Wednesday, November 05, 2008

Jelang Eksekusi

Keluarga korban bom Bali I rupanya menyimpan trauma mendalam. Banyak di antara mereka yang enggan bicara dengan media, di tengah pemberitaan yang gencar jelang eksekusi trio bom Bali: Amrozi, Muklas alias Ali Gufron dan Imam Samudra. Hayati Eka Laksmi misalnya, yang tak mau lagi mendengar nama Amrozi cs. Ia hanya meminta ketiganya cepat dihukum, itu saja. Semakin sedikit diberitakan, Eka justru makin senang, karena berarti ketiga teroris ini tak makin populer.

Tapi coba perhatikan media, terutamatelevisi. Dengan gencar, mereka memberitakan kabar terakhir eksekusi Amrozi cs. Tayangan makin getol sejak akhir pekan lalu, karena Kejaksaan Agung memberi kabar bahwa eksekusi akan dilakukan awal November. Empat hari sudah berlalu dari awal bulan, belum ada kabar kapan sebetulnya eksekusi akan dilakukan.

Coba cermati isi tayangan televisi soal ketiga teroris itu: bahasa yang digunakan, bagaimana ledakan bom Bali I itu direkonstruksi dan bagaimana peran ketiga teroris ini. Persoalan hukum kembali diungkit, masalah Peninjauan Kembali dibahas lagi. Sebegitu seringnya sampai tak sadar para teroris ini tampak dipertontonkan sebagai pahlawan, sebagai martir. Mati karena membela yang benar.

Seiring dengan pemberitaan di media, teror tetap berlangsung. Akhir Oktober lalu, beredar pesan pendek di telfon seluler berisi peringatan untuk menghindari mal besar, restoran ala Barat juga Kedutaan Besar negara-negara Barat. Berita di berbagai media juga menyebutkan kalau polisi memperketat pengamanan di sejumlah kedutaan besar, menjelang eksekusi dilakukan.

Ditambah lagi, sebuah surat ancaman muncul di sebuah situs internet. Isinya adalah pernyataan perang dan ajakan membunuh orang-orang yang terlibat dalam eksekusi ini. Sejumlah nama pejabat besar disebut dalam surat ini, mulai dari Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, juga Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, Jaksa Agung Hendarman Supanji serta seluruh hakim dan jaksa yang terlibat persidangan bom Bali I. Demi mengesankan keseriusan, ditampilkan juga surat dengan tulisan tangan, berbahasa Inggris dan Arab, dan tandatangan ketiga terpidana mati. Soal benar tidaknya surat itu, tak ada yang tahu.

Apa pun bentuknya, teror tetap berlangsung. Kita seolah dibombardir dengan pernyataan martir, kafir, jihad, dan istilah lainnya yang mengesankan heroisme. Padahal apa yang mereka lakukan tak ada heroik-heroiknya. Yang mereka lakukan adalah membunuh orang tak berdosa, menafikan perbedaan dan membenarkan kekerasan. Untuk itu, mereka pantas, layak dan patut dihukum.

Kami memang tak setuju hukuman mati, karena tak ada manusia yang boleh berlaku sebagai Tuhan. Tapi Amrozi, Muklas alias Ali Gufron dan Imam Samudra harus dihukum, seberat-beratnya. Sejatinya, hukuman apa pun tak akan mengembalikan para korban yang meninggal sia-sia. Paling tidak, negara bisa membuktikan kepada korban: hukum masih ada di negeri ini.

[Tajuk KBR68H, 5 November 2008]

No comments: