Aneh sekali menonton TV pasca eksekusi Amrozi, Imam Samudra dan Muklas.
Semua TV berlomba-lomba liputan dari Cilacap, Tenggulun dan Serang. Seolah-olah kita, saya paling tidak, betul-betul ingin tahu tentang tanggapan dari delapan penjuru mata angin soal eksekusi terhadap ketiga penjahat ini. Padahal, yang paling saya ingin tahu hanya sebatas ekskusi sudah atau belum dilakukan. Kalau belum, kapan akan dilakukan. Kalau sudah, ya bagus.
Tapi, seperti yang banyak orang bilang, intensitas pemberitaan yang begitu tinggi tentang eksekusi trio bom Bali ini justru membuat mereka tampak seperti pahlawan. TV membuka ruang selebar-lebarnya bagi ketiga penjahat itu untuk meneriakkan kata jihad, kafir dan ’atas nama Islam’. Setiap hari tak henti-hentinya kita diajak berkenalan dengan Desa Tenggulun dan Serang, tempat tinggal ketiga penjahat itu, seolah-olah kita ingin tahu sisi ’humanis’ dari ketiga penjahat itu.
Menurut saya, ketiganya bukan manusia. Rasanya tidak ada manusia waras yang membunuh orang lain hanya karena orang itu dianggap kafir. Jadi ada di sebelah mana sisi humanis yang perlu kita tahu soal pembunuh sesama manusia?
Sepanjang hari saya sukses menahan diri untuk tidak mengikuti berita pasca eksekusi. Tapi saya terjebak ketika menonton buletin berita sore di salah satu TV swasta.
Berita pertama, soal penguburan ketiga penjahat ini. Digambarkan ada begitu banyak orang mengiringi sampai ke pekuburan. Ada begitu banyak orang ingin menyentuh keranda jenazah mereka. Saya heran, mengapa kamera merasa perlu menyorot spanduk bertuliskan,’Selamat jalan mujahid.’ Seolah-olah setuju bahwa yang mereka lakukan adalah jihad, bukannya membunuh.
Berita kedua, dari desa tempat tinggal ketiga penjahat. Sebagai sesama wartawan, saya merasa berita ini tidak punya nilai sama sekali. Buat apa memberitakan sesuatu yang tidak ada apa-apa, adem ayem? Lalu si reporter menggambarkan bahwa kondisi desa sepi, walaupun ada salah satu warga desa tersebut yang '... menjadi figur dengan banyak pengikut...’ yang baru saja dikubur. Mata gw langsung membelalak. Say what? Figur? F i g u r? Saya pun heran. Si wartawan tahu nggak sih apa yang dia omongin?
Untung saja ketiga penjahat itu betul-betul sudah dieksekusi. Meski saya gak setuju hukuman mati, saya senang, TV akhirnya bebas dari ketiga wajah penjahat itu.
Semoga keluarga korban bom Bali ikut lega, tak perlu lagi dihadapkan terus menerus dengan wajah pembunuh. Tak perlu lagi melihat media, terutama televisi, merayakan penjahat.
1 comment:
mungkin bagimu mereka penjahat tapi banyak orang lain menganggap mereka pahlawan. wahhh bertolak belakang banget yah. saya sih memilih ga melihat mereka dari sisi itu. siapa pun dia jika udah meninggal, saya lebih suka mendoakan agar amal ibadahnya meski kecil dapat diterima Sang Maha Pengampun. agar orang lain juga mau melakukan hal yang sama jika giliran saya yang meninggal....
Post a Comment