Monday, December 15, 2008

Bekerja di TV

Gw gatau gimana rasanya kerja di TV. Gw juga gatau gimana proses redaksional di stasiun TV.

Ketika gw kuliah dulu, gw pikir kerja di media cetak, radio, TV itu kayak 'naik kelas'. Di mana TV adalah 'kelas' terakhir. Soalnya kan kayaknya semua orang pada pingin kerja di TV, dengan berbagai alasan. Jadi semula gw pikir, kerja di TV adalah sebuah achievement yang sangat tinggi sebagai seorang jurnalis.

Ternyata enggak.

Makin hari gw belajar bahwa cetak-radio-TV ya semata-mata spesifikasi saja. Pilihan, elu mau ada di mana. Setiap media punya karakteristik yang berbeda, dan perlu perlakuan yang berbeda pula. Gw belum pernah kerja di media cetak, tapi gw pernah ada di belakang penerbitan sebuah tabloid. More or less, mungkin sama. Kerja di TV, gak pernah juga, karena gw sebatas magang untuk Pemilu 2004 dulu.

Kerja di radio, ya sekarang ini. Profesi. Kerjaan. Digaji.

Makin hari gw juga belajar bahwa jadi jurnalis radio itu amboy nian. Menulis pendek tapi jelas, adalah sebuah tantangan yang sangat berat. Menyampaikan informasi tanpa berbekal alat bantu apa pun adalah sebuah pekerjaan yang sangat menarik. Memberitahukan sesuatu seperti kita menggambarkan sesuatu kepada orang buta, sungguh rumit. Tapi ini membuat pekerjaan gw, setiap hari, selalu menantang.

Mungkin orang lain pada bosen karena mesti ngerjain yang sama dari waktu ke waktu. Tapi, seperti kata temen gw yang lain, kalo diliat dari bosennya, ya bosen. Tapi kalo dicoba dinikmati, ya nikmat juga. Sejauh ini sih gw belum bosen. Apalagi gw harus selalu bersentuhan dengan tulisan-tulisan panjang yang kadang ahoy, kadang ampun dah. Jadilah gw selalu menemukan tantangan baru.

Bukan hanya secara tulisan, tapi juga dari soal brainstormingnya. Gw seneng ada di kantor gw sekarang. Gw merasa proses brainstormingnya cukup oke. Kadang mandek, biasa lah, namanya juga kehidupan. Tapi I feel like, this is where I belong. Apalagi kerjaan gw sejauh ini menyenangkan. Jadilah gw gembira aja.

Gw jadi inget cerita seorang kawan yang pindah dari sini lalu ke TV. TV komersil, yang hidup dari ke hari di bawah tekanan rating. Hm, I wonder how it feels like. Dia pernah cerita soal rapat redaksi di kantornya. Ketika itu dia mengusulkan liputan tentang pelarangan film Lastri. Kan banyak yang protes karena dianggap membawa nilai komunisme, tapi gak pernah jelas siapa yang sebenernya keberatan. Itu menarik dong. Ya kan? Kan isu komunisme itu penting, isu kebebasan berekspresi itu juga penting, plus ini kegiatan berkesenian. Penting dong.

Tapi enggak menurut sidang redaksi di TV tersebut. Alasannya cuma satu: nggak menjual.

Ide liputan pelarangan film Lastri kemudian kalah dengan ide yang, menurut gw, sungguh sepele dan remeh temeh. Yaitu, duren berformalin.

What?

Iya. Duren berformalin. Ooo ada toh hal semacam itu. Baru tau.

Oke, itu memang pengetahuan baru. Terima kasih. Itu memang salah satu peran media, menginformasikan hal-hal baru.

Tapi penting gitu tau ada duren berformalin? Dibandingkan Lastri?

Hm. Untung gw gak kerja di sana ya. Bisa-bisa orientasi hidup gw berubah, bisa-bisa kepala gw benjol karena sering jedoting kepala ke tembok.

No comments: