Lebaran di London, Inggris, tak seperti di Jakarta atau kota-kota lain di Indonesia, yang ditandai dengan hari libur plus cuti bersama. Di sana, kehidupan bergulir seperti biasa. Jalanan tetap macet, orang-orang tetap bekerja dan tidak ada hari libur. Reporter 68h, Citra Prastuti, saat ini tengah berada di London untuk melanjutkan studinya. Bagaimana dia dan juga warga Indonesia lainnya di kota tersebut merayakan Lebaran, jauh dari kampung halaman? Berikut laporan Citra Prastuti dari London.
Kalau kemarin pagi saya ada di Jakarta, saya pasti sudah dibangunkan dengan gemuruh takbir dan beduk yang bertalu-talu. Tapi pukul 7 pagi di London kemarin sama seperti pagi-pagi lainnya. Dingin mulai menusuk di hari-hari awal musim gugur. Jangan terlalu berharap kehangatan suasana Lebaran di sini.
Di kota London, diperkirakan ada satu juta umat Muslim yang tinggal di sini. Kalau ditotal dari berbagai penjuru Inggris Raya, kira-kira ada sekitar dua juta umat Muslim yang datang dari berbagai belahan dunia. Kalau kita bergerak menuju daerah pemukiman Muslim, barulah terasa nuansa hari raya. Orang-orang tampak keluar rumah dengan pakaian yang lebih istimewa. Tak sekadar baju kerja atau sekolah yang mereka pakai sehari-hari.
London Central Mosque, mesjid terbesar di London, menunjukkan kemeriahan itu.
Ratusan orang tumpah ruah di mesjid yang rampung dibangun tahun 1978 silam ini. Berbagai macam bentuk rupa manusia ada di sana, dengan beragam warna dan atribut diri, semuanya memancarkan kegembiraan hari raya. Mesjid yang dirancang Sir Frederick Gibberd ini sanggup menampung 1800 jemaat, dengan ornamen khas Islam dengan dominasi warna biru di balik kubah besar berwarna emas.
Warga Indonesia yang tinggal di London dan sekitarnya lebih memilih melaksanakan shalat Idul Fitri di kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia, di Grosvernor Square. Kantor KBRI London ini letaknya berdekatan dengan kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat, di kawasan cukup elit, tak jauh dari tempat belanja nan hiruk pikuk, Oxford Street. Meski kantor diliburkan untuk urusan visa dan sebagainya, suasana di dalam sungguh riuh. Celetukan bahasa Indonesia mulai ramai terdengar di sana sini, bercampur tuturan bahasa Inggris yang fasih dari anak-anak kecil.
Bagi Rizki Fona, ini adalah lebaran kedua tanpa keluarga. Sejak Februari lalu, Kiki, panggilan akrabnya, melanjutkan studi S1-nya di London Metropolitan University. Perempuan berkacamata ini kangen betul berlebaran di rumahnya.
(Gimana rasanya lebaran dua kali tanpa keluarga?) Bete sih sebenernya… sebenernya sih bete.
Bagi Kiki, Lebaran juga berarti keriaan berburu makan gratis.
Biasanya, seperti kayak di Jakarta sih. Shalat Ied dulu pagi-pagi. Kalau yang mahasiswa biasanya hunting makanan gratis di Mawar Restoran di Edgware, lalu siangnya kita ngumpul di rumah dutanya, makan siang bareng.
Mawar, yang disebut-sebut Kiki, adalah nama sebuah restoran yang menyajikan makanan Malaysia, yang rasanya mirip dengan masakan Indonesia. Setiap Lebaran, restoran ini mengkhususkan diri menyajikan makanan gratis, demi bersama-sama merayakan hari raya.
Kalau Kiki rindu rumah, Aidinal Al Rashid justru lebih sulit berhitung berapa kali bisa berlebaran di kampung halamannya, Makassar, Sulawesi Selatan. Ia sudah nyaris 30 tahun tinggal di London bersama keluarganya dan kini bekerja di British Council. Aidi, yang juga Ketua Federasi Pencak Silat Inggris Raya, mengaku selalu menyempatkan diri cuti saat Lebaran. Suasana lebaran dari tahun ke tahun, bagi Aidi, terasa makin semarak.
Kalau lebaran itu tambah lama tambah meriah kayaknya. Waktu saya pertama datang, 30 tahun yang lalu, umat Islam di Inggris ini belum terlalu banyak. Sejak jaman reformasi ini, KBRI ini sudah jauh lebih terbuka. (Jaman dulu memangnya?) Jaman dulu itu KBRI itu agak sedikit angker. Maklum saja, jaman Orde Baru dulu, masyarakat biasa kadang-kadang nggak terlalu ditanggap, kecuali bos-bos lah, atau anak-anak bos…
Ah, tak usah risau. Suasana halal bihalal, berkumpul bersama kerabat seperti layaknya Lebaran di rumah sendiri, tetap bisa dilakukan di London. Bahkan warga Indonesia yang tinggal di luar kota London, banyak yang mengkhususkan diri untuk melancong demi berlebaran dengan kerabat dan teman dekat di sini. Termasuk jika harus berkelana naik kereta minimal satu jam lamanya.
Bagi mahasiswa, banyak yang memilih bolos. Sementara mereka yang sudah bekerja, harus mengajukan cuti dahulu kalau mau berlebaran dengan tenang.
Walaupun banyak orang Islam di Inggris Raya ini, Idul Fitri bukan tanggal merah. Jadi kayak saya dan teman-teman yang kerja terpaksa ambil cuti untuk merayakan. (pernakah ada dorongan untuk menjadikan lebaran sebagai hari libur?) Kayaknya belum pernah ya. Pernah ada dari masyarakat umumnya, masyarakat Islam di Inggris, yang mulai berpikir bahwa kita memberikan kontribusi ekonomi dan politik yang mulai besar, terutama ekonomi ya. Sedangkan kita itu nggak diakui hari besar kita. Nah, sementara ini dari pemerintah sikapnya itu, oh ya bisa aja ambil cuti sehari, dikasih special leave, tergantung instansi masing-masing. Tapi belum sampai di tahap dijadikan tanggal merah, itu belum.
Lalu di manakah tempat bagi mereka yang merindu dan ingin menikmati sajian makanan lebaran khas Indonesia? Wisma Nusantaralah tempatnya.
Tempat halal bihalal ini bernama Wisma Nusantara. Lokasinya di daerah East Finchley, berjarak sekitar 20 menit dari pusat kota London, jika perjalanan ditempuh dengan menggunakan kereta bawah tanah. Dari stasiun kereta, masih harus berjalan lagi sekitar 15 menit, di tengah deru angin musim gugur yang mulai menusuk tulang.
Wisma ini adalah rumah dinas duta besar Indonesia untuk Inggris. Setelah Juwono Sudarsono didaulat menjadi Menteri Pertahanan, posisi duta besar sampai sekarang masih kosong. Menurut staf KBRI, Marty Natalegawa, sebagai pengganti Juwono, baru akan datang setelah Lebaran nanti.
Rumah berbata merah ini berukuran besar, terletak di daerah perumahan yang terbilang tampak lengang. Di daerah ini juga, penyanyi Mick Jagger dan George Michael pernah bertempat tinggal. Untuk menambah luas arena halal bihalal, di bagian belakang rumah ditambah lagi dengan tenda tertutup berwarna putih yang terdiri dari dua bagian, satu di tengah dan satu di kiri.
Dan di sini, suasana jauh lebih ramai lagi.
Makanan yang disajikan juga mengundang selera. Paling tidak, memuaskan rindu pada masakan Indonesia terhitung sulit dimasak sendiri. Ada opor ayam, rendang, kentang kering, serta gulai nangka dan kerupuk. Lalu di meja camilan, ada bajigur, minuman bersoda, juga kue lumpur dan pastel. Bayangkan kalau makanan seperti itu harus dimasak sendirian di dapur asrama…
Othniel Lande termasuk warga perantauan yang tak bisa ikut bertemu kawan-kawan setanah air di Wisma Nusantara. Ia tak bisa cuti Lebaran. Sebagai penjaga malam di kantor KBRI, ia mesti masuk, menggantikan teman kerjanya yang lebih dahulu cuti. Artinya, ia harus melewatkan sepanjang hari Lebaran kemarin berjaga di kantor KBRI seorang diri. Pun, jauh dari keluarga di Jakarta.
Temen saya itu satu pulang. (sendirian dong pak?) Iya nih, saya ambil alih sementara jadinya. (wah jadi dubes sementara dong pak?) Hahahaha.
Selamat Lebaran semuanya.
Citra Prastuti, London, Inggris.
[Radio 68h, November 2005]
Saturday, November 05, 2005
Lebaran
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
Tes, tes. Satu, dua, tiga.
[sekedar konfirmasi bahwa memang ada yang membaca blog ini]
'Met Lebaran 'Cit :)
hahaha. ferdi ih, bisa aja. met lebaran juga ya!
ngopi dan paste itu kan biasa kalau dengan izin. Boleh sahaja ngopi dan paste satu passage daripada blog masuk ke dalam blog nantikan lebih menarik.
Selamat siang dari Kue Lumpur.
Post a Comment