tapi kalau sebuah kreativitas, gagasan, ide hanya dihargai Rp 5 ribu per lembarnya, apa jadinya? Dan itulah saudara-saudara, harga dari selembar skrip sinetron yang setiap jam-nya kita tonton di televisi Indonesia, di saluran mana pun.
Kalau kita baca cerita tentang penulis-penulis muda untuk sinetron, sepertinya yang muncul hanya yang bagus-bagus saja. Secara uang, mereka bisa kaya raya, tinggal di apartemen, dihargai tinggi dan lain-lain. Itu mungkin untuk mereka yang sudah punya ‘nama’ di kalangan sinetron. Tapi buat yang baru memulai? Ya Rp 5 ribu itu.
Saya sempat ditawari untuk menulis skrip sinetron untuk sebuah rumah produksi berinisial MD (ah, nggak inisial banget sih!). Saya tidak tahu berapa bukaan harga pertama sebagai calon penulis yang tidak punya pengalaman apa pun di bidang tulis menulis sinetron. Kemampuan menulis, jelas ada, tapi tidak untuk sinetron, yang for God sake, sungguh-sungguh saya benci. Saya ingin menjajal emosi dan kemampuan saya saja ketika mengajukan diri untuk pekerjaan itu : sanggupkah saya mengerjakan sesuatu yang saya benci?
Tentu saja di tawaran pertama itu saya tidak sungguh-sungguh diserahi tanggung jawab untuk menulis keseluruhan skenario. Ah, siapa lah saya ini di hadapan mereka. Saya akan menjadi asisten co-writer. Jadi ternyata begitu cara kerja di sinetron : ada writer yang punya gagasan besar tentang sinopsis suatu sinetron, lalu ada co-writer yang memecah gagasan itu per episode dan per scene, lalu ada seorang saya, alias asisten co-writer, yang memecah adegan per scene itu dalam dialog. Sebetulnya, judul “asisten co-writer” itu hanya karangan saya saja, karena saya tidak tahu nama resmi pekerjaan ini.
Mula-mula saya diberi tes dulu oleh penyelia. Ini adalah jabatan di antara writer dan co-writer, untuk memastikan supaya gagasan sang writer ini diterjemahkan secara tepat ke dalam episode dan scene. Oleh si penyelia ini, saya diberi gambaran tentang sebuah situasi. Misalnya seperti ini. Ani itu orang jahat dan Ina itu orang baik. Mereka berdua adalah saudara tiri, tinggal satu rumah, dengan ibu tiri – yaitu ibunya si Ani jahat – dan ayah kandung yang lemah (layaknya laki-laki tak berkepribadian di sinetron itu). Ina baik ini pacaran dengan laki-laki ganteng dan kaya raya bernama Budi. Lalu tiba-tiba Budi ini lupa ingatan dan ‘diracuni’ pikirannya oleh Ani jahat bahwa yang jahat sesungguhnya adalah Ina. Lalu saya diminta menggambarkan dialog antara Ina baik dan Budi, ketika Ina berupaya meyakinkan Budi yang lupa ingatan itu bahwa mereka masih pacaran.
Ah, ini mah cincay!
Lalu mulailah saya menulis. Oya, sebelum saya lupa, saya menulis keseluruhan dialog itu nantinya dalam bahasa Inggris. Kenapa? Karena saya akan bekerja untuk seorang writer dari India. Hm, well, sinetron kita kan memang dikuasai ‘mafia’ keluarga India, toh?
Tak lama setelah saya serahkan hasilnya ke penyelia, dia datang kembali dengan wajah bahagia : We like it. Saya langsung pasang wajah bahagia, tersipu malu dan ekspresi aduh-gak-nyangka-dipuji-padahal-kan-ini-baru-pertama-kali-lho. Padahal ya nggak merasa dipuji juga. Ya ampun, ini sinetron gitu! Kenapa juga mesti bangga?
Setelah lulus dari penyelia, barulah saya bertemu dengan si writer. Laki-laki, 40an tahun, sudah punya satu anak usia SD. Si penyelia ini adalah istri si writer. India juga. Lalu kita mulai bicara-bicara uang di apartemennya di kawasan Senen, Jakarta Pusat.
Tiga episode pertama, dibayar Rp 250 ribu/episode. Tiga puluh episode berikutnya, dibayar Rp 350 ribu/episode. Setelah itu, bayarannya meningkat menjadi Rp 500 ribu/episode.
Saya mengangguk saja. Oke. Di kepala saya cuma satu hal : jajal saja dulu, jangan pikirin duitnya! Tapi sadar tidak sadar, saya segera meraih telfon selular saya. Memencet angka 8 yang lama, lalu keluar ‘calculator’. 250000 : 50 = 5000. Astaga! Saya mendekatkan layar telfon untuk meyakinkan diri bahwa saya menghitung jumlah angka nol dengan tepat. Iya, benar. Lima ribu. Satu episode terdiri dari kira-kira 50 halaman. Yah, minimal 40 halaman lah : font ukuran 12, spasi 1,5. Hitung saja dengan angka maksimal, 50 halaman. Lalu ini artinya, satu halaman hanya dihargai Rp 5 ribu!
That’s way too low!
Ok, jangan panik, jangan parno. Coba kita lihat sisi terangnya (manaaaa?). Ini adalah pengalaman baru, patut dicoba, seberapa pun saya benci pada sinetron. Siapa tahu saya bisa menyalurkan ide-ide logis saya supaya di masa yang akan datang, sinetron Indonesia bisa lebih masuk akal, wajar, mendekati kenyataan dan lain-lain.
“Basically, we are doing what we don’t believe.”
Begitu kata si penyelia, istri dari writer India yang menguji kemampuan gw menulis dialog itu. Hm, oke. Paling tidak, ternyata mereka sadar kalau yang mereka tulis itu sungguh mengada-ada. Saya pikir tadinya mereka ibarat anak autis, yang sibuk dengan dunianya sendiri, yang sibuk percaya bahwa ‘selera penonton’ yang mereka anut itu sejatinya hanya ilusi saja. Ah ternyata mereka sadar juga. Tapi kalau sadar, kenapa tetap begitu-begitu saja sinetron kita?
Nah, berbekal anggukan kepala itu, saya menjadwalkan pertemuan berikutnya : untuk mendapat briefing soal sinetron yang akan segera digarap dan saya buatkan dialognya. Sampai di titik ini, saya masih berbesar hati. Saya masih dengan semangat besar (yah, nggak besar-besar banget sih) untuk menjajal sesuatu yang baru, seraya menitipkan harapan pada sinetron Indonesia.
Lalu sampailah saya pada keterpurukan begitu tahu sinetron apa yang akan saya garap. Tadinya saya sudah menyiapkan diri untuk berbagai sinetron anak sekolah, orang sangat baik versus orang sangat jahat, pengkhianatan, percintaan, perselingkuhan, intrik antar keluarga pebisnis dan sebangsanya. Saya langsung garuk-garuk kepala begitu tahu gagasan sinetron yang akan segera ditulis ini.
Gatotkaca versus Dajjal.
Oh yeeeaaaaahhhh?!
Bertahan, bertahan, bertahan… ini pengalaman baru… dicoba saja dulu.. kalau tidak dicoba, mana tahu bisa atau tidaknya.. You have to know what you hate… hayo bertahan, bertahan, bertahan…
Lalu si co-writer ini menjelaskan panjang lebar tentang episode pertama dan kedua yang sudah digarap sebelumnya. Saya berusaha memasang mimik serius selagi mendengarkan dia, menahan diri untuk tidak ketelepasan berekspresi menghina. Setelah menjabarkan episode satu dan dua, lalu kita mulai membicarakan episode ketiga, yang akan saya garap dialognya itu.
Dan dia meminta saya untuk mencatat adegan per scene. MENCATAT? Apa tidak bisa saya hanya ambil print-out, saya baca-baca, saya tanya yang tidak saya mengerti, lalu salaman dan pulang? Oh tidak bisa. Karena si co-writer baru menyelesaikan rincian per scene itu kira-kira beberapa jam yang lalu, sehingga itu semua masih dalam bentuk coretan kasar, tulisan tangan jelek yang sama sekali tidak mudah dimengerti. Argh. Tapi lagi-lagi dengan kerangka bertahan-cobalah-ini-pengalaman-baru, saya mencatat. Total ada 30 scene yang harus saya catat. Berlembar-lembar notes saya habis sudah.
Sepanjang perjalanan mencatat, saya merasa didera begitu banyak penderitaan. Yang paling kronis tentu saja karena saya harus mengerjakan sesuatu yang saya benci dan siapa lah saya untuk bisa mengubah kegilaan sinetron ini menjadi lebih waras.
“Haha, elo tau lah penonton Indonesia kayak apa, kita kasih yang gampang-gampang aja!” begitu ucap co-writer-nya. Ringan. Seolah tak pernah kenal frase monumental seperti ‘mencerdaskan bangsa’.
Penderitaan lain adalah karena saya tidak siap dengan cerita silat. Saya paling tidak berminat dengan cerita silat, berkelahi atau semacamnya. Apalagi untuk konsumsi sinetron Indonesia, kok pastinya bakal bodor banget gitu. Terbersit juga rasa curang, karena kalau cerita silat, mestinya tidak banyak dialognya toh? Masa iya ‘ciaaaat’ pun harus dibuatkan dialognya?
Dengan bergulirnya cerita, saya mulai menyadari betapa banyaknya dialog yang harus saya buat. Apalagi karena lawan si Gatotkaca ini adalah Dajjal, maka ada banyak juga petuah-petuah agama yang mesti saya masukkan dalam dialog. Agama saya sih memang Islam, tapi pengetahuannya tiarap. Coba saja tanya saya tentang hari besar Islam, mana pun itu, saya pasti terbengong-bengong, tak bisa menjawab.
Bertahan, bertahan, bertahan… tapi… LIMA RIBU PER LEMBAR?
Pikiran saya tak bisa lepas dari frase itu.
250000 : 50 = 5000
Lima ribu rupiah saja per lembar untuk segala kegilaan yang harus saya tuangkan dalam dialog-dialog bodoh sinetron Indonesia.
Ajaibnya, dengan kesadaran penuh macam itu pun, saya masih butuh berhari-hari untuk memutuskan apakah saya akan mengambil pekerjaan ini atau tidak. Butuh berjuta-juta kali telfon penuh gundah gelisah untuk meyakinkan diri bahwa tidak apa-apa bagi saya untuk melepas kesempatan menulis komersil yang satu ini. Butuh puluhan ribu rupiah bagi saya untuk menelfon sana sini mencari penguatan bahwa saya dibayar teramat murah untuk menulis dialog, apalagi dalam bahasa Inggris, untuk sinetron itu.
Pada akhirnya, saya memutuskan untuk tidak mengambil pekerjaan ini karena tiga hal : uangnya kecil, waktunya tidak sempat, dan co-writer. Entah mengapa, saya kontan benci dengan co-writer sinetron ini karena ucapan ringannya itu. Ini pastinya semata-mata kebetulan belaka saja. Kebetulan karena dia memverbalkan pikiran itu, sebuah pikiran yang saya duga keras ada di kepala setiap penulis sinetron: berikan saja yang mudah-mudah kepada penonton Indonesia. Titik.
Point of no return banget. Sekali bodoh, tetap bodoh.
Akhirnya saya SMS saja si writer India itu : I’m very sorry. I can’t continue working with you.
Saya memang pengecut soal ini, tak sanggup bicara langsung. Bahkan ketika kebencian saya begitu menggunung, saya memilih SMS.
Wednesday, March 30, 2005
Google, Carilah Saya
Pernah gak sih elo masuk ke google, lalu mengetikkan nama lo sendiri? Berapa situs yang memunculkan nama lo?
Gw sering lho melakukan itu. Sakit jiwa gak sih? Narsistik banget gitu. Barusan, gw (lagi-lagi) melakukan itu. Anehnya, setiap kali melakukan pencarian diri sendir, munculnya pasti beda-beda. Nama gw kan terdiri dari tiga suku kata. For the sake of kemudahan artikulasi saat siaran, maka nama itu semena-mena gw potong, jadi nama pertama dan nama ketiga saja. Nama kedua, gw hilangkan paksa. Nah, kalo gw google dengan tiga suku kata, muncul sekian situs. Dengan dua suku kata, muncul sekian situs lagi. Pake tanda ".." dan tidak, juga ngaruh, ternyata.
Suatu malam di kantor, segelintir anak-anak yang tersisa juga ramai-ramai melakukan itu. Kita ketik nama temen-temen kita, lalu kita cek, berapa banyak nongolnya di google. Terus kita ketawain rame-rame kalo keluarnya yang katro-katro. Misalnya ada satu temen gw yang ternyata dulu lulusan Universitas Mercu Buana, menulis suatu hal yang menye tentang kampusnya. Deile. Atau kalau nama yang terhitung pasaran, dan muncul di google dengan cerita aneh-aneh, yang memang bukan kehidupan si temen kita itu, kita cela-celain juga 'Gak nyangka yah ternyata si Anu itu begitu... hahahaha' Atau kalau nama temen kita itu gak nongol sama sekali di google, maka kita akan memberi penguatan 'Wah elo kurang usaha nih, makanya gak nongol di google' Kalau kemudian kita ketikin nama temen kita, dan muncul sesuatu yang betulan positif, yang gak kita tau sebelumnya, lantas kita bakal manggut-manggut 'wah dia oke juga ya ternyata'. Dan kita mulai dapat pengetahuan baru tentang si temen kita itu, tentang sesuatu yang mungkin aja dia gak pernah cerita sama kita. Atau kayak satu temen kantor gw yang mendadak panik, karena kita sempet tau postingan dia di sebuah milis. Lah, kan biasa aja yak. Itu kan cuma resiko posting sesuatu di dunia maya, yang bisa diakses semua orang tanpa batas, sehingga tanpa batas juga kita bisa tau tentang orang lain. Serta merta dia panik, padahal ya postingan yang kita temui juga gak penting-penting amat.
Lalu, pencarian diri sendiri di google ini gw rasakan seperti cermin. Ya kayak friendster dan blog juga pada akhirnya. Hm, gimana ya kira-kira orang ngeliat gw? Gimana kalo ada orang juga punya kebiasaan buruk yang sama dengan meng-google nama orang, lalu mencari tau tentang orang tersebut? Apa yah yang nongol di kepala orang, kalo dia google nama gw? Hm, besok-besok apa gw perlu lebih hati-hati ya kalo posting di internet? Dudududududu...
Gw pernah terkagum-kagum, karena waktu itu nemu nama gw di sebuah situs perpustakaan di universitas negeri seberang (lupa di mana). Oh, ternyata feature radio yang pernah gw buat itu termasuk simpenan di sana. Widih, keren juga. Atau begitu gw balik dari Swedia untuk training jurnalis dari FOJO, nambah satu lah situs yang memuat nama gw. Uhuy. Trus waktu gw belum kerja di tempat gw sekarang, gw pernah diwawancara sama seorang jurnalis negara Skandinavia gitu, tentang Majalah Pantau. Aih, ternyata itu nongol juga di google. Lalu, soal suatu petisi yang dibikin temen-temen saat pelatihan di Puncak, ada juga. Atau ketika hujatan gw di sebuah milis tentang acara Sang Lelaki, yang ternyata nyampe di milis berpredikat 'india'. Juga ada tulisan gw di milis, yang mencela penggunaan bahasa redaksional-nya TV7, berbuah pada pelatihan jurnalistik di sana.
Gw berasa... sukses, haha!
dok: b3tards
Wednesday, January 26, 2005
Demi Rakyat Kalian, Letakkan Senjata
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa Kofi Annan terhitung sudah dua kali menyerukan dana kontan bagi negara-negara korban tsunami. Annan tak mau negara-negara internasional ingkar janji seperti waktu bencana alam menerjang Iran beberapa tahun lalu.
PBB juga mengingatkan situasi yang aman di negara-negara yang diterjang tsunami harus dipertahankan. Karena bantuan dari internasional bisa-bisa tidak sampai ke tangan yang tepat, dengan aman dan selamat, jika muncul gangguan keamanan di sana sini. Koordinator Bantuan Kemanusiaan PBB Jan Egeland mengatakan, bencana tsunami harusnya menandakan dimulainya perdamaian di antara kelompok yang bertikai di suatu negara. Konflik harus diredam, dan kelompok yang saling bertikai ini bekerja sama demi membantu para korban bencana.
"Suspend your conflict and work together with us to help your own people. There is peace now in both Aceh, and in a cease-fire in the Tamil areas of Sri Lanka and in the better part of Somalia. We need that peace to hold, because if new conflict breaks out we cannot help the people."
Di Aceh Darussalam, status darurat sipil yang belum dicabut, membuat tentara merasa masih perlu untuk menggelar operasi militer menyapu Gerakan Aceh Merdeka. Sejak bulan Mei 2003, Aceh sudah berbalut status darurat militer, lalu turun levelnya menjadi darurat sipil pada 2004. Panglima TNI Endriartono Sutarto memang menegaskan fokus utama tentara di ujung barat Indonesia itu sementara ini untuk menjalankan misi kemanusiaan.
"Kita tidak melakukan operasi pengejaran, ofensif. Prajurit yang ada kita gunakan untuk menyelesaikan permasalahan gempa yang ada. Membuka dialog dengan GAM? Itu masih jauh lah. Kita selesaikan dulu masalah yang ada. Mau dialog atau nggak dengan GAM, pokoknya kita pulihkan dulu kehidupan di Aceh."
Tapi, fakta bicara bahwa status darurat sipil masih belum dicabut dari Tanah Rencong. Artinya, mereka yang diduga keras sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka GAM masih menjadi incaran tentara Indonesia yang bertugas di sana. Kantor berita BBC sempat menulis, pasukan TNI pernah menghalang-halangi tugas helikopter Amerika Serikat yang akan memberikan bantuan kemanusiaan di sebuah daerah yang dikuasai GAM.
Kondisi di lapangan, selain keberadaan ribuan jenazah yang masih belum terurus sepenuhnya, dilaporkan cukup mencekam. Sejumlah laporan menunjuk adanya kontak senjata, juga ada kabar penculikan seorang dokter di Kabupaten Aceh Besar.
"Kita dapat informasi dari salah satu posko relawan kemanusiaan, yang katakan ada seorang dokter dari anggota IDI Jakarta, disandera oleh pihak Gerakan Aceh Merdeka di daerah Krueng Raya, Aceh Besar. Di kawasan itu ada sebuah kamp pengungsian yang diketahui kamp bayangan, hanya dibentuk untuk memancing relawan ke sana. Dokter tersebut, belum pasti namanya. Kebetulan tim relawan sedang menuju ke arah Krueng Raya dan menemukan penduduk yang memanggil rombongan supaya segera masuk ke kamp pengungsian, karena ada yang belum mendapatkan logistik. Tim tersebut lantas disandera dengan sedikit ancaman," begitu isi laporan dari Reporter Radio Prima FM Banda Aceh, Safri Muarif.
"Jadi relawan itu menuju tempat, jaraknya ada tiga kilo, baru sekitar beberapa menit evakuasi jenazah, ada kontak senjata. Semua langsung kabur. Jaraknya sekitar satu kilo-an gitu. Ada suara tembakan. Yang saling tembak itu Brimob, mereka masuk menyisir lereng gunung," tutur seorang warga yang menjadi saksi.
Kepolisian Indonesia juga mendapat laporan soal kejahatan-kejahatan yang dilakukan GAM, saat bantuan kemanusiaan mengalir deras ke Tanah Rencong.
Kepala Kepolisian Indonesia, Dai Bachtiar.
"Bahwa mereka turun, juga melakukan kejahatan, disamping melakukan penyerangan, juga penjarahan. Dalam suasana seperti itu, mereka bisa menyamar, apakah jadi warga biasa atau menjadi anggota kepolisian dengan seragam yang mirip-mirip, atau menggunakan seragam kepolisian. Belum dilaporkan secara lengkap. Tapi misalnya di daerah sekitar Meulaboh, ada yang melaporkan melihat ada senjata tertinggal, mungkin diambil atau nggak. Di sekitar Banda Aceh dan Aceh Besar juga ada yang melakukan penyerangan, tapi semuanya bisa kita kendalikan."
Momen tsunami ini sedikit banyak diharapkan sejumlah pihak menjadi titik balik nasib Nangroe Aceh Darusalam selanjutnya. Seperti diungkap Koordinator Bantuan Kemanusiaan PBB Jan Egeland tadi. Banyak pihak yang mendesak supaya status keamanan darurat sipil dicabut saja, demi memudahkan akses bantuan kemanusiaan. Rekonsiliasi dengan Gerakan Aceh Merdeka GAM juga sempat digulirkan, supaya pemerintah Indonesia dan GAM bisa bekerja sama menyalurkan bantuan kemanusiaan bagi rakyat Aceh. Apalagi PBB juga sudah mengingatkan, bantuan bisa tak sampai, atau bahkan dihentikan, jika kondisi di lapangan dianggap tidak aman.
Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda dari London mengatakan, sudah ada semacam kesepakatan damai dengan GAM, pasca tsunami. Gentleman aggreement, begitu BBC menulisnya, supaya GAM tak mengganggu bantuan kemanusiaan yang mengalir dari berbagai pihak, termasuk dari komunitas internasional.
Meski begitu, pernyataan ini dibantah GAM. Perdana Menteri GAM di Swedia Malik Mahmud mengatakan, tidak pernah ada kesepakatan yang diajukan pemerintah Indonesia, pasca bencana tsunami. GAM justru menggarisbawahi, mereka lah yang mengajukan tawaran gencatan senjata kepada Indonesia, meski hingga kini belum bersambut.
Malik juga membantah semua anggapan penjarahan atau apa pun yang dilakukan anggotanya di Aceh, setelah bencana terjadi. Tak ada itu penjarahan truk oleh GAM, begitu kata Malik Mahmud. Penjarahan bantuan , menurut dia, justru dilakukan oleh pasukan TNI yang memang punya akses dalam distribusi bantuan.
-----
Pemerintah Indonesia kini bergerak lebih maju, dalam pengertian yang total sebaliknya. Yakni, melarang pekerja kemanusiaan untuk bepergian ke daerah terpencil di Aceh Darusalam. BBC melaporkan, Panglima TNI Endriartono Sutarto meminta para pekerja kemanusiaan harus mendaftarkan diri bila ingin bepergian ke luar kota Banda Aceh dan Meulaboh. TNI, kata Jenderal Tarto, tak menjamin keamanan mereka di luar dua kota itu. Aturan itu diakui bisa menghambat kerja dan penyaluran bantuan kemanusiaan. Namun langkah ini harus diambil, demi melindungi para pekerja kemanusiaan asing.
Kondisi tetap gontok-gontokan antara pemerintah Indonesia dan GAM membuat sejumlah organisasi non pemerintah perlu mengkritik keras. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan disingkat Kontras, mendesak pemerintah segera melakukan rekonsiliasi dengan GAM. Menurut Koordinator Kontras, Usman Hamid, rekonsiliasi bisa dilakukan dengan memberikan akses bantuan kepada anggota GAM, yang juga menjadi korban bencana.
"Pertama, memberikan akses kemanusiaan kepada kelompok Gerakan Aceh Merdeka. Hampir seluruh lapisan masyarakat di Aceh itu menjadi korban bencana alam, baik gempa bumi, maupun tsunami. Baik yang ada di pesisir, maupun di pegunungan. GAM harus dilihat sebagai entitas korban dari bencana alam tersebut. Tidak fair jika presiden, pemerintah atau TNI/Polri membuat GAM menderita atau kelaparan."
Tak cuma Indonesia yang harus berhadapan dengan kelompok pemberontak, pasca bencana tsunami menghantam wilayah Nangroe Aceh Darusalam. Pemerintah Sri Lanka juga masih harus bersitegang dengan pemberontak Macan Tamil. Kelompok Macan Tamil kesal dan merasa daerah mereka seolah dianaktirikan dalam hal perolehan bantuan kemanusiaan. Padahal, mereka juga menderita cukup parah akibat tsunami.
Wilayah timur pantai Sri Lanka yang digempur tsunami, adalah daerah yang selama ini diguncang konflik sipil, di mana sebelah selatan dihuni mayoritas warta Sinhalese, sementara kelompok Tamil mendiami sebelah utara wilayah itu. Perdana Menteri Sri Lanka Mahinda Rajapakse menyebut kedua kubu sebagai ‘saudara dalam kesengsaraan’.
Presiden Sri Lanka Chandrika Kumaratunga, yang dikenal tak mentoleransi kelompok Tamil, berjanji akan tetap menolong korban di wilayah kelompok pemberontak.
"We are working to give them [Tamils] the maximum amount of relief we can and the reconstruction process we will not make any difference between the North East and the South."
Kelompok Tamil pun menunjukkan sinyal positif. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Pemimpin Kelompok Pemberontakan Tamil, Velupillai Prabhakaran menyampaikan rasa duka cita kepada warga di selatan Tamil, yang menjadi korban bencana.
Tapi, ini tak berarti tidak ada ketegangan. Presiden Sri Lanka telah melarang Sekretaris Jendral PBB Kofi Anan mengunjungi daerah Tamil yang disapu tsunami. Sementara kelompok Macan Tamil menuduh pemerintah menahan bantuan bagi wilayah Tamil dan menggunakan alasan bencana sebagai jalan untuk mengirim lebih banyak lagi pasukan ke wilayah mereka.
Harapan damai tak boleh putus. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Collin Powell.
"We are hopeful however, that if all Srilankan come together to deal with this common catasthropes, this common crisis, and work with each other, cooperate with each other, then perhaps that spirit of cooperation can be elevated and extended in political dialogue, and find a way forward to political solution to this long standing crisis between the government and LTTE."
Contoh baik datang dari India. Pemerintah dan kelompok pemberontak Khasmir di sana sama-sama menunjukkan niat baik pasca bencana tsunami, yang juga menewaskan warga mereka. Kelompok pro-kemerdekaan Khasmir melakukan aksi menyumbang darah bagi warga India yang menjadi korban tsunami. Pemimpin Senior Front Pembebasan Jammu Kashmir Ghulan Rasool Edi menjadi orang pertama yang menyumbangkan darahnya.
Sekali lagi,
"Suspend your conflict and work together with us to help your own people. There is peace now in both Aceh, and in a cease-fire in the Tamil areas of Sri Lanka and in the better part of Somalia. We need that peace to hold, because if new conflict breaks out we cannot help the people."
Jadi, letakkan senjata. Selama ini, baik tentara maupun kelompok yang dicap pemberontak sama-sama mengatasnamakan rakyat untuk kegiatan mereka. Sekarang waktunya membuktikan klaim tersebut. Demi rakyat kalian, letakkan senjata.
[Radio 68h, Januari 2005]