Tuesday, November 18, 2008

Satu Jari, Empat Jari

Yang paling enak, juga paling gampang, adalah menyalahkan orang lain.

Itu yang dilakukan Wakil Gubernur Jakarta Prijanto, seputar masih banyaknya pelanggaran terhadap Perda Rokok di Jakarta. Kata Prijanto, pemerintah sudah membuat Perda Anti Rokok dan menyosialisasikannya. Kalau ada pelanggaran, maka yang salah adalah masyarakat karena masyarakat tidak mengerti.

Kata orang, kalau satu jari menunjuk ke pihak lain, maka ada empat jari menunjuk ke diri sendiri.

Mari kita lihat satu per satu. Perda Rokok tidak bisa jalan tanpa dukungan infrastruktur yang memadai dari negara. Misalnya penyediaan fasilitas. Di Perda Rokok Jakarta disebutkan kalau harus ada penetapan kawasan tanpa rokok. Sekarang bayangkan Anda datang ke sebuah mal ber-AC, bertemu perokok. Setelah Anda cari-cari, tak ada ruang merokok tersedia di mal tersebut. Apa yang bisa Anda lakukan? Paling banter, Anda, yang tak merokok, mengalah, pergi menjauh. Padahal Anda lah yang dirugikan. Kalau ada mal tak menyediakan ruang merokok, siapa yang salah? Kenapa pengelola mal tidak dihukum?

Di Perda juga diatur soal iklan rokok, tak boleh sembarangan masuk di jam-jam yang umumnya ditonton keluarga. Kalau tiba-tiba Anda mendapati ada iklan rokok di acara keluarga, apa yang bisa dilakukan? Paling banter, Anda bisa mengganti saluran televisi, supaya tak perlu menonton iklan rokok yang umumnya bersalut gaya hidup modern. Seolah Anda tak trendi kalau tak merokok. Anda harus mengalah, padahal Anda yang dirugikan. Kalau aturan iklan rokok dilanggar, siapa yang salah? Kenapa produsen rokok tak dihukum?

Fakta-fakta di luar Perda Rokok Jakarta juga menunjukkan keberpihakan yang sangat besar kepada kaum perokok. Indonesia adalah salah satu negara dengan cukai rokok terendah. Sedikit banyak ini menunjukkan betapa Pemerintah masih mendewakan penghasilan dari berlinting-linting rokok sarat racun ini. Di kawasan Asia, Indonesia hanya menerapkan cukai sebesar 37 persen, bandingkan dengan Thailand yang 63 persen. Padahal tarif cukai rokok mempengaruhi harga rokok dan tingkat konsumsi masyarakat. Selama cukai rokok masih tinggi, lupakan saja keinginan menekan jumlah perokok di tanah air.

Kalaupun rokok bisa dibasmi dari iklan TV, maka rokok melenggang bebas sebagai sponsor berbagai acara. Sebagai sponsor, mau tak mau iklannya terpampang besar-besar. Ratusan bungkus rokok itu pun dibagikan kepada pengunjung, sebagai bagian dari sponsor. Padahal sudah ada PP 19 tahun 2003 yang melarang hal tersebut. Kalau itu dilanggar, siapa yang salah? Masyarakat?

Kata orang dulu, yang waras, mengalah. Mestinya ini tak boleh berlaku lagi. Buat apa mengalah pada racun yang menyebabkan kemiskinan? Anda dirugikan, jangan mau kalah.

Pak Wakil Gubernur Jakarta yang terhormat, jangan terlalu mudah menyalahkan masyarakat. Lihat dulu empat jari yang mengarah ke Pemerintah.

[Tajuk KBR68H, 18 November 2008]

No comments: